Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Nasib Jadi Petani
22 Maret 2020 3:28 WIB
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Antoni Putra, Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia/Anak Petani Karet dan Kopi di Sumatera Barat
ADVERTISEMENT
Setiap kali liburan, saya banyak menghabiskawa waktu bersama keluarga di Ladang yang berada di daerah Solok Selatan Sumatera Barat. Bertani (menanam, merawat dan memanen) karet dan kopi. Selain tu juga ada tanaman berumur pendek seperti cabay dan sayur-sayuran yang tumbuh subur di kawasan pegunungan.
Di kala itu, saya selalu mendengar adanya keluh kesah dari para petani. Persoalan harga jual yang rendah, sulitnya mendapat benih berkualitas dan pupuk yang baik menjadi keluhan yang hampir selalu saya dengar.
Selain itu, kekawatiran akan adanya penggusuran juga terus diutarakan. Pasalnya, lahan pertanian yang mereka tempati berada di kawasan yang lokasinya berbatasan langsung dengan Taman Nasional. Sementara rakyat belum memiliki sertipikat tanah karena status kepemilikannya adalah hak ulayat.
ADVERTISEMENT
Mayarakat terus berharap agar Pemerintah memberikan jalan keluar dengan menyusun kebijakan yang mendukung pertanian. Kebijakan-kebijakan yang menjamin stabilnya harga jual petani, jaminan kebebasan berinovasi soal pertanian, dan jaminan ha katas tanah.
Kebijakan Pemerintah
Sayangnya, kebijakan yang diambil pemerintah acap kali kontras dengan kebutuhan petani. Keran impor yang “membunuh” produk petani terus dibuka. Sementara regulasi yang dibentuk direlatifkan dengan kebutuhan pengusaha.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan misalnya. Secara spesifik UU ini belum mengatur hak petani, bahkan membatasi pergerakan petani. Melalui UU ini, pemerintah bahkan “melarang” petani untuk membuat dan menyebarkan benih sendiri. Hal ini terjadi karena regulasi yang dibentuk satu paket dengan banyak UU “bermasalah” akhir tahun lalu tersebut menjadikan kepentingan pengusaha sebagai prioritas.
ADVERTISEMENT
Akibat dari kebijakan tersebut, petani dipaksa untuk bergantung sepenuhnya pada produksi perusahaan besar. Hasilnya, krativitas petani dalam mnegupayakan produk yang berkualitas menjadi berkurang, bahkan hilang tanpa bekas.
UU ini disahkan ditengah terjadinya penolakan. Seolah pemerintah yang tidak bersentuhan langsung dengan pertanian lebih tau kebutuhan pertanian dari pada petani yang setiap hari bertani. Padahal, yang paling tau kebutuhan petani adalah petani itu sendiri.
Belum usai persoalan UU No 22 Tahun 2019, kini datang persoalan baru dari omnibus law Cipta Kerja yang oleh sebagian kalangan dinilai mengancam petani. Masalah lingkungan menjadi isu utama. Bila UU ini disahkan, pemerintah akan memberikan kelonggaran di sektor lingkungan terhadap pengusaha yang ingin berinvestasi. Kemudian, peran serta masyarakat dalam proses perizinan pun akan dibatasi. Padahal, perosalan lingkungan adalah persoalan yang bersinggungan langsung dengan petani. Celakanya, dalam merumuskan draf RUU Cipta Kerja ini petani sama sekali tidak dilibatkan.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, harga jual petani kini semakin merosot. Harga karet misalnya, di Sumatera Barat harganya di tingkat petani bahkan hanya berkisar Rp 5000-600/kg. Padahal, sebelumnya harga karet berkisar di Rp 18000-24000/kg. Harga yang demikian sudah bertahan lama, bahkan sejak awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode pertama.
Akibat dari merosotnya harga karet tersebut, banyak petani yang akhirnya menebang pohon karet dan beralih kekomuditas lain, seperti Sawit, Jangung, dan lain sebagainya. Namun demikian, harga jual Sawit sepenuhnya tergantung pada perusahaan perkebunan sawit. Sementara untuk Jagung, harganya jauh lebih tidak stabil, karena sewaktu-waktu harga di tingkat petani dapat merosot ke titik terendah.
Perlindungan Petani
Saat ini, perlindungan petani yang dilakukan pemerintah masih jauh dari harapan. Selain disahkannya UU No. 22 Tahun 2019 dan merosotnya harga jual petani, konflik-konflik agraria nyang berujung pada perampasan hak atas tanah juga tidak henti-hentinya terjadi.
ADVERTISEMENT
Misalnya kasus pembanguna Pabrik Semen di Kendeng, Pembangunan Bandara di Kulon Progo, dan Pembangunan Geotermal di Gunung Talang. Konflik-konflik agraria yang demikian merupakan ancaman nyata bagi petani. Selain merampas hak atas tanah, izin pembangunan dan investasi yang diberikan pemerintah juga mengancam air yang mengaliri lahan pertanian hingga jauh.
Dalam beberpaa konflik yang terjadi, petani bukan tidak memberikan perlawanan. Namun, pemerintah enggan mendengarkan. Misalnya, bagaimana aksi masyarakat menolak pembangunan Pabrik Semen di Kendeng, bahkan Mahkamah Agung juga sudah mengeluarkan putusan yang memenangkan petani. Namun, pemerintah tetap mempertahankan izin pembangunan yang telah diberikan.
Pembangunan Geotermal di Gunung Talang, masyarakat juga melakukan perlawanan secara terus menerus. Namun izin pembangunannya tidak pernah di kaji ulang. Padahal, selain mengancam petani, pembangunan tersebut juga mengancam kelestarian alam di Gunung yang memiliki empat danau yang menawan tersebut.
ADVERTISEMENT
Nasib Petani boleh dibilang tidak berbanding lurus dengan sebutan negara agraris yang sudah dikenal secara turun temurun akibat kebijakan yang diambil pemerintah. Beragam kebijakan dan konflik yang merugikan petai tersebut mengiindikasikan bahwa pertanian bukan lagi menjadi prioritas penguasa. Sekali pun secara historis kita merupakan negara yang terahir dari Rahim pertanian karena memiliki tanah yang subur. Hal ini juga menyebabkan petani mendoktrin anak-anaknya bahwa nasib jadi petani bukanlah pilihan, melainkan hanyalah sebagai takdir yang tidak dapat dihindarkan. Doktrin pun berlanjut dengan menanamkan harapan pada anak-anaknya untuk tidak bertani. Tentu, hal ini menyebabkan generasi petani pun terputus.