news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Demokrasi yang Mahal

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
18 Juni 2019 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dalam agenda politik Pemilu Serentak 2019, sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan rekapitulasi suara pada 21 Maret lalu. Dari hasil pemilihan Presiden, pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'aruf Amin unggul dengan perolehan suara 85.607.362 (55,50 persen), berbanding 68.650.239 (44,50 persen) suara milik pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diprediksi sebelumnya, Kubu Prabowo-Sandi tidak menerima hasil rekapitulasi suara yang dikeluarkan KPU tersebut. Kubu Prabowo memilih bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), walaupun sebelumnya yang bersangkutan menyatakan tidak percaya pada MK. Dengan dibawanya persoalan sengketa hasil Pemilu ke MK, itu artinya arena pertarungan politik telah berpindah dari ranah politik ke ranah hukum.
Dalam bersengketa di Mahkamah Konstitusi, objeknya adalah hasil penghitungan suara yang dapat memengaruhi penentuan hasil, yakni hasil rekapitulasi yang dikeluarkan KPU dan adanya kecurangan. Menyoal hasil rekapitulasi yang dikeluarkan KPU, berarti membandingkan penghitungan KPU dengan penghitungan kubu yang bersengketa.
Bagi Prabowo-Sandi, menyoal hasil rekapitulasi tentu bukanlah perkara mudah. Mereka harus membuktikan minimal hampir 17 juta suara milik Jokowi-Ma'aruf bila ingin menjadi pemenang dalam Pemilu.
ADVERTISEMENT
Sementara klaim kecurangan mensyaratkan adanya kecurangan yang sifatnya 'sistematis, terstruktur, dan masif (STM)'. Sifat kecurangan tersebut harus bisa dibuktikan secara rinci. Tidak bisa hanya sekadar menyebut adanya pelanggaran atau kecurangan saja. Perlu diingat, dengan berkaca pada sengketa hasil Pemilu 2004, 2009 dan 2014, MK menolak permohonan yang diajukan karena klaim kecurangan tidak memenuhi sifat STM tersebut.

Aksi Ricuh

Walaupun kubu Prabowo-Sandi sudah menempuh jalur konstitusional, yakni dengan membawa persoalan Pemilu ke MK, aksi demonstrasi tetap tidak dapat terelakkan. Aksi demonstrasi tersebut berlangsung riuh dan ricuh. Saling serang antara massa aksi dengan aparat keamanan pun terjadi. Massa menyerang dengan lemparan batu, sementara aparat keamanan membalasnya dengan tembakan gas air mata. Banyak jatuh korban jiwa, banyak orang ketakutan dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara ini, Pemilu seperti hanya diartikan sebagai cara merebut kekuasaan, sehingga segala cara pun dihalalkan. Dampaknya, berbagai aspek kehidupan dieksploitasi sedemikian rupa agar bisa disesuaikan dengan kehendak orang-orang tertentu. Tidak peduli apakah itu harus dengan mempolitisasi nilai-nilai agama atau ilmu pengetahuan sekali pun. Yang penting segala bentuk kata dan makna bisa diadaptasi ke dalam kerangka politisasinya.
Ajaran agama dan ilmu pengetahuan pun dipaksa tunduk pada kepentingan kelompok tersebut. Tidak peduli walaupun harus mengorbankan banyak orang dalam sebuah gerakan massa dan mengadu antara masyarakat dengan negara (aparat keamanan) untuk saling serang.
Kemudian, setelah bentrokan terjadi, publik pun kembali diprovokasi. Jatuhnya korban jiwa bukan malah menjadi isyarat untuk menyerukan penghentian aksi, tapi malah menjadi alasan untuk mendelegitimasi negara dan memprovokasi publik agar menyalahkan negara dengan segala instrumen penegak hukum yang ada.
ADVERTISEMENT
Banyak elite politik yang sengaja memanfaatkan situasi dengan terus memprovokasi. Narasi-narasi yang dilontarkan selalu menggunakan bahasa 'bersayap'. Sepintas seperti ingin menenangkan, tapi ternyata malah membakar emosi massa. Seperti yang diungkapkan oleh Amien Rais, dia merasa sedih karena banyak yang menjadi korban, namun ia juga menuding bahwa umat Islam ditembaki oleh polisi-polisi PKI. Tentu, ungkapan ini adalah bentuk provokasi yang nyata.
Jatuhnya korban dalam sebuah demonstrasi tentu tidak dapat dibenarkan. Namun, kita juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya aparat yang melakukan pemukulan. Dalam aksi demonstrasi, banyak kemungkinan yang akan terjadi. Yang harus dipahami, aparat keamanan tidak akan melakukan tindakan persuasif apabila tidak ada tindakan yang membahayakan atau tindakan anarkis dari peserta aksi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Bentrok yang terjadi pun seperti sudah direncanakan sejak awal. Itu terlihat dari adanya ambulans yang berlogo partai Gerindra yang membawa batu. Logikanya, tidak mungkin tiba-tiba ada mobil ambulans yang membawa batu, bila dari awal tidak ada rencana ingin bertindak anarkis.
Jika ditelusuri lebih jauh, aksi demonstrasi yang terjadi juga bisa dilepaskan dari seruan 'people power' yang sebelumnya lantang disuarakan kubu 02. Walaupun kemudian Prabowo menyatakan akan menempuh cara konstitusional dalam menanggapi hasil Pemilu, yakni dengan mengajukan gugatan ke MK, namun pendukungnya sudah terlanjur tidak percaya terhadap MK akibat penggiringan opini sebelumnya yang dilakukan secara masif.
Dari awal narasi yang dibangun kubu Prabowo-Sandi adalah 'people power' karena tidak percaya pada KPU, Bawaslu, dan juga Mahkamah Konstitusi. Narasi yang dibangun dari awal seperti hanya berorientasi pada hasil, proses yang penuh keadaban tidak pernah menjadi pemandu. Sepanjang yang bisa dilacak, narasi kebencian sudah dibangun jauh sebelum pemungutan suara dilakukan.
ADVERTISEMENT
Sebelum Pemilu, Amien Rais Bahkan sudah memprovokasi dengan menyatakan jika kalah Pemilu, mereka tidak akan ke MK, melainkan people power. Setelah Pemilu, KPU dituduh curang, Bawaslu melakukan konspirasi, hasil penelitian ilmiah ditolak, dan MK pun dari awal sudah didelegitimasi dan dituduh bagian dari penguasa, bagaimana pun nantinya putusan MK, melihat dari sejumlah bentangan fakta,

Sejatinya Itu Juga akan Ditolak.

Kini pesta demokrasi dalam bentuk Pemilu kita benar-benar pesta demokrasi yang mahal. Dalam artian, mahal bukan hanya karena disebut menghabiskan Rp 25,7 triliun, tapi mahal karena menyebabkan kerusakan di mana-mana, baik dari segi infrastruktur, ekonomi, dan tentunya berupa pembelahan di dalam masyarakat.

Kata Peneduh

Di tengah situasi yang memanas, respons dari pemerintah pun hanya seperti menyiram minyak tanah ke dalam api yang menyala. Melalui Menko Polhukam, Wiranto, pemerintah menyalahkan aksi demonstrasi yang dilakukan dengan menganggapnya sebagai kejahatan serius dan mengancam kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Walaupun kemudian Presiden mengimbau agar semua pihak menahan diri dan mengatakan tidak akan mentolerir siapapun yang akan mengganggu keamanan, proses demokrasi, dan persatuan negara. Namun itu saja tidaklah cukup. Sebab, publik sudah terlanjur terprovokasi. Perlu ada kata penyejuk dari dari kubu yang dinyatakan kalah berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang dikeluarkan KPU, yakni Prabowo.
Kita sadari, pendukung Prabowo-Sandi memang banyak, tapi pendukung Jokowi-Ma'aruf juga tidak sedikit. Jika pendukung yang banyak tersebut diprovokasi untuk mendelegitimasi hasil Pemilu, maka itu dapat menyebabkan 'chaos' dalam masyarakat dan saling serang antar pendukung.
Feri Amsari, dalam sebuah acara stasiun TV swasta nasional mengungkapkan, bahwa untuk menenangkan emosi massa, itu hanya bisa dilakukan oleh Prabowo, bukan oleh Presiden. Sebab yang kecewa adalah pihak yang dinyatakan kalah oleh KPU, bukan yang menang. Tidak ada yang mampu menenangkan publik, selain kata penyejuk dari kandidat yang kalah.
ADVERTISEMENT
Kita ingin mendengar adanya semacam concession speech dari pasangan yang kalah berupa ajakan kepada pendukungnya, untuk melupakan kekalahan dan bersatu di belakang calon terpilih demi membangun Indonesia. Seperti halnya yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat (AS).
Kita tentu masih ingat bagaimana Hillary Clinton kalah bersaing dalam Pemilu AS melawan Donald Trump. Walaupun dia dan pendukungnya kecewa, ia tetap mengucapkan selamat pada Donald Trump, sembari mengatakan siap bekerja sama demi AS yang lebih baik.
Dalam situasi yang hampir mirip dengan Indonesia saat ini, ketika George W. Bush yang berasal dari Partai Republik menang tipis atas pesaingnya dengan memperoleh 271 suara elektoral, sementara Al Gore yang berasal dari Partai Demokrat hanya mendapatkan 266 suara elektoral. Muncul sengketa terkait dengan pemenang 25 suara elektoral di Florida, namun karena hal tersebut memunculkan keributan dalam masyarakat, Mahkamah Agung kemudian menghentikan semua upaya penghitungan ulang. Sontak, Al Gore langsung menelpon George W. Bush untuk mengucapkan selamat.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia juga ada sosok Bung Karno yang menolak mempertahankan kedudukannya ketika diusir dari Istana, karena tidak ingin mempertahankan kedudukan dengan mengorbankan rakyat. Atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika di-Impacment, ia mengatakan “Apa artinya sebuah jabatan Presiden kalau ujungnya membuat rakyat berkorban dan berdarah-darah”. Gus Dur juga mengungkapkan bahwa sesungguhnya ada aspek yang lebih penting daripada politik yang saat ini selalu dipertandingkan dan diperebutkan, yaitu mengedepankan spirit kemanusiaan.
Dalam kaitannya dengan ini, Saldi Isra pernah mengatakan tentang pentingnya menghormati daulat rakyat dalam pilpres. Sebab, daulat rakyat akan menjadi pemandu pergerakan kontestan pilpres di masa mendatang. Selama kedua kubu politik dewasa dan siap menerima kekalahan, kontestasi politik Pilpres tidak akan menimbulkan perpecahan di masyarakat. Sekali pun tidak menerima hasil Pemilu, harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan secara konstitusional.
ADVERTISEMENT