Teori Cocoklogi: Lelucon Para Politisi

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
21 Januari 2019 14:41 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Politik (Foto: Game of Thrones Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politik (Foto: Game of Thrones Facebook)
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita menonton program acara televisi swasta yang mana komedian Sule dan Andre Taulany menjadi pembawa acaranya? Ya, di setiap episodenya selalu dipertontonkan teori cocoklogi, di mana suatu peristiwa dipaksakan untuk sesuai dengan seseorang.
ADVERTISEMENT
Jika kita pernah menontonnnya, tentu kita akan berpikir bahwa teori tersebut jelas tidak masuk akal, tetapi mampu memberi hiburan karena kreativitas orang-orang yang terlibat di dalam acara tersebut. Lalu, apa hubungannya acara dan teori tersebut dengan politik para politisi?
Hubungan secara langsung tidak ada tetapi, secara ideologi, acara tersebut sangat mirip dengan panggung perpolitikan kita, yakni sama-sama memakai teori cocoklogi. Bedanya, kalau di acara yang dipandu Sule dan Andre tersebut bertujuan untuk hiburan, sedangkan kalau di panggung perpolitikan politisi memanfaatkan teori tersebut untuk memanipulasi dan menciptakan kegaduhan.
Tidak sedikit yang pernah menjadi korban. Bahkan, teorinya sudah berkembang pesat sejak era Pemilu 2014. Kemudian teori tersebut semakin berkembang karena pada Pilkada DKI Jakarta yang mempertemukan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.
ADVERTISEMENT
Kita tentu ingat bagaimana salah satu pendukung memainkan politik identitas dengan cara memanfaatkan teori cocoklogi ini. Salah satu contohnya adalah dengan membuat meme lambang dua jari, yang diidentikkan dengan huruf 'Y', kemudian dikaitkan dengan salah satu kepercayaan dari salah satu Calon Gubernur DKI Jakarta kala itu.
Propaganda-propaganda seperti ini terus berlangsung. Kini bahkan berkembang semakin masif. Kalau sebelumnya hanya menggunakan simbol-simbol, kini teori ini dipakai untuk membelokkan isu. Bahkan, dibelokkan jauh dari subtansi yang seharusnya. Pokoknya, asalkan memberikan keuntungan terhadap salah satu kandidat, maka persatuan dan kesatuan bangsa pun dikorbankan.
Misalnya, tanggapan dari beberapa politisi terkait pernyataan Ketua Umum PSI, Grace Natalie, yang menyebut partainya tidak akan pernah mendukung peraturan daerah (perda) berdasarkan tafsir keagamaan, seperti Perda Syariah dan Injil.
ADVERTISEMENT
Menanggapi pernyataan tersebut, ada politisi yang menyebut hanya komunis yang tidak akan mendukung perda berdasarkan tafsir keagamaan. Padahal, secara subtansial, pernyataan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan komunis, sebuah organisasi terlarang di bangsa ini karena memiliki beban dosa masa lalu.
Pertanyaannya, apa kaitannya tidak mendukung perda berdasarkan tafsir keagamaan dengan komunis? Sungguh, ini hanyalah muslihat untuk mengelabui dan membenarkan ujaran kebencian dengan memanfaatkan sentimen keagamaan yang hidup di dalam masyarakat. Tentu politisi yang seperti ini tidaklah layak untuk dipilih.
Atau, pernyataan yang menyebut kalau seandainya, "Orang NU tak pilih Jokowi berarti injak kepala NU". Pertanyaannya sama, apa hubungannya orang NU tidak memilih Jokowi dengan menginjak kepala? Ini juga tidak masuk akal, sebab setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih calon yang ia sukai.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pernyataan ini bagi kubu yang bersangkutan juga seperti menjilat ludah sendiri. Katanya, kubu yang bersangkutan tidak akan menggunakan politik identitas, lalu pernyataan tersebut apa? Kesannya juga ada pemaksaan kehendak terhadap setiap orang yang berada di bawah naungan NU, dan tentunya ini adalah permainan politik identitas.
Polarisasi kebencian dengan memanfaatkan teori cocoklogi ini seakan menjadi penyakit yang tidak ada obatnya. Kedua kubu calon presiden yang akan bertarung pada Pemilu 2019 sama saja. Tidak ada yang lebih baik di antara mereka.
Bagi para pendukung fanatik, pasangan yang menjadi lawan pilihannya ada saja salahnya. Bahkan, bagi pendukung fanatik yang agamis, sampai persoalan bacaan salat pun dipermasalahkan. Yang satu dibilang bacaannya tidak fasih dan yang satu dianggap tidak layak jadi imam. Padahal pemilu bukan ajang memilih imam salat, melainkan untuk memilih pemimpin yang paling baik di antara mereka. Memilih pemimpin yang mampu mewujutkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perdebatan-perdebatan dengan menggunakan teori cocoklogi ini seolah hanya mempertontonkan bahwa tengah berlangsung acara adu 'goblok' antarpendukung calon presiden. Yang dipertontonkan bukan lagi kelebihan mengapa yang bersangkutan layak untuk dipilih.
Yang dipertontonkan hanyalah pembuktian diri bahwa yang bersangkutan tidak lebih buruk dari pesaing. Kalau Prabowo-Sandi, pendukungnya berusaha menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak lebih buruk dari Jokowi-Ma'aruf, begitu pun sebaliknya.
Dampak yang paling signifikan dari polarisasi yang seperti ini terhadap kerukunan umat beragama. Seagama saja dapat saling menghina hanya karena berbeda dukungan, sementara kalau berbeda agama sudah pasti saling mendiskriminasi. Sementara itu, orang-orang yang mengerti hanya bisa menggeleng-geleng kepala, bila mencoba untuk meluruskan hanya akan berakhir sia-sia, sebab mereka yang 'goblok' selalu merasa lebih tahu.
ADVERTISEMENT
Saat ini, agama hanya seperti jadi permainan politik. Inilah mengapa seharusnya agama itu tidak boleh dibawa ke ranah politik, sebab hanya akan mengerdilkan nilai-nilai agama itu sendiri. Lebih-lebih, saat ini calon presiden kita semuanya beragama yang sama.
Ilustrasi agama. (Foto: Eric Gaillard)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi agama. (Foto: Eric Gaillard)
Mengutip apa yang diungkapkan Gus Mus, permasalahan utama dalam perpolitikan kita saat ini adalah soal mengolah rasa dengan membawa-bawa agama sebagai senjata. Gus Mus mengungkapkan, "Kita sekarang yang kurang adalah olah dzauq (rasa). Orang yang tidak punya dzauq jangan diajak bicara soal rahmatan lil ‘alamin. Rahmatan itu rasa. Kalau orang tidak punya rasa, maka tidak punya perasaan".
Kemudian, masalah kita berikutnya adalah persoalan ego dari masing-masing kubu. Apapun caranya, calon yang didukung harus menang, walaupun dengan cara yang teramat kotor sekali pun. Seolah-olah kalah dalam pemilu adalah akhir dari segalanya. Padahal urgensi dari pemilu hanyalah untuk memilih pemimpin terbaik yang mampu membawa negara ke arah yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Jika dicermati lebih jauh, pemilu saat ini tidak lebih hanya sekadar lelucon dari para politisi. Namun, lelucon tersebut ibarat pisau bermata dua. Menghibur bagi mereka yang mengerti, tapi petaka bagi mereka yang fanatik.
Pada akhirnya, jika kemudian pemilu hanya menyebabkan perpecahan, maka sejatinya sistem tersebut telah gagal dalam mewujutkan cita-cita bangsa. Lebih baik ditiadakan saja karena hanya menyebabkan bangsa dalam keadaan terancam.
---
Oleh: Antoni Putra, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia