Konten dari Pengguna

Marjinalisasi Psikososial: Bayang-bayang Kemiskinan Sepanjang Jalan UGM

Anugrah Wejai
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
19 Mei 2024 9:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anugrah Wejai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepanjang jalan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), pemandangan dihiasi oleh gedung-gedung fakultas, arus kendaraan mahasiswa, dan sekelompok orang-orang rentan secara sosio-ekonomi. Kelompok tersebut termarjinal secara sosial dan ekonomi yang kemudian menghabiskan waktu berjemur di sepanjang jalan tersebut sembari menanti datangnya berkat dari orang-orang sekitar.
Wilayah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sumber: shutterstock/faizalafnan
Kondisi kelompok marjinal disana menarik untuk diteliti, mengingat keberadaan mereka di tengah kampus ternama sehingga perlunya analisis sosial tentang kedudukan dan kontribusi aktor-aktor sekitar. Melalui Kaderisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Mei 2024, situasi sosial ini diungkap dalam diskusi dengan kelompok disana dan menemukan fakta-fakta sosial baru berikut.
ADVERTISEMENT

Konstruksi Marjinal

Sekitar delapan orang yang ditemui di lapangan menceritakan latar belakang dan keseharian masing-masing. Analisis dari cerita mereka menyiratkan kondisi mereka bukan berasal dari situasi kemiskinan ekstrem. Beberapa dari mereka memiliki keluarga dan tempat tinggal. Namun, menariknya adalah sekalipun kelompok ini memiliki tempat tinggal, mereka tetap ‘nangkring’ di sepanjang jalan FT UGM dengan alasan mengharapkan bantuan dari masyarakat di sekitar jalan tersebut.
Mengenai konteks yang terjadi di atas, kita dapat mengacu pada konsep “budaya kemiskinan” yang berarti suatu adaptasi dan reaksi orang miskin terhadap posisi marjinal mereka dalam masyarakat yang terstratifikasi dalam kelas, individualistis, dan kapitalis (Lewis, 1971; Twikromo, 1991). Artinya, mereka memproduksi budaya jalanan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka dalam menginterpretasikan lingkungan mereka.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pendefinisian marjinal pada mereka merupakan bentuk strategi untuk adaptasi dalam budaya dominan. Kondisi demikian mengartikan bagaimana marjinal itu dikonstruksikan di dalam diri seseorang untuk menanggulangi keputusasaan atas ketidakmungkinan untuk kelompok mencapai tujuan bersama.
Kondisi kelompok marjinal di atas juga menandakan ketidakhadiran modal sosial yang kohesif di antara mereka. Modal sosial yang dimaksud disini berkaitan dengan modal manusia (human capital) yang berarti kekuatan modal manusia terletak pada keberhasilan mengembangkan sistem yang mampu mendayagunakan keterampilan, pengetahuan dan pengalaman untuk kegiatan produktif (Usman, 2018).
Keputusasaan yang mereka alami juga didorong oleh ketidakberdayaan mereka untuk berusaha melakukan usaha-usaha yang lebih menghasilkan efek ekonomis. Alhasil, alih-alih melakukan pekerjaan atau usaha, mereka cenderung mengasingkan diri sebagai kaum yang marjinal. Hal ini menjadi siklus dan berkelompok karena adanya kecenderungan groupthink di antara individu-individu.
ADVERTISEMENT

Kebijakan Publik

Merespon keberadaan kelompok marjinal di sekitaran wilayah UGM tentu memerlukan tindakan sistemik dan pendekatan kultural. Kondisi mereka cukup unik menjadi sebuah fenomena sosial di kawasan urban. Selain menjadi agenda riset sosial bagi perkembangan ilmu pengetahuan humaniora, adapun analisis kebijakan yang dapat dikemukakan disini.
Pertama adalah agenda memperdalam demokrasi di wilayah-wilayah yang menunjukkan dominasi budaya kapitalis. Memperdalam demokrasi diyakini dapat menjadi katalis bagi pembuatan keputusan yang egaliter dan memiliki parameter sosial lebih akuntabel. Setelah proses memperdalam demokrasi berhasil dilakukan maka tugas selanjutnya adalah memproduksi kebijakan publik yang mengedepankan asas-asas keadilan sosial, kesejahteraan, dan keunggulan publik.

Refleksi

Dari kisah ini dipercaya bahwa marginalisasi juga berpotensi terjadi karena persoalan kultur maupun psikososial masyarakat itu sendiri. Sepanjang wilayah kampus UGM, kita mungkin banyak menemukan mereka di pinggiran jalan. Hal ini memberi dua kesimpulan; budaya dominan (misalnya kapitalisme) memberi bayang-bayang kemiskinan atau budaya kemiskinan itu berkembang secara psikososial di dalam komunitas masyarakat.
ADVERTISEMENT

Referensi

Usman, S. (2018). Modal Sosial. Pustaka Pelajar. (Original work published 2017)
Y. Argo Twikromo. (1999). Pemulung jalanan. Media Pressindo.