(Kegagagalan) Menjaga Konstitusi

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
21 Desember 2018 13:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah sempat mengendap, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus permohonan Pengujian undang-Undang (judicial review) dengan Nomor Perkara 54/PUU-XVI/2018 terkait ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Di dalam putusnanya, MK menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa presidential threshold oleh partai politik tidak bertentangan dengan konstitusi (Kompas, 26 Oktober 2018).
ADVERTISEMENT
Putusan ini sejalan dengan beberapa putusan sebelumnya, diantaranya putusan atas permohonan yang dimohonkan Yusril Ihza Mahendra pada 2013 dan permohonan yang dimohonkan Partai Idaman yang diputus MK pada Februari lalu. Di dalam dua putusan tersebut, MK menyatkanan bahwa presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembuat Undang-Undang.
Tentu, putusan MK ini belum menyelesaikan masalah. Perdebatan mengenai presidential threshold dan pelaksanaan pemilu yang berkulitas masih akan tetap berlangsung. Tidak menutup kemungkinan akan adanya permohonan judicial review terkait permasalahan yang sama.
Bukan Perdebatan Baru
Jika dirunut kebelakang, perdebatan tentang presidential trheshol dalam pemilu serentak bukanlah hal baru. Perdebatannya sudah dimulai sejak 2013, terhitung sejak permohonan Efendi Gazali agar pemilu legislatif dan presiden dilakukan serentak dikabulkan oleh MK, namun permohanan Yusril Izra Mahendra tentang penghapusan presidential threshold ditolak. Padahal, kedua subtansi dari permohonan tersebut nyaris sama, yakni untuk memutus hirarki partai politik dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Saldi Isra dalam tulisannya yang berjudul “Kegagalan Menjaga Konstitusi” yang diterbitkan Harian Kompas (22 Maret 2014) mengungkapkan bahwa MK “telah gagal dalam menjaga konstitusi”. Ia mengungkapkan bahwa secara hukum, bila membaca secara utuh desain yuridis Pasal 6A UUD 1945, sejatinya tidak tersedia lagi ruang bagi pembentuk Undang-Undang untuk menambah syarat pencalonan berupa presidential threshold.
UUD 1945 hanya mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk aturan seputar teknis pelaksanaan. Sementara untuk syarat pencalonan sudah selesai, yakni yang berhak mengajukannya adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tanpa ada syarat tambahan berupa presidential threshold.
Penolakan terhadap permohonan penghapusan presidential threshold dapat nilai cacat secara ideologis. Pasalnya, penolakan tersebut dapat dinilai lebih mengedepankan pertimbangan politis daripada pertimbangan hukum berdasarkan UUD 1945. Dalam putusan ini, hak konstitusional dari warga negara jelas telah terlanggar. Putusan ini hanya menguntungkan partai politik yang mendapat kursi mayoritas di DPR pada pemilu periode sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sementara partai-partai baru terkerdilkan karena tidak diberi hak sama sekali untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Menambah persyaratan yang berpotensi mereduksi hak partai politik peserta pemilu dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945. Ini pula yang menjadikan pilihan bagi pemilih sangat terbatas.
(Tidak) Memperkuat Sistem Presidensial
Ada pandangan yang terus dikembangkan bahwa presidential threshold diperlukan untuk memperkuat system presidensial dan menjaga stabilitas pemerintahan guna membangun hubungan yang baik dengan legislatif. Pandangan ini menitikberatkan pandangannya pada dukungan legislatif terhadap presiden, bila presiden didukung oleh mayoritas anggota legislatif, maka itu akan memudahkan pemerintah mendapat dukungan dalam kebijakan. Kemudian, pandangan ini juga menganggap bahwa dukungan mayoritas akan menghindarkan presiden dari pemakzulan.
ADVERTISEMENT
Pandangan ini tidaklah salah, sebab presiden dan legislatif sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat. Bila antara legislatif dan presiden tidak sejalan, maka itu dapat menimbulkan pertikaian yang tidak berujung. Oleh sebab itu, wajar bila penganut pandangan ini menaganggap presiden perlu mendapat dukungan dari mayoritas anggota legislatif.
Namun, masalahnya muncul ketika pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan serentak. Pasalnya, untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presden, tolak ukur yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif yang dilaksanakan lima tahun sebelumnya. Tentu, mekanisme yang demikian tidak masuk akal, sebab perolehan suara pada pemilu periode sebelumnya tidak akan sama dengan periode berikutnya. Bahkan, untuk partai pemenang pemilu pada periode sebelumnya, tidak ada jaminan partai yang bersangkutan akan kembali lolos ambang batas parlemen (parlianmentary threshold) pada pemilu berikutnya.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan yang demikian, logika yang menyatakan presidential threshold untuk memperkuat system presidensial telah terpatahkan. Bila pemilu diputuskan dilakukan serentak, presidential threshold pun seharusnya dihapuskan, sebab menggunakan suara pemilu legislatif periode sebelumnya untuk mencalonkan presiden periode berikutnya selain tidak dapat memperkuat sistem presidensial, juga merupakan bentuk pengingkaran nyata terhadap kedaulatan rakyat.
Pengingkaran Terhadap UUD 1945
Saldi Isra dalam tulisannya yang diterbitkan Harian Kompas (27 Januari 2012) dengan judul “(Bukan) Putusan yang Hambar” mengungkapkan bahwa “menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai dasar bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dapat dikatakan memanipulasi konstitusi, yakni memanipulasi Pasal 22E Ayat (1) dan mencederai Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.”
Jika merujuk kepada pendapat dari Saldi Isra yang saat ini juga merupakan salah satu hakim konstitusi tersebut, seharusnya permohonan penghapusan judicial review dikabulkan oleh MK. Penghapusan tersebut juga merupakan kesempatan emas bagi MK untuk meluruskan arah pemilihan presiden dan wakil presiden agar konstitusional dan demokratis. Kemudian, penghapusan tersebut juga untuk memangkas kecenderungan elite partai politik menggunakan hasil pemilu legislatif sebagai alat tawar politik untuk menuju pemilihan presiden.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, logika tersebut tidak dipertimbangkan. MK lebih memilih menjaga konsistensi putusan dibandingkan menghidupkan kembali makna hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. MK secara eksplisit menyatakan presidential threshold merupakan open legal policy dari pembentuk UU. Pada titik ini, MK nyata telah gagal menjaga konstitusi.
Pada titik tersebut pula, terdapat satu catatan kritis yang dapat diajukan atas penolakan beberapa permohonan penghapusan presidential threshold. Diantaranya, ada apa di balik penolakan beberapa permohonan penghapusan ketentuan presidential threshold tersebut? Pertanyaan ini tak hanya gugatan atas terabaikannya prinsip kedaulatan rakyat yang mengariskan bahwa penyelenggaraan negara itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi sekaligus menjadi bukti kaburnya logika urgensi pengajuan uji materi karena adanya momentum proses bernegara yang dipengaruhi oleh unsur-unsur politis.
ADVERTISEMENT
Koreksi Putusan
Bila MK lebih mempertimbangkan aspek hukum dan hak-hak konstitusional warga negara, maka tidak ada alasan untuk menolak permohonan tersebut. Bila MK mengkhawatirkan konsistensi putusan agar tidak bertentangan satu sama lain, MK dapat menggunakan mekanisme koreksi putusan sebagaimana yang pernah dilakukan.
Jika kita Tarik kebelakang, MK sejatinya dapat menganulir putusannya sendiri. MK pernah menganulir atau mengkoreksi putusannya melalui putusan yang baru.
Hal ini dilakukan MK dalam Putusan No 14/PUU-XI/2013. Putusan tersebut selain mengoreksi UU No 42/2008, juga melakukan koreksi terhadap Putusan No 51-52-59/PUUVI/2008 (18/2-2009) yang sejatinya bertolak belakang dengan Putusan No 14/PUU-XI/2013. Di dalam putusan yang dikoreksi tersebut, MK menyatakan bahwa memisahkan pemilu legislatif dengan pemilu presiden seperti diatur Pasal 3 Ayat (5) UU No 42/2008 merupakan kebiasaan ketatanegaraan yang dapat dibenarkan secara hukum, sehingga tidak perlu dipermasalahkan dan tidak pula bertentangan dengan konstitusi.
ADVERTISEMENT
Namun kini apalah daya, persoalan presidential threshold telah diputuskan. Walaupun putusan tersebut belum menyelesaikan masalah, namun tetap harus dihormati sebagai putusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) yang menurut UUD 1945 adalah harga mati.
Perjuangan untuk menghapus presidential threshold masih belum berakhir. Kini, kita tunggu saja tindak lanjut dari putusan tersebut. Apakah akan ada lagi permohonan serupa atau tidak. Jika ada, kita tentu berharap MK akan memutus berbeda dan mengoreksi putusan sebelumnya agar pemilu presiden dapat berlangsung lebih demokratis dan tidak ada hak-hak konstitusional yang terlanggar.
Oleh: Antoni Putra, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia