Konten dari Pengguna

Golput dan Sarana Kritik Rakyat

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
12 April 2019 16:52 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang menasbihkan diri menganut sistem politik demokrasi, Indonesia telah menempatkan Pemilu sebagai agenda kenegaraan yang penting. Pemilu sudah ditempatkan sebagai sarana untuk pelaksanaan hak fundamental (fundamental rights) bagi warga negara yang tujuannya untuk mencari sosok pemimpin berkualitas yang mampu membawa negara ke arah yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pemilu bahkan lazim disebut sebagai 'pesta demokrasi'. Jika merujuk pada ungkapan tersebut, maka yang kita inginkan adalah akuntabilitas proses dan hasil dari proses untuk lima tahun ke depannya, karena esensi berpesta adalah merayakan kebahagiaan bersama, sehingga melekat dalam ingatan dan dirasakan manfaatnya.
Namun, pada praktiknya jauh panggang dari api. Politik yang dibangun sebelum pelaksanaan pemilu tidak lebih dari sekadar kontroversi yang mengundang perpecahan. Dalam keadaan yang demikian, apa yang hendak dirayakan. Ungkapan 'pesta' sebelum kata 'demokrasi' tidak lebih hanya kamuflase untuk menyamarkan praktik adu domba pemilih dalam upaya untuk melanggengkan kekuasaan dengan biaya triliunan rupiah.
Dengan kebobrokan politik tersebut, urgensi dari pesta demokrasi dalam bentuk pemilu serentak jelas tidak akan tercapai. Wajar bila kemudian banyak rakyat yang memilih golput, suatu pilihan yang tidak sejalan dengan keinginan penyelenggara pemilu yang terkesan hanya mengukur keberhasilan dari sisi partisipasi pemilih.
ADVERTISEMENT
Pilihan golput tersebut tentu saja ditentang oleh banyak pihak karena dinilai merusak esensi dari pesta demokrasi itu sendiri. Pemerintah bahkan sampai mengeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Bela Negara 2019-2019. Inpres tersebut menyebutkan bahwa golput adalah salah satu ancaman faktual nirmiliter di bidang politik yang mesti diantisipasi. Sayangnya, salah menetapkan golput sebagai ancaman tidak disertai dengan analisis yang kuat tentang penyebab mengapa pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Franz Magnis-Suseno (Kompas, 12 Maret 2019) juga mengungkapkan bahwa golput bukanlah pilihan orang yang pintar. Ia mengungkapkan bahwa siapapun calonnya, kita harus tetap memilih, sebab kita tak memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa. Ia mengemukakan ada tiga kemungkinan orang yang golput: bodoh, just stupid; atau berwatak benalu, kurang sedap; atau secara mental tidak stabil, seorang psycho-freak.
ADVERTISEMENT
Dalam hal pemilu adalah untuk mencegah yang terburuk berkuasa, saya sepakat, namun tidak untuk kategori orang golput. Menurut saya, kemungkinan yang dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno ini telah menghina hak warga negara, yakni hak untuk menentukan sikap politik.
Saya menilai, golput dalam hal ini hanya dipandang sebagai musuh dari demokrasi yang sama sekali tidak bermuatan kritik. Golput bahkan dianggap sebagai sikap dan gagasan negatif yang hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh. Padahal, dalam kontestasi pemilu yang mengadopsi prinsip-prinsip demokratis secara utuh, golput adalah bagian dari pilihan atau sikap politik yang harus dihormati.
ADVERTISEMENT

Sarana Kritik Rakyat

Aktivis di aksi Kamisan ke-573 menuliskan di payung hitam "Hak Kami Pilih Golput". Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Kenyataan bahwa golput adalah bentuk kritik rakyat sebagai pemilih atas sistem pemilu dan kinerja partai politik tidaklah dapat dibantah. Pemilih menginginkan adanya ruang untuk memberi kritik atau masukan atas proses pencalonan, baik pencalonan presiden dan wakil presiden maupun calon legislatif. Namun, sistem yang ada tidak memungkinkan hal itu, sehingga golput adalah satu-satunya menjadi ruang untuk menyuarakan kritik tersebut.
M. Nurul Fajri (Padang Ekspres, 6 Maret 2019) mengungkapkan bahwa secara konseptual, pilihan untuk golput adalah sebaik-baiknya kritik yang disampaikan oleh warga negara terhadap struktur, sistem, dan budaya politik sebagaimana yang gencar dilakukan beberapa partai politik. Pasalnya, dalam sistem politik yang ada, rakyat sama sekali tidak diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi atau rasa ketidakpuasan atas calon-calon yang diajukan partai politik dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Aspirasi publik dikekang oleh aturan yang ada, ketika ada yang mencoba menyampaikan keluh kesah secara legal, argumentasinya ditolak dengan berbagai alasan. Salah satunya dalam uji materi UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Padahal, ketentuan tersebut membuat pilihan pada pemilu presiden menjadi sangat terbatas yang menyebabkan pemilih 'dipaksa' untuk memilih calon yang tidak ideal.
Patut disadari, keberhasilan pemilu tidak dapat semata-mata diukur hanya dari tingginya partisipasi pemilih, tapi lebih dari itu. Keberhasilan pemilu harus diukur dari sisi yang lebih luas, yakni sejauh mana sistem pemilu dan kinerja partai politik mampu memberikan kepuasan kepada pemilih dalam memberikan pilihan yang baik.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sistem pemilu dan partai politik juga harus mampu mengontrol perilaku politisi yang bersaing dalam pemilu untuk menghindari kontroversi yang dapat mengundang terjadinya perdebatan tidak sehat dalam masyarakat, apa lagi sampai menyebabkan perpecahan.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan bahwa “di atas politik itu ada kemanusiaan”, namun politik yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan itu tidak tampak saat ini. Politik sebelum pemilu saat ini hanya berorientasi kepada bagaimana caranya mengubah suara rakyat menjadi jabatan. Wajar bila banyak pemilih yang tidak puas dan menyebabkan terjadinya apatisme politik.
Hadirnya golput sebagai sarana kritik tersebut juga diperkuat oleh catatan historis perpolitikan kita. Jika dilihat dari catatan historis, istilah golput dipopulerkan sekelompok anak muda pada Pemilu 1971. Gerakan ini muncul sebagai protes terhadap pemilu yang saat itu tidak netral, sangat militeristik, dan dipimpin oleh pemimpin bertangan besi. Gerakan tersebut menyuarakan agar masyarakat bertindak atas keyakinan diri sendiri, bukan karena dipaksa untuk memilih calon tertentu. Sementara pada masa itu, kritik sangat dibatasi, atau bahkan menjadi hal yang terlarang.
Ilustrasi pemilihan umum Foto: Pixabay
Merujuk dari hal tersebut, golput adalah anti-tesis dari ketidaktersediaan sarana kritik bagi rakyat ketika tidak puas dengan sistem pemilu dan mekanisme politik yang ada.
ADVERTISEMENT
Mereka menginginkan lebih dari apa yang ditawarkan, yakni bukan sekadar menempatkan rakyat sebagai pemegang suara yang kemudian hanya menjadi kalkulasi partisipasi dan pemenangan kandidat. Sebab esensi dari dilaksanakannya pemilu adalah untuk menemukan orang-orang yang mampu mengemban amanah dan tanggung jawab pemerintahan dengan baik dalam rangka mewujudkan cita-cita negara.
Jika pemerintah mampu merespons pilihan pemilih untuk golput dengan lebih bijak, sejatinya hal tersebut juga dapat menjadi sarana evaluasi dengan menjadikannya tolak ukur kepuasan publik terhadap sistem pemilu dan kinerja partai. Jika persentase pemilih yang golput tinggi, maka itu menandakan sistem pemilu dan partai politik telah gagal dalam menampung aspirasi pemilih. Begitu pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, jika kemudian kita harus memandang golput sebagai suatu hal yang mesti diantisipasi, maka caranya bukanlah dengan memusuhi golput dengan menganggap mereka yang golput adalah orang bodoh, tidak bermoral, atau sebagainya, melainkan dengan cara melakukan perbaikan terhadap sistem pemilu.