Konten dari Pengguna

(Sudahi) Kontroversi Partai

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
12 April 2019 16:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tenggat pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak 2019 tinggal menghitung hari. Sisa waktu inilah yang harus dioptimalkan untuk meningkatkan sosialisasi oleh semua pihak yang terlibat dalam pemilu, baik oleh penyelenggara maupun oleh partai politik peserta pemilu dengan tujuan agar partisipasi pemilih meningkat.
ADVERTISEMENT
Penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu mungkin sudah optimal, namun tidak oleh partai politik yang sampai sejauh ini masih banyak yang terbelit kontroversi. Beberapa partai seperti hanya memiliki orientasi mengejar popolaritas, sementara hal-hal yang sifatnya subtantif untuk meningkatkan partisipasi pemilih diabaikan. Padahal, banyak jalan yang bisa dilakukan agar pelaksanaan pemilu berjalan dengan baik, diantaranya seperti mengenalkan calon-calon legislative yang dimilikinya ke publik dengan cara memaparkan visi, misi serta rekam jejak. Saya rasa waktu yang tersisa cukup untuk melakukan itu.
Salah satu partai yang paling kontroversi adalah Partai Solidaritas Indonesia. Mulai dari kontroversi pernyataan ketua umumnya Grece Natalie dalam menolak peraturan daerah yang berdasarkan tafsir keagamaan, pemberian kebohongan aword kepada petinggi partai, sampai serangan yang dialamatkannya kepada partai nasionalis yang ada dalam koalisinya sendiri. Kemudian, kebiasaan PSI mengomentari semua isu tanpa memikirkan dampaknya terhadap pemilih juga patut menjadi catatan. Tidak jarang, komentar-komentar PSI malah menyebabkan “gaduh” dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika dicermati, PSI hanya mengejar popularitas dengan cara menyerang dengan membabi buta, tanpa memikirkan apa dampaknya terhadap pemilih. PSI menyindir sana-sini dengan nada-nada sisnis yang mengundang perpecahan. Padahal, pemilu akan baik-baik saja bila pernyataan-pernyataan kontroversi tersebut tidak pernah dilontarkan.
Kontroversi PSI tersebut jelas memicu perdebatan dalam masyarakat yang subtansinya berada di luar konteks penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Akibatanya, upaya untuk menciptakan pemilu yang berkualitas kembali terhambat. Dengan posisi demikian, pelaksanaan pemilu yang damai dan berkualitas sulit diwujudkan. Padahal, pemilu sudah ditempatkan sebagai sarana untuk pelaksanaan hak fundamental (fundamental rights) bagi warga negara yang tujuannya untuk mencari sosok pemimpin yang berkualitas dan mempu membawa negara kearah yang lebih baik.

(Bukan) Politik Milenial

Langkah PSI tersebut adalah anomali. Pasalnya, partai tersebut mengaku sebagai representasi politik milineal, namun minim memperlihatkan kualitas. Mengaku mewakili generasi baru, dengan segala diferensiasi kepentinganya, tapi justru mengklaim dengan sangat gamblang sebagai "sekrup" kekuasaan yang sedang berkuasa. Mengapa harus mendirikan partai baru jika ternyata hanya menjadi "sendal kekinian" untuk kekuasaan yang ada. Sejauh ini, selain kerap melontarkan pernyataan kontroversi, PSI terkesan hanya mengambil momen dalam isu-isu yang ada. Sama sekali belum menunjukan apa kelebihan sehingga layak untuk dipilih.
ADVERTISEMENT
Politik anak muda adalah pembaharu, bukan politik pengacau atau politik yang memunculkan kegaduhan. PSI hanya terlihat sekedar diisi oleh anak muda, tetapi politik yang ditawarkan jauh dari kata muda itu sendiri. Cara-cara yang digunakan masih cara-cara lama, bahkan jauh lebih buruk.
Jika melihat cara yang ditempuh, PSI jelas belum menjalankan perannya dengan baik dalam menyonsong Pemilu Serentak 2019. Elite PSI masih bersikap kekanak-kanakan, suka mempelintir isu atau mengomentari hal-hal yang tidak perlu. Mereka hanya ingin menjadikan rakyat sekadar penyumbang suara untuk meraih kemenangan. Sementara subtansi dari pemilu itu sendiri diabaikan, akibatnya, perpecahan pun menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan.
Perlu diingat, pemilu adalah ajang untuk mencari pemimpin berkualitas dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Bila kemudian pemilu hanya menyebabkan pertikaian, berarti pemilu telah gagal. Untuk itu, seharusnya menghindari segala bentuk kontroversi yang dapat merusak integritas pemilu adalah harga mati bagi partai politik. Hal-hal yang yang subtansinya berada di luar pelaksanaan pemilu atau hal-hal yang dapat memicu perdebatan yang “negatif” perlu dihindarkan.
ADVERTISEMENT
Jika diletakkan dalam konteks politik pembaruan dan peningkatan kualitas pemilu, kontroversi yang menyebabkan perpecahan tentu kontraproduktif dengan semangat yang dibangun. Apa lagi bila mengingat semua pihak berharap partisipasi pemilih meningkat.
Sayangnya, KPU dan Bawaslu tidak merespon kontroversi partai yang demikian, sehingga bola liar sudah mental kemana-mana. Bak bola salju, kondisinya sudah tidak dapat dibendung lagi. Kontroversi yang demikian sudah terlanjur diamini, kemudian barisan pendukungnya pun sudah sangat fanatis. Tidak ada lagi kebenaran yang tersisa, bahkan bila itu memang kebenaran, selalu ada penyangkalan dari hati dan pikiran mereka.
Politik kontorversi seperi itu sudah seperti menjadi cara baru bagi partai politik untuk meraih dukungan, di luar konteks janji-janji yang pada pemilu sebelumnya begitu populer. Bertemu petani janjinya begini. Bertemu peternak janjinya begitu. Bertemu pedagang janjinya lain. Bertemu buruh janjinya lain lagi. Bertemu pengusaha janjinya beda. Kalau dikomparasi dan dicari benang merahnya, semuanya saling bertentangan. Dalam hal ini, rakyat hanya dianggap sekedar variabel suara. Kini, segmen politik sudah benar-benar jauh dari kata ideolegis. Sudah seperti segmen pasar. Lain konsumen lain dagangan dan cara berdagang.
ADVERTISEMENT

Keberhasilan Pemilu

Patut disadari, demokrasi adalah instrumen korektif atau arena mempercantik penampilan dan membenahi substansi. Dengan kebobrokan politik yang dilakukan partai politik hari ini, urgensi dari pesta demokrasi dalam bentuk pemilu serentak jelas tidak akan tercapai. Wajar bila kemudian banyak pemilih nantinya memilih golput atau “the abstainers”, suatu pilihan yang tidak sejalan dengan keinginan penyelenggara pemilu.
Jika keberhasilan pemilu dinilai dari sisi yang lebih utuh dari sekedar bagaimana mengkonversi suara menjadi kursi, seperti menjawab keputusasaan menjadi harapan, menjawab harapan menjadi kenyataan atau kembali kepangkal daulat rakyat (contract social) yaitu perlindungan atas hak-hak individu, maka golput seharusnya dapat diterima. Pilihan tersebut adalah sebaik-baiknya kritik yang disampaikan oleh warga negara terhadap struktur, sistem dan budaya politik kontroversi sebagaimana yang gencar dilakukan beberapa partai politik. (M. Nurul Fajri: 2018)
ADVERTISEMENT
Kita harus menyadari, kalau pemilu adalah pesta demokrasi, maka yang kita inginkan adalah akuntabilitas proses dan hasil dari proses untuk lima tahun kedepannya. Esensi berpesta adalah merayakan kebahagiaan bersama, sehingga melekat dalam ingatan dan dirasakan manfaatnya. Sementara politik yang dibangun saat ini tidak lebih sekedar kontroversi yang mengundang perpecahan. Dalam keadaan yang demikian, apa yang hendak dirayakan. Ungkapan “pesta” sebelum kata “demokrasi” tidak lebih hanya kamuflase untuk menyamarkan praktek mengadu domba pemilih dalam upaya untuk melenggangkan kekuasaan dengan biaya triliunan rupiah.
Sangat disayangkan jika hajatan yang menelan biaya triliunan rupiah ini bila hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan yang terkesan menghalalkan segala cara. Barangkali ketegasan sudah sangat diperlukan. Namun, harus diakui di waktu yang singkat ini, upaya itu pun akan berakhir sia-sia. Oleh sebab itu, sudah tidak ada alasan bagi partai politik untuk tidak mengakhiri kontroversi yang dapat menyebabkan perpecahan tersebut.
ADVERTISEMENT