Konten dari Pengguna

Nadi Pengetahuan Bangsa: Sebuah Refleksi di Hari Pustakawan

Herianto
Herianto adalah dosen di Institut Turatea Indonesia. Saat ini, ia juga tercatat sebagai mahasiswa program doktoral (S3) dalam bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
7 Juli 2025 13:02 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Nadi Pengetahuan Bangsa: Sebuah Refleksi di Hari Pustakawan
Melawan hoaks & krisis literasi, peran pustakawan jadi krusial. Esai ini memetakan DNA baru, tantangan, dan masa depan profesi ini di era digital.
Herianto
Tulisan dari Herianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Profesi Pustakawan di Era Digital (Foto: Produk AI)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Profesi Pustakawan di Era Digital (Foto: Produk AI)

Paradoks di Era Digital

ADVERTISEMENT
Indonesia hari ini berhadapan dengan sebuah paradoks literasi yang tajam dan semakin mengakar: melimpahnya akses informasi digital justru berbanding terbalik dengan rendahnya kedalaman literasi fungsional. Di satu sisi, jutaan warga, terutama generasi muda, menghabiskan berjam-jam setiap hari di platform digital, mahir menavigasi antarmuka media sosial yang kompleks dan menyerap konten berdurasi pendek dengan cepat. Namun, kemahiran teknis ini tidak serta-merta berbanding lurus dengan kemampuan membaca dan memahami teks panjang, menganalisis argumen yang kompleks, atau membedakan fakta dari opini. Informasi terasa begitu mudah diakses, namun data konsisten dari berbagai sumber, mulai dari survei PISA hingga Indeks Literasi Digital Nasional, terus mengonfirmasi sebuah jurang yang menganga. Kesenjangan antara konektivitas digital dan kompetensi literasi ini menciptakan sebuah lahan subur bagi disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian untuk berkembang biak. Akibatnya, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap polarisasi, dan ruang diskursus publik yang sehat dan rasional semakin tergerus.
ADVERTISEMENT
Di tengah persimpangan jalan yang krusial ini, profesi pustakawan—yang hari jadinya diperingati setiap tanggal 7 Juli—menemukan dirinya pada titik yang paling menantang sekaligus paling potensial dalam sejarahnya. Tantangannya jelas: bagaimana tetap relevan di tengah gempuran informasi instan dari mesin pencari dan algoritma media sosial yang dirancang untuk adiksi, bukan untuk pencerahan. Namun, potensinya jauh lebih besar: sebuah kesempatan emas untuk menegaskan kembali peran pustakawan sebagai pilar esensial dalam membangun kekebalan informasi (information immunity) masyarakat. Peringatan Hari Pustakawan karena itu bukanlah sekadar perayaan seremonial, melainkan momentum untuk melakukan refleksi kritis. Meskipun praktik terbaik global dari Finlandia hingga Singapura menawarkan cetak biru transformasi, revitalisasi peran pustakawan di Indonesia hanya akan berhasil jika diiringi dengan pembenahan hambatan struktural, peningkatan kesejahteraan profesi, dan adaptasi model yang peka terhadap konteks lokal yang sangat beragam. Kelangsungan masa depan literasi bangsa bergantung pada keberhasilan kita mendefinisikan ulang DNA dan peran pustakawan—dari administrator pasif menjadi arsitek komunitas, pendidik literasi kritis, dan agen perubahan yang didukung penuh oleh sistem yang visioner.
ADVERTISEMENT

Evolusi Peran Pustakawan Global: Dari Penjaga Gerbang ke Arsitek Komunitas

Stereotip lama tentang pustakawan sebagai penjaga koleksi yang sunyi dan kaku telah usang dan harus segera ditinggalkan. Di panggung global, pustakawan modern telah berevolusi menjadi arsitek ruang sosial yang dinamis, merespons kebutuhan komunitas dengan cara-cara yang inovatif. Contoh paling gamblang adalah Oodi Central Library di Helsinki, Finlandia, yang berfungsi sebagai "ruang tamu publik" di mana warga tidak hanya meminjam buku, tetapi juga merekam podcast di studio gratis, mengikuti kelas memasak di dapur komunal, atau membuat prototipe bisnis di makerspace. Pustakawan di sini bertindak sebagai fasilitator kreativitas. Di Jepang, konsep Tsutaya Books yang mengintegrasikan perpustakaan dengan kafe, musik, dan ruang komersial berhasil "menjemput bola", membuktikan bahwa literasi dapat menjadi bagian dari gaya hidup modern yang menarik. Psikologisnya, mereka menghilangkan hambatan masuk ke perpustakaan yang dianggap kaku. Sementara itu, National Library Board (NLB) di Singapura memposisikan pustakawan sebagai manajer program pembelajaran seumur hidup. Mereka tidak hanya mengurus buku, tetapi juga menjalankan program literasi digital untuk lansia (program Tech Bazaar), lokakarya pengkodean untuk anak-anak, dan seminar peningkatan karir bagi para profesional, yang berkontribusi langsung pada peningkatan kualitas SDM nasional. Model-model ini menunjukkan sebuah visi bersama: perpustakaan sebagai pusat komunitas yang hidup, dan pustakawan sebagai jantungnya yang berdetak.
ADVERTISEMENT

Kontekstualisasi Tantangan: Adaptasi Model di Bumi Nusantara

Mengadopsi mentah-mentah model global tanpa mempertimbangkan konteks unik Indonesia adalah sebuah kekeliruan fatal. Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, kesenjangan infrastruktur digital dan fisik menjadi tantangan utama. Solusi untuk perpustakaan metropolitan di Jakarta tidak akan relevan untuk komunitas di pedalaman Papua atau di pulau terpencil di Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu, inovasi harus bersifat kontekstual dan lahir dari pemahaman mendalam akan kebutuhan lokal.
Di wilayah perkotaan, perpustakaan dapat meniru model makerspace dan pusat pembelajaran digital. Namun, di daerah pedesaan dan 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), peran pustakawan menjadi jauh lebih fundamental dan beragam, mencakup peran sebagai pusat informasi komunitas, pelestari pengetahuan lokal, motor penggerak literasi dasar, hingga jembatan digital. Kisah-kisah heroik dari lapangan menegaskan bahwa DNA baru ini bukanlah sekadar utopia. Tengoklah gerakan Pustaka Bergerak yang diinisiasi oleh Nirwan Arsuka. Berawal dari keprihatinan yang mendalam, ia menginspirasi sebuah jaringan relawan di seluruh nusantara yang membawa buku ke tempat-tempat yang tak terbayangkan: dengan kuda di lereng gunung, dengan perahu di pesisir, dengan gerobak sampah di perkampungan kumuh. Para relawan ini, yang sejatinya adalah pustakawan dalam arti yang paling murni, tidak hanya membawa buku. Mereka membawa harapan, membuka jendela dunia, dan membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk menyerah. Mereka adalah perwujudan nyata dari pustakawan sebagai teknolog, antropolog, sekaligus penggerak komunitas dalam satu profesi.
ADVERTISEMENT

Mengurai Hambatan Struktural: Akar Masalah yang Terabaikan

Semangat dan inovasi para "Nirwan Arsuka" di lapangan seringkali terbentur pada dinding hambatan struktural yang kokoh. Transformasi peran tidak akan pernah optimal jika sistem yang menaunginya tidak dibenahi secara fundamental. Terdapat setidaknya tiga belenggu utama yang saling terkait dan melumpuhkan: politik anggaran yang marginal, status profesi yang terdegradasi, dan jerat birokrasi yang kaku. Akar masalah yang paling mendesak adalah politik anggaran yang terpinggirkan. Dalam penyusunan anggaran, perpustakaan seringkali dianggap sebagai cost center, bukan investment center yang hasilnya bersifat jangka panjang. Di balik masalah anggaran, terdapat isu yang lebih mendalam tentang kesejahteraan dan status profesi yang menyebabkan "brain drain" talenta-talenta terbaik. Hambatan struktural lainnya yang tak kalah melumpuhkan adalah birokrasi yang kaku dan tidak adaptif yang mematikan kreativitas dan kelincahan pustakawan untuk merespons kebutuhan masyarakat. Menuntut pustakawan untuk berinovasi di tengah tiga hambatan fundamental ini adalah sebuah kesia-siaan yang kejam; ibaratnya menyuruh seorang petani untuk menghasilkan panen yang melimpah di lahan yang tandus tanpa memberinya pupuk, air, dan alat yang layak. Oleh karena itu, setiap seruan untuk inovasi di tingkat individu harus didahului oleh komitmen untuk melakukan reformasi institusional. Sebab, urgensi pembenahan ini melampaui sekadar peningkatan kinerja; ia adalah prasyarat untuk membuka potensi terbesar perpustakaan sebagai pilar penjaga demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT

Perpustakaan sebagai Benteng Demokrasi dan Navigasi di Era AI

Di luar perannya dalam pendidikan dan ekonomi, revitalisasi perpustakaan memegang urgensi yang lebih fundamental: menjaga kesehatan demokrasi. Di era pasca-kebenaran (post-truth), di mana algoritma media sosial mengurung kita dalam gelembung informasi (filter bubble) dan hoaks diproduksi secara masif, perpustakaan berdiri sebagai salah satu dari sedikit benteng terakhir ruang publik yang benar-benar netral dan demokratis—sebuah ‘agora’ modern di mana dialog lintas-sekat dapat terjadi, sebagai antitesis dari ‘ruang gema’ digital yang memecah belah. Ia adalah ruang fisik di mana semua warga, tanpa memandang status ekonomi, afiliasi politik, atau latar belakang pendidikan, dapat mengakses informasi yang beragam dan terverifikasi secara gratis. Peran pustakawan, dalam konteks ini, adalah sebagai penjaga gerbang etis, bukan untuk membatasi, tetapi untuk memastikan keragaman perspektif dan kualitas informasi. Mereka adalah penyeimbang krusial bagi polarisasi yang didorong oleh kepentingan komersial dan politik di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Tantangan ini akan semakin kompleks dengan pesatnya perkembangan Kecerdasan Buatan (AI) generatif. Jika tidak diwaspadai, AI berpotensi menjadi "senjata pemusnah massal" disinformasi, mampu menciptakan berita bohong dan propaganda yang semakin sulit dibedakan dari kebenaran. Namun, AI juga merupakan peluang luar biasa. Di sinilah peran pustakawan kembali menemukan relevansi barunya: sebagai pelatih literasi AI bagi masyarakat. Mereka tidak akan digantikan oleh AI, melainkan akan bekerja bersamanya. Pustakawan masa depan adalah mereka yang mampu mengajarkan warga cara berinteraksi dengan AI secara kritis: bagaimana merumuskan pertanyaan (prompt) yang efektif, bagaimana melakukan verifikasi silang terhadap jawaban yang diberikan AI, memahami bias yang mungkin terkandung dalam data latihnya, dan menggunakan teknologi ini secara etis dan produktif. Dengan demikian, perpustakaan menjadi pusat pelatihan bagi warga untuk menghadapi gelombang teknologi berikutnya, memastikan bahwa AI menjadi alat pemberdayaan, bukan alat pembodohan massal.
ADVERTISEMENT

Arah Baru sebagai Gerakan Bersama

Peringatan Hari Pustakawan harus menjadi seruan untuk aksi yang lebih dari sekadar retorika. Jalan ke depan bagi Indonesia menuntut langkah-langkah kebijakan yang berani dari pemerintah, mulai dari menyusun Grand Design Revitalisasi Perpustakaan Nasional dengan skema pendanaan afirmatif, melakukan reformasi manajemen dan kesejahteraan SDM pustakawan, hingga membangun ekosistem kemitraan lintas sektor yang kuat.
Namun, tanggung jawab ini tidak terletak di pundak pemerintah semata. Revitalisasi perpustakaan harus menjadi sebuah gerakan semesta, sebuah panggilan bagi setiap elemen masyarakat untuk mengambil peran aktif. Ini adalah panggilan bagi para orang tua untuk mematikan sejenak gawainya dan membacakan cerita bagi anak-anak mereka, menjadikan kunjungan ke Perpustakaan Nasional RI atau perpustakaan daerah sebagai agenda rutin keluarga. Ini adalah undangan bagi komunitas-komunitas lokal—karang taruna, PKK, komunitas hobi—untuk melihat perpustakaan sebagai mitra kolaborasi, tempat untuk mengadakan diskusi, lokakarya, atau pameran. Ini juga merupakan ketukan bagi sektor swasta untuk menyalurkan dana CSR mereka secara lebih strategis, tidak hanya untuk donasi buku sesaat, tetapi untuk mendukung program literasi berkelanjutan yang dijalankan oleh pustakawan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, masa depan peradaban literasi Indonesia tidak hanya terletak pada seberapa banyak buku yang kita miliki atau seberapa cepat koneksi internet kita. Ia sangat bergantung pada seberapa berdaya, seberapa kompeten, dan seberapa dihargai para pustakawan yang berdiri di garda terdepannya. Mereka adalah infrastruktur intelektual bangsa. Karena pada akhirnya, nasib pustakawan adalah cerminan dari cara kita menghargai pengetahuan. Memperjuangkan mereka berarti memperjuangkan masa depan nalar, demokrasi, dan peradaban bangsa kita sendiri. Selamat Hari Pustakawan Indonesia.