Konten dari Pengguna

Problematik Ibukota : Solusi Relokasi untuk Jakarta dan Rio de Janeiro

Anugrah Wejai
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
18 November 2022 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anugrah Wejai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Tom Fisk: https://www.pexels.com/photo/aerial-photography-of-city-buildings-2126395/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Tom Fisk: https://www.pexels.com/photo/aerial-photography-of-city-buildings-2126395/

Overview

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta sebagai ibukota Indonesia, dan status Rio de Janeiro sebagai ibukota Brasil yang berakhir pada 1960 pada hakikatnya berasal dari profil negara berkembang. Dalam hubungan internasional, kadangkala indikator pencapaian ibukota adalah wajah dari jiwa pertumbuhan nasional. Tentu argumentasi ini kuat apabila menyadari bahwasanya kedudukan ibukota bagi negara-negara Global South memainkan peran yang kuat. Negara-negara pasca-Perang Dunia II memindahkan ibukota karena tiga faktor antara lain pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan politik, dan pertimbangan geografis (Ishenda & Guoqing, 2019). Negara yang memindahkan ibukota pada umumnya adalah negara berkembang yang tidak memiliki karakteristik ekonomi negara maju.
ADVERTISEMENT
Relokasi ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada tahun 1960 bukanlah keputusan tanpa pertimbangan serius, namun sesungguhnya penilaian terhadap ugensi-urgensi di sana pun turut mendorong peluncuran kebijakan tersebut. Urgensi di Rio de Janeiro berupa krisis sosial di pinggiran dan ketimpangan ekonomi, jika dibandingkan dengan Jakarta, telah terlihat pola pergerakan yang relatif sama. Kompleksitas masalah di Jakarta tidak diimbangi dengan pengelolaan kota yang baik berdampak langsung terhadap pemerataan dan kesejahteraan sosial di masyarakat pinggiran juga menyangkut masalah lingkungan di sana.
Dengan demikian, faktor-faktor penentu (sosial dan ekonomi) baik di Jakarta dan Rio de Janeiro telah mendorong kebijakan relokasi ibukota di kedua negara. Meskipun pembangunan IKN di Kalimantan baru direncanakan akan menggantikan Jakarta dalam waktu dekat, tetapi apa yang terjadi di Rio de Janeiro adalah pelajaran bagi negara-negara berkembang dalam kasus ini adalah Indonesia untuk lebih berhati-hati mengawasi proses pembangunan ibukota baru. Lantas, apa saja yang ditemukan sebagai persamaan urgensi di kedua ibukota? Lalu, bagaimana kita menilai sisi urgensi pemindahan ibukota di Indonesia dengan melihat pengalaman Brasil memindahkan ibukotanya? Apa pelajarannya? Maka untuk menjawabnya, secara hemat penjelasan memberikan fokus pada urbanisasi dan konteks sosial serta relasi antara pembangunan dengan peningkatan ekonomi di ibukota.
ADVERTISEMENT

Urbanisasi menuju Identitas Sosial di Kota

Bukan berita baru, Jakarta selalu berhadapan dengan tingkat kepadatan penduduk yang meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan populasi disebabkan oleh urbanisasi yang tinggi ke kota guna menemukan kesempatan ekonomis. Akumulasi demografis dalam kajian Rukmana (2008) mengungkapkan Jakarta sebagai “gravitasi” bagi kedatangan orang dari sebagian besar pulau Jawa dan pulau-pulau Indonesia lainnya. Yang jelas kedatangan mereka justru berdampak pada kondisi daya tampung lingkungan yang tidak seimbang, sebagaimana dalam sebuah kasus antara tahun 1970-1998 di mana nilai lahan menjadi perhitungan utama bagi aktivitas komersial, pelayanan publik, dan permukiman. Keterbatasan lahan memfasilitasi keberadaan populasi yang signifikan, tidak ada pilihan lain selain membangun atap “gubuk” yang meruncing ke pinggiran kota.
ADVERTISEMENT
Pemandangan sosial dari kepadatan penduduk di kota dan pinggiran Jakarta merefleksikan kontras dan dualisme sosio-ekonomi. Lebih tegas dijelaskan dalam Suparlan (1974) bahwa mayoritas migran di Jakarta berasal dari kelas terendah di desa mereka, yang tidak memiliki harta benda dan juga akses pendidikan mumpuni. Kompilasi kepadatan penduduk dan ketidakberdayaan mereka justru menciptakan identitas baru, atau hal ini disebut streotip. Stereotip menempelkan konotasi negatif kepada mereka dalam istilah “gelandangan”, di mana itu berarti termasuk golongan rendah, tidak menetap, tidak dapat dipercaya, dan mudah diekspolitasi (Suparlan, 1974). Dari urbanisasi ke streotipe telah menandai ibukota Jakarta yang eksklusif dengan kontras dualistiknya. Tentu, sebagaimana dibayangkan oleh Lange (2015) tentang Jakarta adalah “Indonesia Mini” nyatanya tidak lebih daripada karikatur “Taman Mini”.
ADVERTISEMENT
Membandingkan isu yang sama, baik urbanisasi dan pemicu stratifikasi sosial, sepertinya harus disepakati bahwa apa yang terjadi di Jakarta tidak jauh berbeda antara kondisi dan fakta di Rio de Janeiro saat itu. Pasca-Perang Dunia II, Brasil memasang kuda-kuda untuk menancapkan akar industrialisasi di kota-kota, tidak terkecuali di Rio de Janeiro yang memang adalah pemeran utama dalam hal modernisasi. Oleh alasan itu, Rio de Janeiro memiliki daya tarik untuk mendatangkan populasi yang ditandai dengan peningkatan populasi Favela di periode 1950-1960 mencapai 335.063 (Rios, 1974). Favela adalah perkampungan yang terletak di pinggiran kota namun tidak layak untuk dihuni. Jika komparasikan dengan “gelandangan” maka kesamaannya berada pada subjek atau penghuninya. Tampilan fisik Favela yang menyerupai gubuk menjadi tempat tinggal kalangan migran luar kota, di mana latar belakang mereka adalah orang-orang pedesaan kelas rendah.
ADVERTISEMENT
Favela tampaknya bukan hanya soal nama tempat namun keberadaannya telah sampai pada pembentukan identitas sosial di sana. Sebagaimana Kelly (2020) menyebutnya sebagai ketidakpastian dan ketakutan yang melingkari sudut-sudut ibukota Rio de Janeiro. Nyatanya, favela dilanda krisis sosial yang memengaruhi kehidupan rakyat jelata, bermula dari signifikansi angka kekerasan di masyarakat yang diakibatkan oleh lowongnya aktivitas hingga berujung pada pembentukan streotip buruk tentang mereka “penghuni” favela. Hal ini tentu menyerukan reformasi sosial di tingkat administratif dan kesejahteraan. Seruan ini sampai di telinga Presiden Getulio Vargas (1930-1934) dengan tanggapan berupa kebijakan pemindahan paksa penduduk favela dari kota ke pinggiran (Saaristo, 2016). Pedomannya adalah individu di favela diasumsikan tidak mampu yang pada gilirannya melanggengkan langkah-langkah diferesiansi sosio-politik. Gelombang kedatangan mereka membawa problematik yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah di Rio de Janeiro. Pada akhirnya menambah kemelaratan dan kesenjangan di ibukota.
ADVERTISEMENT

Pembangunan mendorong Peningkatan Ekonomi : Untuk Siapa?

Pertanyaan kritis yang seharusnya diajukan, untuk apa ada pembangunan di ibukota? Ibukota Jakarta yang kita kenal, masih dikaitkan pada isu-isu ibukota contohnya, kemacetan lalu lintas, polusi udara, keterbatasan lahan, properti bisnis, hingga perihal grassrooth yang mencakup “gelandangan”, “gubuk”, dan banjir di belantaran sungai. Berbicara permukiman dan gedung-gedung pencakar langit, Jakarta sejak tahun 1970-an telah mengklaim pemanfaatan lahan seluas 30.000 hektare (Han & Basuki, 2001). Diikuti oleh fragmentasi sosial berupa kampung-kampung yang menjadi komunitas kohesif di sana. Selain itu, persoalan jarak dihitung berdasarkan kedekatan geografis dengan pusat kota—Jakarta Pusat—sehingga makin dekat lokasi, kian bertambah nilainya. Polusi udara yang berasal dari 3,5 juta mobil dan 14 juta sepeda motor di jalan-jalan Jakarta (Kikuchi & Hayashi, 2020), penurunan tanah sekitar 185 hingga 260 mm per tahun (Simone, 2015), juga bencana iklim “banjir” rutinan seringkali mewakili atribut representasi ibukota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Di spektrum ekonomi, menurut Henderson (2003), Jakarta menjadi tempat “favorit” para investor menanam bibit investasi (Rukmana, 2008). Memang benar dan diakui bahwasanya suntikkan investasi Jakarta selama periode 1967 sampai 1997 mencapai US$ 25,4 juta yang berasal dari investor dalam dan luar negeri (Firman, 1998; Han & Basuki, 2001). Kontribusi Jakarta terhadap perekonomian negara mustahil dimungkiri bahwasanya pada pertengahan 1980-an terhitung mencapai angka 10,3% dari PDB dengan pertambahan nilai manufaktur non-minyak sebesar 18,3%. Kalkulasi semacam itu, selain tampak fantastis dan futuristis, juga melebarkan sayap dominasi ibukota di atas daerah lain di Indonesia. Dominasi Jakarta atas kota-kota lain di Indonesia meningkat sejak tahun 1950-an. Tentu, ini adalah hubungan kausal antara pasar modal dan sentralisasi urusan pemerintahan yang berputar di “Monas”. Dewasa ini, pembangunan di ibukota apabila dilihat dari sudut masyarakat akar rumput tidak lebih dari upaya melayani kepentingan investasi. Peningkatan bagi pemilik modal mungkin terus terjadi, sedangkan gap ketimpangan di akar rumput mungkin juga melebar seiring reinkarnasi modal ibukota.
ADVERTISEMENT
Sebelum Brasilia dikukuhkan sebagai ibukota, Rio de Janeiro selama periode 1940 sampai 1960 mendirikan fondasi industrialisasi dengan dimensi-dimensi kebutuhan manufaktur, disadari atau tidak proses itu menggeser fungsi lahan sebagai modal pertanian. Mengingat kembali sejarah di abad ke-17, sebuah “Takdir Atlantik” jatuh kepada Rio de Janeiro yang pada masanya menjadi pusat kepentingan ekonomi Kekaisaran Portugis (Bicalho, 2001). Rio de Janeiro berkembang pesat secara ekonomi, budaya, dan arsitektur hingga masa transisi kemerdekaan Brasil. Ketika itu, Rio de Janeiro telah mencapai ukuran modernisasi, disaat itu pula gelombang favela mulai memenuhi isi kota. Secara ekonomis dan penilaian strategis, di Rio de Janeiro orang-orang dekat dengan akses ke markas-markas perusahaan nasional dan internasional sehingga ini adalah “gravitasi” bagi rakyat Brasil sendiri. Oleh karena prasyarat tersebut, Rio de Janeiro memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Brasil. Meskipun kalkulasi ekonomi Rio de Janeiro perlu diakui secara nasional, bagaimana dengan rakyat di favela?
ADVERTISEMENT
Mengacu terhadap efek urbanisasi yang berlebihan dan kurangnya kontrol atau pengaturan kependudukan, favela menjadi pilihan terakhir bagi rakyat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Stereotip tentang mereka sebagai orang yang tidak berdaya, justru menjadi bahan manipulatif oleh kepentingan politik dengan alasan-alasan yang rasional misalnya program pemberdayaan ekonomi lokal (Kelly, 2020). Sementara itu, ditinjau dari segi geografis, posisi Rio de Janeiro yang berada di area perbukitan di mana pengembangan kota modern tentu menempati letak strategis sedangkan bukit-bukit lainnya menjadi saksi atas kehidupan penghuni favela. Model tata ruang kota fungsionalis menjadi dasar pengembangan kota Rio de Janeiro dengan syarat bagian pusat kota ditempati kelas atas, dan sekitarnya atau pinggiran disiapkan bagi kelas pekerja (Xavier & Magalhães, 1970). Favela bukan hanya tempat, tetapi juga nasib.
ADVERTISEMENT

Rio de Janeiro ke Brasilia, apa moralnya?

Pemindahan ibukota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 21 April 1960 menandai transisi dominasi regional ibukota lama di sebelah tenggara menuju pusat, membuka ruang-ruang publik baru, merangsang pembangunan negara, sekaligus mewakili gerakan Brasil ke era baru yang melampaui problematik rasisme, kemiskinan, perumahan tidak adil dan korupsi (Kelly, 2020). Sebenarnya narasi pemindahan ibukota telah lahir sejak tahun 1891, kemudian itu kembali dalam wujud janji kampanye politik Juscelino Kubitschek de Oliveira bahwa dia berjanji akan memindahkan ibukota itu ke dataran tinggi—Brasilia (Trevisan & Ficher, 2016).
Pembangunan Brasilia diselesaikan dalam 41 bulan di bawah slogan “fifty years of prosperity in five”. Akibat yang timbul dari revitalisasi ke Brasilia adalah penurunan di Rio de Janeiro. Brasilia didorong menjadi tempat warga semua kelas hidup bersama dalam lingkungan yang terintegrasi (Krol, 2008; Kelly, 2020), yang setidaknya tidak mewarisi tradisi sosial pinggiran ibukota sebelumnya. Meskipun wacananya demikian, fakta tentang sisi lain ibukota Brasilia mulai bermunculan. Alih-alih mencapai indikator kesuksesan yang dinantikan, perkembangan Brasilia meninggalkan disparitas ekstrasi pendapatan, reinvestasi yang minim di daerah-daerah lainnya, kurangnya layanan dasar (air, lingkungan bersih, listrik, mutu pendidikan dan kualitas pelayanan kesehatan yang tidak memadahi), serta ketimpangan perkembangan kota-kota lainnya di Brasil sampai tahun 1990-an dan 2000-an (Bradshaw, 1987; Armitage dkk., 2013, Hildago & Richardson, 2017; Kelly, 2020).
ADVERTISEMENT
Brasilia yang digadang-gadang inklusif terhadap semua kelas, nyatanya berbalik arah seakan menduplikasi yang sudah terjadi. Demografi yang mencerminkan ketimpangan pendapatan yang ekstrem, disertai dengan kenyataan bahwa Brasilia sama sekali tidak mendekati tujuan egaliter—masyarakat tanpa pembedaan kelas—yang ditunjukkan melalui permukiman eksklusif kelas menengah ke atas, dan terakhir kata Kelly (2020) Brasilia berdiri sebagai simbol ketidaksetaraan kelas di Brasil.
IKN mengambil moral dari pengalaman Brasil memindahkan ibukotanya. Diawali oleh etalase imaji tentang kota nusantara, dengan membangun visualisasi ibukota sebagai refleksi cita-cita bangsa. Mungkinkah rencana itu akan berujung pada julukan “ilha da fantasia” atau “pulau fantasi” seperti yang terjadi di Brasilia? Ataukah representasi pembangunan ibukota baru sebagai akumulasi kekayaan? Hingga perhelatan G20 dilangsungkan sedikitnya sudah ada dua investor asal Korea Selatan yang meneken nota kesepakatan dan merealisasikan minat untuk investasi di IKN (Asia & Indonesia, 2022). Dampak dari pembangunan Brasilia mungkin berfungsi sebagai peringatan bagi pemerintah demokratis lainnya untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari pembangunan ibukota baru yang berat dan cepat.
ADVERTISEMENT

Referensi

Ishenda, D. K., & Guoqing, S. (2019). Determinants in relocation of Capital Cities. Journal of Public Administration and Governance, 9(4), 200. https://doi.org/10.5296/jpag.v9i4.15983
Rukmana, D. (2008). The growth of Jakarta metropolitan area and the sustainability of urban development in Indonesia. The International Journal of Environmental, Cultural, Economic, and Social Sustainability: Annual Review, 4(1), 99–106. https://doi.org/10.18848/1832-2077/cgp/v04i01/54398
Suparlan, P. (1974). The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of Indonesia. Indonesia, 18, 41–52. https://doi.org/10.2307/3350692
de Lange, M. (2015). Playing life in the metropolis: Mobile media and identity in Jakarta. In M. de Lange, V. Frissen, S. Lammes, J. de Mul, & J. Raessens (Eds.), Playful Identities: The Ludification of Digital Media Cultures (pp. 307–320). Amsterdam University Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt14brqd4.22
ADVERTISEMENT
Rios, J. A. (1974). Social Transformation and Urbanization: The Case of Rio de Janeiro. Urban Anthropology, 3(1), 094–109. http://www.jstor.org/stable/40552659
Kelly, J. (2020). The City Sprouted: The Rise of Brasília. Consilience, 22, 73–85. https://www.jstor.org/stable/26924964
Saaristo, S.-M. (2016, March 5). Favela associations: Between repression, violence and politics. Academia.edu. Retrieved November 18, 2022, from https://www.academia.edu/22868871/Favela_Associations_Between_Repression_Violence_and_Politics
Han, S. S., & Basuki, A. (2001). The Spatial Pattern of Land Values in Jakarta. Urban Studies, 38(10), 1841–1857. http://www.jstor.org/stable/43196607
Kikuchi, T., & Hayashi, S. (2020). The State of Jakarta’s Traffic Congestion. In TRAFFIC CONGESTION IN JAKARTA AND THE JAPANESE EXPERIENCE OF TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT (pp. 4–6). S. Rajaratnam School of International Studies. http://www.jstor.org/stable/resrep26836.6
Simone, A. (2015). The Urban Poor and Their Ambivalent Exceptionalities: Some Notes from Jakarta. Current Anthropology, 56(S11), S15–S23. https://doi.org/10.1086/682283
ADVERTISEMENT
Bicalho, M. F. B. (2001). The City of Rio de Janeiro and the Articulation of the South Atlantic World in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Mediterranean Studies, 10, 143–155. http://www.jstor.org/stable/41166927
Xavier, H. N., & Magalhães, F. (1970, January 1). [PDF] the case of rio de janeiro by Helia: Semantic scholar. [PDF] The case of Rio de Janeiro by Helia | Semantic Scholar. Retrieved November 13, 2022, from https://www.semanticscholar.org/paper/The-case-of-Rio-de-Janeiro-by-Helia-Xavier-Magalh%C3%A3es/cd88c862b786af564748ab7a20e158f52a5d44b4
Trevisan, R., & Ficher, S. (2016). Brazil: One century, five new capitals cities - researchgate. Retrieved November 18, 2022, from https://www.researchgate.net/publication/314673087_Brazil_one_Century_five_new_Capitals_cities
Asia, T., & Indonesia, F. W. (2022, November 16). Ibu Kota Nusa-investor: Cara Pemerintahan Jokowi Melobi pendanaan IKN. Project Multatuli. Retrieved November 18, 2022, from https://projectmultatuli.org/ibu-kota-nusa-investor-cara-pemerintahan-jokowi-melobi-pendanaan-ikn/
ADVERTISEMENT