Konten dari Pengguna

Demonstrasi Mahasiswa Unnes dan Matinya Nalar Demokrasi Kampus

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
21 Agustus 2018 15:03 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa Unnes kepung rektorat. (Foto: Dok. Siti Kholipah)
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Unnes kepung rektorat. (Foto: Dok. Siti Kholipah)
ADVERTISEMENT
Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) beberapa waktu yang lalu berbuntut panjang. Beberapa mahasiswa yang terlibat dalam aksi itu menerima surat teguran karena melanggar peraturan rektor tentang kode etik yang salah satu isinya melarang mahasiswa untuk berdemonstrasi.
ADVERTISEMENT
Ini tentu salah satu bentuk matinya nalar demokrasi dari pihak kampus. Keadaan di mana rektornya antikritik dan berupaya membunuh nalar kritis mahasiswa. Ini tentu merupakan bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap demokrasi.
Pentingnya berdemokrasi harus disadari. Terutama oleh pihak kampus. Mahasiswa harus diberi ruang untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran kritisnya, baik itu dalam bentuk demonstrasi ataupun dalam bentuk lain, sepanjang itu tidak bertentangan dengan Konstitusi.
Kembali ke Era Orde Baru
Pembungkaman mahasiswa oleh pihak kampus berpotensi menyebabkan kita kembali ke era Orde Baru. Sebab ruang gerak mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan nan kritis untuk membangun masyarakat sangat diawasi. Kalau seandainya berani mengkritik, siap-siap saja 'diamputasi' atau hilang dan tidak kembali.
ADVERTISEMENT
Bahkan sampai saat ini, banyak aktivis yang belum tahu bagaimana kabarnya karena hilang setelah bersuara lantang sebelum reformasi. Hal ini bisa terulang kembali, bila kampus terus mengembangkan paham antikritik dan tidak mau dikritik.
Pada zaman Orde Baru, kita mengenal ada kebijakan tentang Badan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang dikeluarkan Kemendikbud dalam Kabinet Pembangunan III (1978). Kebijakan ini sangat kontroversial, karena berupaya untuk mematikan daya kritis mahasiswa terhadap pemerintah.
Keluarnya kebijakan ini sejatinya dilatarbelakangi oleh beberapa peristiwa yang melibatkan mahasiswa. Mulai dari keberhasilan mahasiswa yang dibantu militer dalam menumbangkan pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno, kampanye 'golongan putih' pada Pemilu 1971 karena dianggap tidak lagi berjalan dengan jujur, penolakan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1971, dan puncaknya peristiwa Malari 1974 yang bertepatan dengan datangnya Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Indonesia.
Mahasiswa Unnes kepung rektorat. (Foto: Dok. Siti Kholipah)
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Unnes kepung rektorat. (Foto: Dok. Siti Kholipah)
Setelah berlakunya kebijakan NKK/BKK ini, mahasiswa dilarang untuk mengkritik. Apalagi mengkritik jalannya pemerintahan. Dengan berlakunya kebijakan tersebut, akhirnya juga mampu membubarkan senat mahasiswa dan organisasi mahasiswa di setiap perguruan tinggi. Bagi mahasiswa yang berani mengkritik jalannya pemerintahan, maka sanksi keras berupa pemecatan sudah disipakan oleh pihak kampus yang juga ditandatangani oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi di Unnes sama dengan Orde Baru. Jika pada zaman Orde Baru ada NKK/BKK, maka kini ada Peraturan Rektor tentang Kode Etik yang pada intinya juga membunuh atau mematikan daya kritis mahasiswa terhadap pemerintah. Bahkan, pembungkamannya lebih dini, karena mahasiswa mengkritik kampus sendiri saja dilarang.
Kita harus sadari, membungkam atau melarang mahasiswa untuk berdemonstrasi sama saja dengan membunuh demokrasi dari dasarnya. Di mana bibit-bibit kritis generasi masa depan bangsa akan terbunuh bahkan sudah dipreteli. Tentu hal ini akan berujung kepada terciptanya negara yang dihuni oleh manusia antikritik dan dipimpin oleh pemimpin yang otoriter.
Bukan hanya itu, melarang mahasiswa untuk berekspresi dengan berbagai berbagai kreativitas, termasuk berdemonstrasi, juga akan menyebabkan terciptanya generasi yang malas berpikir. Keadaan yang demikian akan menyebabkan mereka hanya menerima apapun yang diberikan, tanpa tahu kebenaran tentang apa yang diterima. Apalagi saat ini kita juga tengah dihadapkan dengan fenomena penyebaran hoaks yang sudah hampir tidak terbendung.
ADVERTISEMENT
Niscaya, jika setiap kampus menerapkan aturan ketat dalam melarang mahasiswanya untuk berdemonstrasi sebagaimana yang terjadi di Unnes, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke era di mana semuanya dibatasi. Tidak ada demokrasi, tidak ada kebebasan berekspresi, dan tidak ada kemerdekaan pers sebagaimana yang terjadi di Era Orde Baru yang dipimpinan oleh Presiden Soeharto.
Kita tentu tidak menginginkan hal itu. Semoga saja, pihak Unnes segera berbenah dan menyadari bahwa demonstrasi bukanlan perbuatan yang memalukan sehingga harus dilarang. Semoga saja.
Antoni Putra, Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)