Sengkarut Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
10 April 2019 13:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pendidikan profesi advokat mendadak menjadi perbincangan. Penyebabnya adalah Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat, yang dikeluarkan pada 24 Januari 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 2 ayat (2) Pemenristekdikti tersebut diatur bahwa program Profesi Advokat diselenggarakan paling kurang selama 2 semester setelah menyelesaikan Program Sarjana dengan beban menyelesaikan belajar paling kurang 24 Satuan Kredit Semester (SKS).
Sepintas tidak ada yang salah dengan Permenristekdikti tersebut, apa lagi bila mengingat kita perlu meningkatkan kualitas dari para pemberi bantuan hukum di negeri ini. Hanya saja, dalam perumusan Permenristekdikti tersebut tidak mengikutsertakan semua organisasi advokat yang ada.
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada upaya dari negara yang secara diam-diam ingin kembali mengintervensi organisasi advokat. Sebab, Permenristekdikti tersebut merupakan peraturan yang merampas kewenangan profesi advokat dengan cara yang tidak benar.
Kemenristekdikti seperti ingin menjadikan advokat sebagai gelar, dengan menjadikan perguruan tinggi sebagai tempat untuk memproduksi gelar. Padahal, substansi yang akan diajarkan dalam pendidikan profesi advokat, seorang sarjana hukum sudah mendapatkan materinya pada saat menempuh pendidikan sarjana.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, ketentuan tersebut tentu membuat biaya seseorang untuk dapat menjadi advokat meningkat. Implikasinya tentu kepada ketersediaan advokat yang mau memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin.
Pasalnya, dengan biaya menjadi advokat yang murah saja masih minim tersedia advokat yang dengan senang hati menjalankan kewajiban pro bono, apalagi bila biaya untuk menjadi advokat tinggi. Tentu hal ini dapat menyebabkan keadilan bagi masyarakat semakin kritis.
Secara hukum, pelaksanaan pendidikan profesi advokat dengan sistem SKS di perguruan tinggi tidak memiliki legal standing yang kuat, sebab Permenristekdikti ini dikeluarkan hanya atas pertimbangan untuk melaksanakan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi dan Program Pendidikan Tinggi pada jenis pendidikan profesi dan spesialis diatur dalam Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian lain, LPNK, dan/atau Organisasi Profesi terkait.
ADVERTISEMENT
Walaupun pada konsiderannya dicantumkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, namun tidak satu pasal pun dalam UU tersebut yang melegitimasi Pendidikan profesi advokat dapat masuk dalam kurikulum pendidikan tinggi.
Kemudian, subtansi yang diatur dalam Permenristekdikti tersebut juga melebihi yang seharusnya. Secara hierarki, merujuk kepada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah kedudukannya berada di bawah undang-undang yang berisi materi atau peraturan teknis untuk menjalankan undang-undang.
Sementara itu, Peraturan Menteri adalah penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah yang materi muatannya tidak dapat mengatur lebih dari apa yang dibunyikan di dalam undang-undang.
Dalam hal pendidikan profesi advokat, bila merujuk kepada undang-undang, sepantasnya pendidikan tersebut diberikan oleh organisasi advokat. Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
ADVERTISEMENT
Pasal ini pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi pada 2013 dan 2016 melalui pengujian perkara Nomor 103/PUU-XI/2013 dan Nomor 95/PUU-XIV/2016. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XI/2013, MK menegaskan bahwa yang berhak menyelenggarakan PKPA adalah organisasi advokat.
Kemudian, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016 juga menegaskan bahwa untuk menjaga peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan UU Advokat, maka penyelenggaraan PKPA memang seharusnya diselenggarakan oleh organisasi atau wadah profesi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas.
Dalam praktiknya, ketentuan yang ada dalam UU Advokat dan amanat dari dua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah dilaksanakan dalam pelaksanaan PKPA. Organisasi Advokat sudah secara aktif bekerja sama Perguruan Tinggi hukum.
ADVERTISEMENT
Dikeluarkannya Peraturan Menteri yang memasukkan PKPA dalam salah satu prodi di perguruan tinggi hukum adalah bentuk keputusan yang tidak tepat. Secara hukum, Peraturan Menteri tersebut cacat hukum, sementara dari segi dampaknya terhadap akses keadilan bagi masyarakat kurang mampu semakin sulit.
Pemerintah perlu merumuskan langkah untuk mengantisipasi terjadinya krisis bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Jika memang terpaksa harus menerima pelaksanaan PKPA masuk dalam kurikulum pendidikan tinggi, pemerintah harus merumuskan langkah yang dapat menjamin pemberian bantuan hukum pro bono dapat diakses dengan mudah bagi masyarakat, apalagi bila mengingat advokat adalah satu-satunya pihak yang berwenang memberikan bantuan hukum.
Terlepas dari hal itu, kita tentu harus menghormati Permenristekdikti tersebut sebagai peraturan perundang-undangan yang harus dihormati. Sepanjang belum dicabut atau ada putusan pengadilan yang membatalkan, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima.
ADVERTISEMENT