Konten dari Pengguna

Sebuah Perdebatan pada Abad Modern

Anselmus A Y Barung
Social Worker dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM
1 April 2024 8:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anselmus A Y Barung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.istock.com
zoom-in-whitePerbesar
www.istock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Harus diakui bahwa akar dari munculnya sekularisme modern adalah teologi (Kristen) itu sendiri. Suka atau tidak, argumentasi ini ada benarnya. Sebelum rasionalitas instrumental ala sekuler berkembang menjadi mitos baru, teologi secara implisit telah lebih dulu memonopoli kebenaran dengan membatalkan suatu interelasi kosmos antara manusia dan alam. Sebuah kepercayaan paling purba yang telah digantikan dengan relasi Allah dan manusia.
ADVERTISEMENT
Relasi vertikal antara manusia dan Allah yang terepresentasi dalam dominasi monarki, kemudian secara tidak sengaja melahirkan benih-benih sekuler. Sekularisme sendiri tidak punya pengertian yang jelas, sebelum akhirnya benar-benar menjadi populer ketika ingin mengembalikan seluruh tanggung jawab dan kekuasaan kepada manusia itu sendiri.
Cikal-Bakal Sekularisme
Sebelum supermasi kepausan mencapai puncak yang dicatat lewat dokumen Unam Sanctam (1302). Penolakan atas supermasi kepausan dan kekuasaan mutlak gereja “plenitudo potestatis”, lebih awal menjadi salah satu periode penting di abad pertengahan, yang menentukan akar sekuler itu mula-mula muncul.
Ketika Paus Bonifacius VIII sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan supermasi kepausan, muncul satu risalah “De Monarchia” yang ditulis oleh seorang penyair, Dante Alighieri. Teks ini mencantumkan beberapa pertanyaan penting yang kurang lebih menyoalkan tentang sistem monarki dalam wujud kekuasaan raja dan supermasi paus. Selanjutnya teks itu dibakar oleh gereja.
ADVERTISEMENT
Pemikiran lain yang kerap dianggap sebagai cikal-bakal sekularisme adalah seorang tokoh politik bernama Marsilinus Padua. Risalahnya “Defensor Pacis” memuat suatu kritik tajam terhadap kuasa absolut gereja. Ia berupaya menunjukkan bahwa klaim tentang Yesus memiliki kuasa duniawi tidak untuk dimaksudkan bahwa gereja menggunakan kuasa tersebut. Pemikiran ini kemudian dianggap sesat oleh Paus Yohanes XXII.
Seorang Pastor Fransiskan, William Ockham juga salah seorang yang dapat disebut sebagai Proto-Sekularisme. Dengan memperjuangkan pemisahan antara kuasa spritiual dan temporal. Dia juga mempertanyakan teologi sebagai ratu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kritiknya terhadap Agustinus dan Anselmus. Meskipun pemisahan yang dilakukannya antara kekuasaan raja dan kewenangan gereja masih bersumber pada pemaknaan atas kitab suci. Dia kemudian dianggap sesat, walaupun tidak pernah terbukti secara resmi.
ADVERTISEMENT
Kontradiksi Internal
Tumbuhnya cikal-bakal sekularisme tidak lepas dari praktik politik gereja saat itu. Dimulai dengan dianggap sesat, teks-teks yang dibakar, hukuman-hukuman penjara, hingga hukuman mati adalah konsekuensi berat jika menentang kekuasaan gereja. Praktik “Inkuisisi” dan watak otoritarian seperti ini dengan sendirinya menghadirkan kontradiksi internal didalamnya.
Tidak saja totalitarianisme politik, penolakan rasio yang mesti dibimbing oleh iman termasuk menjadi bagian dari munculnya embrio sekularisme. William Ockham salah satu yang paling berupaya memisahkan dua unsur antara filsafat dan teologi. Suka tidak suka, rasio dalam ciri yang paling dasar, dengan selalu mempertanyakan sesuatu, perlahan membangkitkan pemberontakan terhadap dominasi teologi sebagai induk ilmu pengetahuan.
Bangkitnya kembali ajaran zaman klasik seperti Plato dan Aristoteles “neo-platonisme” lewat pemikiran semisal Agustinus, Anselmus dan Peter Abelard, menghadirkan percikan spirit intelektual dengan berdasarkan pada rasionalitas. Dapat terlihat kontradiksi internal semacam ini lahir dari pemikiran dan mencurigai berbagai hal yang bertentangan dengan prinsip rasionalitas dan moral.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, sekularisme modern yang mencapai puncaknya pada era Renaissance (Revolusi Prancis), telah lebih dulu melewati proses panjang. Pencerahan bahkan sudah lebih awal terjadi dibeberapa tempat, seperti di Inggris dengan dikeluarkannya “Magna Carta” pada 15 Juni 1215. Piagam yang bertujuan membatasi monarki Inggris saat itu.
Perdebatan yang kian Berlanjut
Lalu bagaimana dengan tesis Auguste Comte atau pemikir-pemikir sekuler lainnya tentang sekularisme sebagai tahap akhir sejarah yang mengancam keberlangsungan agama?.
Kurang lebih seperti kritik-kritik sebelumnya, tesis ini cenderung reduksionis. Jika sekularisme lahir dari teologi kristen dan membangun penolakan berbasis rasio atasnya, maka sama halnya, teologi juga selalu punya alasan untuk tetap hidup menentang sekularisme. Itu mengapa mereka hampir sulit dipisahkan, meskipun seringkali harus berhadap-hadapan.
ADVERTISEMENT
Suatu yang menarik dari perdebatan modern ini adalah sifat yang saling bernegasi antar keduanya. Seolah-olah mereka berkembang secara terpisah. Padahal, sekularisme justru muncul lewat payung teokrasi. Sedikit aneh memang, jika teologi tidak menyadari bagaimana perkembangan semacam ini terjadi.
Perbincangan teologi saat ini memang lebih sering berorientasi moderat dalam membangun harmonisasi lintas iman, ketimbang mereformulasi ulang apa yang semestinya dilakukan. Pergeseran ini tidak lepas dari berkembangnya demokratisasi liberal yang menggiring perbincangan teologis pada topik-topik seputar konflik multikultural. Meskipun fenomena ini tidak tepat pula disebut sebagai privatisasi terhadap agama.
Terlebih, perdebatan soal proses sekularisasi yang melahirkan kapitalisme universal dan biopolitik secara global. Dunia seakan ditakuti oleh suatu radikalisasi berbahaya oleh kelompok-kelompok responsif, yang mengancam terjadinya dehumanisasi global. Uniknya, ancaman semacam itu justru nampak lebih jelas ketika keterlibatan negara-negara sekuler dalam propaganda konflik global yang tengah terjadi.
ADVERTISEMENT
Situasi itu justru tidak dibaca sebagai cara membangun artikulasi tandingan yang berarti. Pemahaman bahwa sekularisme tidak membawa arah yang jelas dan pasti, seharusnya menjadi perbincangan yang mesti dibahas dalam teologi. Meskipun, itu perlu digarisbawahi, yakni perlawanan macam apa dan apa saja yang perlu ditolak. Selain itu, kritik ideologi tetap perlu diarahkan pada kemungkinan-kemungkinan narasi teologi itu sendiri. Dengan begitu, keduanya memang berdiri tidak tanpa cela.
Menariknya dalam beberapa dekade terakhir karya-karya semacam “Saint Paul: The Foundation Of Universalism” atau “God in Pain: Inversions of Apocalypse”, justru menjadi rumusan teologi politik menarik yang digagas oleh ateisme modern, Alain Badiou, Slavoj Zizek dan Boris Gunjevic.
Lebih jauh, perdebatan teologi dan sekularisme mungkin akan sedikit diwarnai dengan artikulasi jenis lain. Dengan modernitas yang cair, konsekuensi munculnya multiplisitas yang beragam lewat identitas-identitas yang tidak lagi tunggal atau dikotomis. Dari sini perdebatan ini mungkin akan terus berlanjut, sebagaimana keduanya kembali ditempatkan pada persoalan kosmos, sesuatu yang kini terancam dan dulunya sempat ditinggalkan.
ADVERTISEMENT