news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Diplomasi RI-Vanuatu: Isu West Papua Sebagai Komoditas Politik

Anugrah Wejai
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
16 Januari 2023 8:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anugrah Wejai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
General Assembly. Sumber: United Nations Photo/Manuel Elias (un.org)
zoom-in-whitePerbesar
General Assembly. Sumber: United Nations Photo/Manuel Elias (un.org)

Kilas Balik

ADVERTISEMENT
Pasca-reformasi 1998 di Indonesia, isu keamanan yang diselintirkan dengan hak asasi manusia diatribusikan kepada wilayah Papua (istilah West Papua atau Papua Barat sering digunakan oleh komunitas internasional). Ini disebabkan oleh karena keterbukaan politik yang seolah-olah membuka keran transparansi dan kesempatan bagi kelompok-kelompok minoritas untuk masuk arena pertarungan kekuasaan politik, di mana kegelisahan dan ketidakpuasan pemerintah telah menjadi dalih yang kuat bagi mereka di negara demokrasi seperti Indonesia. Isu kemerdekaan Papua Barat mendapatkan jalan penyuaraan melalui akses aspirasi di tingkat nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Masuknya perhatian komunitas internasional tentang isu kemerdekaan Papua Barat dimulai ketika sejarah konflik Papua sejak integrasinya ke Indonesia. Catatan sejarah penting, misalnya, perundingan Indonesia-Belanda dan Perjanjian New York hingga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera 1969) nyatanya menghasilkan kesimpulan yang semu—sebagian rakyat Papua mengklaim nasionalismenya sebagai negara merdeka, bukan sebagai bagian dari NKRI. Sampai hari ini, gerakan anti-Indonesia masih ada bahkan meneror citra Indonesia di kancah internasional.
Kancah internasional, utamanya di kawasan negara-negara Pasifik Selatan disinyalir memiliki dukungan terhadap gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat. Vanuatu merupakan negara di kawasan Pasifik Selatan yang secara rutin menyuarakan isu Papua dengan bersandar pada deretan kasus pelanggaran HAM. Dalam setiap persidangan PBB, kemungkinan besar Vanuatu akan menggunakan sesi bicaranya untuk mengangkat soal nasib rakyat Papua Barat sebagaimana itu dinyatakan dalam solidaritas ras Melanesia.
ADVERTISEMENT

Melanessia Socialism dan Gugatan Vanuatu

Ini dimulai saat pemimpin pertama Vanuatu, Walter Line memprakarsai konsep Melanessia Socialism yang dasarnya tentang ideologi sosialisme adalah ideologi paling cocok untuk ras Melanesia, karena mendukung kepemilikan bersama daripada kepemilikan individu (Rianda dkk., 2017). Determinasi ideologis yang menjadikan ras Melanesia dan kawasan Pasifik Selatan berada dalam prioritas utama politik di Vanuatu. Politik luar negeri Vanuatu seringkali mendudukkan isu Papua Barat sebagai komoditas politik, setidaknya itu memicu wacana Vanuatu ‘pemimpin’ ras Melanesia, dan dukungan apa pun yang pernah terjadi, termasuk sokongan terhadap gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) (Rianda dkk., 2017). Kaitannya dengan ras Melanesia, Indonesia juga adalah bagian dari ras Melanesia di mana wilayah paling timur negara di dominasi oleh ras Melanesia yang berada di Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Isu Papua Barat yang dikaitkan dengan ras Melanesia sesungguhnya bermakna paradoks di antara Indonesia dan Vanuatu.
Vanuatu Peoples. Sumber: UNDP (undp.org)
Paradoksal ras melayani keberpihakan superioritas Vanuatu dalam merepresentasikan nasib Papua Barat di forum pertemuan dunia. Legitimasi yang jadi alat komunitas internasional adalah jejak kasus pelanggaran HAM, disitulah sudut politik yang selalu digaungkan oleh Vanuatu dalam meja-meja persidangan PBB. Dilihat dari pernyataan Vanuatu ketika bersidang di Dewan HAM PBB tahun 2018 yang tidak menyatakan dukungan terhadap gerakan separatis namun menyiratkan pesan bahwa aspirasi pro-kemerdekaan orang Papua Barat sebagai hak yang dilindungi hukum internasional. Jika mengacu pada penjelasan Rosyidin dkk (2022) tampaknya Vanuatu mengesampingkan aspek kedaulatan Indonesia dan cenderung menekankan norma universal hak asasi manusia, kemudian bagi mereka penentuan hak nasib sendiri lebih tinggi daripada narasi nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya klaim-klaim Vanuatu dan lemparan kritik Indonesia di meja sidang Internasional, misalnya di PBB, terjadi bukan sekali namun dalam waktu yang rutin setiap tahunnya. Kritik terhadap pelanggaran HAM di Papua Barat tahun 2016 hingga permintaan PBB mengunjungi Papua Barat secara independen di persidangan PBB tahun 2021. Salah satu kutipan yang bagi penulis adalah wujud benturan kepentingan ketika pernyataan PM Vanuatu, Bob Loughman, soal HAM di Papua Barat ditanggapi oleh diplomat Indonesia, Silvany Pasaribu dengan argumen “Vanuatu bukan representasi rakyat Papua” (Yanwardhana, 2021). Persidangan PBB tahun 2020 waktu itu menunjukkan bahwa Vanuatu memang bukan representasi kedaulatan nasional akan tetapi ditinjau dari apa yang telah kita bahas di atas justru menggambarkan negara itu sedang menjalankan diplomasi pasifik yang merupakan perantara dari Melanessia Socialism—dalam hal ini kepentingan HAM dan ras melebihi konsep kedaulatan Westphalia System.
ADVERTISEMENT

Politik Luar Negeri Bebas-Aktif dan Diplomasi Indonesia

Bagaikan sebuah komoditas politik, isu Papua Barat memiliki kedudukan nilai dan moral yang sensitif antara kedaulatan dan norma internasional—HAM. Indonesia sebagaimana klaim landasan kenegaraan ‘musyawarah untuk mufakat’ yang artinya demokrasi dalam bahasa politik peradaban Barat, lalu kaitannya dengan prinsip Politik Luar Negeri Bebas-Aktif dalam menyokong metode-metode perdamaian dalam hal apa pun haruslah jelas dalam perkataan dan perilaku. Diplomasi yang dilaksanakan untuk merespon Vanuatu nyatanya dan boleh diakui sejalan dengan landasan dan dasar yang termaktub tadi, bahwasannya diplomasi persuasi adalah pilihan yang tidak konfrontatif namun tegas pada pendirian, demikianlah Indonesia bermanuver untuk membina kepercayaan dengan Vanuatu.
Bentuk-bentuk diplomasi persuasi Indonesia kepada Vanuatu dapat ditinjau dari pemberian bantuan kemanusiaan saat bencana alam Topan Pam di Vanuatu tahun 2015 (Rianda dkk., 2017). Pengiriman 40,5 ton barang bantuan kemanusiaan (bahan makanan dan elektronik) dan transfer dana sebesar $450.000 dolar. Selain itu, pemberian bantuan kerja sama Kepolisian untuk mengantisipasi pelaku kejahatan dari Papua ke Vanuatu berupa pelatihan kepolisian di Jakarta. Kemudian, gagasan People to People Contact sepanjang tahun 2016 dengan penekanan capacity building masyarakat Vanuatu (Rianda dkk., 2017). Implikasi dari deretan diplomasi itu sengaja maupun tidak sengaja menyasar pada upaya penguatan legitimasi Indonesia di tengah pusaran elite-elite politik dan kelompok masyarakat sipil Vanuatu, karena berkembangnya diskusi isu pro-kemerdekaan Papua Barat di sana didorong oleh dialog di antara para pemangku kepentingan dan masyarakat.
ADVERTISEMENT

Catatan akhir

Semenjak awal kita bisa menerka-nerka ‘arah’ gugatan Vanuatu kepada Indonesia di panggung global didominasi oleh motif norma-norma universal HAM yang menjadi kepercayaannya selain perasaan solidaritas ras Melanesia. Samuel Huntington kali ini benar tentang gambaran dunia pasca-Perang Dingin bahwasannya benturan kultural akan sering terjadi. Kombinasi paling berbahaya di dunia yang terglobalisasi adalah aspirasi hak asasi manusia dan unsur kebudayaan minoritas.
Vanuatu mengesampingkan kedaulatan Indonesia karena memandang hak asasi manusia ras Melanesia lebih utama ketimbang nasionalisme pasca-Pepera 1969. Lagi pula hal konstruktif yang harus disoroti Indonesia perihal isu Papua Barat di kancah internasional adalah menyaring narasi-narasi yang konfrontatif. Diplomat Indonesia bisa berargumen bahwa keabsahan representasi kedaulatan ada di pihak mereka, namun lebih dalam maknanya lagi jika Vanuatu yang berbicara sebab keterwakilan biologis dalam ras Melanesia.
ADVERTISEMENT
Memang kontraproduktif, tetapi begitu adanya dinamika yang sudah terlewati. Penulis juga mengakui Indonesia dalam upaya diplomasi persuasi. Selain tertera dalam landasan dan dasar negara kita, setidaknya itu sudah mencerminkan pendekatan Indonesia kepada dunia tentang bagaimana menyelesaikan konflik dengan cara-cara damai dan demokratis. Penulis menyarankan kepada pembaca ketika memahami problematika isu Papua lebih baik dalam konteks yang multi-perspektif alih-alih mempercayai satu sumber informasi.

Referensi

Rianda, B., Djemat, Y. O., & Rahmat, A. N. (2017). Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap dukungan Republik vanuatu atas Kemerdekaan Papua Barat Tahun 2015-2016. Jurnal Dinamika Global, 2(01), 82–113. https://doi.org/10.36859/jdg.v2i01.33
Rosyidin, M., Basith Dir, A. A., & Wahyudi, F. E. (2022). The Papua Conflict: The Different Perspectives of the Indonesian Government and International Communities—review from the English School Theory. Global: Jurnal Politik Internasional, 24(2). https://doi.org/10.7454/global.v24i2.1253
ADVERTISEMENT
Yanwardhana, E. (2021, September 26). Kronologi Vanuatu serang RI di PBB & sebut-sebut papua. CNBC Indonesia. Retrieved January 16, 2023, from https://www.cnbcindonesia.com/news/20210926132354-4-279234/kronologi-vanuatu-serang-ri-di-pbb-sebut-sebut-papua