Konten dari Pengguna

Angka-angka Semu Reuni 212 dan Agenda Politik di Baliknya

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
21 Desember 2018 13:26 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Reuni 212 di kawasan Monas, Jakarta Pusat. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Reuni 212 di kawasan Monas, Jakarta Pusat. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Berapa jumlah peserta Reuni 212 yang digelar pada Minggu 2 Desember 2018? Pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab karena tidak ada yang tahu berapa jumlah pasti peserta reuni tersebut.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, aksi tersebut diklaim dihadiri oleh lebih dari 8 juta orang, bahkan ada yang mengklaim mencapai 11 juta orang. Klaim tersebut tentu saja mengundang perdebatan. Bahkan, Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, sampai merasa kesal kepada sejumlah media karena tidak memberitakan jumlah massa 11 juta orang dalam reuni tersebut. Kekesalan itu diungkapkannya saat berpidato di acara puncak Hari Disabilitas Internasional, Rabu (5/12/2018).
Di sisi yang lain, Polri memperkirakan jumlah peserta reuni tersebut hanya sekitar 30 ribu orang (Media Indonesia, 2 Desember 2018). Terdapat selisih angka yang sangat besar antara klaim Polri dengan sejumlah pihak. Tentu hal ini menyebabkan terjadinya kebingungan di publik tentang angka mana yang harus dipercayai.
ADVERTISEMENT
Tirto.id melakukan penghitungan dengan mengkalkulasikan luas tempat yang dipadati serta luas bidang untuk berdiri untuk satu orang peserta. Dari penghitungan tersebut, didapati jumlah peserta kurang dari satu juta orang. Berdasrkan hasil foto udara lokasi yang ada, peserta reuni menempati area yang luasnya sekitar 179.526 meter persegi atau 1.932.442 kaki persegi.
Tirto.id melakukan penghitungan dengan teori yang dikembangkan oleh Herbert Jacobs, di mana dalam kerumunan yang longgar, setiap individu menempati bidang datar seluas 10 kaki persegi. Sedangkan dalam kerumunan padat, setiap individu hanya memiliki bidang seluas 4,5 kaki persegi. Bahkan dalam kerumunan yang amat padat, seorang individu hanya menempati bidang seluas 2,5 kaki persegi.
Jika peserta Reuni 212 dianggap kerumunan longgar. Hasilnya, dalam keadaan longgar, peserta Reuni 212 adalah sebanyak 193.244 orang dan dalam keadaan padat jumlah pesertanya sebanyak 429.431 orang. Sementara itu, jika Reuni 212 disebut kerumunan amat padat, jumlah pesertanya sebesar 772.976 orang. (Tirto.id, 4 Desember 2018).
ADVERTISEMENT
Jika merujuk kepada metode penghitungan tersebut, jelas bahwa klaim yang menyatakan bahwa aksi tersebut dihadiri oleh jutaan orang adalah klaim semu. Pasalnya, klaim yang menyebut dihadiri jutaan orang tersebut hanyalah perkiraan yang tidak dihitung dengan metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
Klaim jutaan orang yang datang dalam Reuni 212 dari sejumlah pihak tersebut juga mengalahkan sejumlah peristiwa yang dihadiri oleh banyak orang yang pernah ada. Di antaranya adalah konser 'Paris La Défense: A City in Concert' di Paris, 4 Juli 1990, yang tercatat sebagai konser musik spektakuler di dunia dan dihadiri oleh 2,5 juta penonton; kegiatan Ibadah Haji di Makkah 2018, yang dihadiri jemaah haji dari seluruh dunia 2.371.675 orang; konser 'Monster of Rock' di Moskow, Rusia, 17 Agustus 1991, dihadiri 1,6 juta orang; dan Rapat Raksasa Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), yang terkenal dalam sejarah sebagai pertemuan terbesar yang menghimpun rakyat pada 19 Agustus 1945 dihadiri oleh 200-300 ribu orang peserta.
ADVERTISEMENT
Agenda Politik
Jokowi & Prabowo di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi & Prabowo di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Perdebatan selanjutnya yang tidak kalah menarik adalah tentang ada atau tidaknya agenda politik dalam Reuni 212. Di satu sisi, kelompok pendukung Reuni 212 menyatakan dengan tegas bahwa reuni tersebut murni sebagai reuni keagamaan. Di sisi yang lain, ada kelompok yang menyatakan bahwa terselip agenda politik di dalam reuni tersebut.
Mengenai hal ini, secara konstitusional, menurut saya, jika Reuni 212 diikuti dengan agenda politik, itu tidaklah melanggar ketentuan. Pasalnya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menentukan sikap politiknya, termasuk masa 212 yang bereuni.
Jika ada agenda politik di dalamnya, sejatinya sudah tidak ada lagi yang hendak dijual dari Reuni 212 bila itu mengatasnamakan agama. Reuni tersebut tidak akan menguntungkan kepada siapa-siapa. Kedua pasang calon presiden yang akan bertarung di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 memiliki keyakinan (agama) yang sama.
ADVERTISEMENT
Walaupun masa 212 lebih diidentikkan sebagai pendukung Prabowo-Sandi, namun tidak ada jaminan mereka tidak akan berpaling. Tidak ada jaminan mereka akan bulat mendukung Prabowo-Sandi dan tidak mustahil pula mereka adalah pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.
Ketakutan akan adanya agenda politik di dalam Reuni 212 dan meminta pengawasan yang berlebihan adalah bentuk upaya untuk mengekang kebebasan berekpresi, berserikat, dan menentukan pilihan. Di dalam reuni tersebut, seharusnya yang ditakuti bukanlah akan adanya agenda politik. Melainkan yang harus diawasi adalah penggunaan simbol-simbol agama untuk membenarkan politik kebencian.
Artinya, walaupun agenda tersebut juga disertai dengan agenda politik, namun sepanjang tidak ada upaya untuk menyebar ujaran kebencian terhadap salah satu poros politik, maka itu tidaklah dapat dibatasi. Itu adalah hak konstitusional dari setiap warga negara.
ADVERTISEMENT
Jika ada yang tidak puas dengan aksi tersebut, janganlah menyebar kebencian dan klaim-klaim fiktif. Tapi balaslah dengan cara yang lebih elegan, membentuk aksi tandingan dengan jumlah masa yang tidak kalah banyak misalnya.
Pada intinya, dalam Reuni 212, soal angka dan ada atau tidaknya agenda politik di dalamnya, tidaklah perlu dipermasalahkan. Soal angka, tidaklah perlu berapa jumlah peserta yang datang, yang terpenting reuni tersebut sukses dilakukan dan dihadiri oleh banyak orang.
Sementara soal ada atau tidaknya agenda politik, pada dasarnya, hal itu sah-sah saja karena merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi. Pada dasarnya, Reuni 212 adalah tanda bahwa demokrasi kita masih berjalan dengan baik.
---
Oleh: Antoni Putra, Peneliti Pusat Studi Hukum dan kebijkaan Indonesia (PSHK)
ADVERTISEMENT