Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Diaspora dalam Studi Hubungan Internasional: Isu Terpinggirkan yang Kian Relevan
11 November 2024 15:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari A A akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diaspora bukan sekadar perpindahan masyarakat antarnegara, tetapi fenomena sosial yang mampu mengubah hubungan internasional secara signifikan. Dalam artikel ini, kita akan memahami diaspora dari berbagai sudut pandang, dampaknya terhadap negara asal dan penerima, serta mengapa diaspora layak menjadi salah satu isu utama dalam studi hubungan internasional.
ADVERTISEMENT
Diaspora sering diartikan sebagai kelompok masyarakat yang tinggal di luar negara asalnya namun tetap menjaga hubungan emosional, budaya, dan material dengan tanah kelahiran mereka. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mendefinisikan diaspora sebagai "imigran dan keturunannya yang menetap di luar negara asalnya, tetapi tetap memiliki hubungan dengan tanah leluhur."
Misalnya, diaspora Tionghoa dan Yahudi telah lama menjadi objek studi sosiologi, seperti penelitian Simon Dubnow pada tahun 1931. Dalam konteks modern, diaspora semakin kompleks, terkait dengan isu migrasi, pengungsi, dan globalisasi budaya. Kevin Kenny, dalam bukunya Diaspora: A Very Short Introduction (2013), menyebut bahwa diaspora dapat didefinisikan dari dua pendekatan. Pertama, berdasarkan asal-usul, agama, atau sejarah. Kedua, berdasarkan penyebaran komunitasnya di berbagai negara. Diaspora kerap kali menjadi bagian dari konsep yang lebih besar, seperti pengungsi, migran, kelompok etnis, bahkan masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Di dunia hubungan internasional, diaspora menjadi fenomena yang menarik. Meskipun belum menjadi isu utama, keberadaan diaspora sering memengaruhi kebijakan luar negeri, hubungan bilateral, dan dinamika antarnegara.
Seperti Dalam konteks politik diaspora, karya Avtar Brah Cartographies of Diaspora (1996) menunjukkan bagaimana identitas diaspora mampu membentuk narasi politik di negara asal maupun penerima. Selain itu, Gabriel Sheffer dalam Diaspora Politics: At Home Abroad menjelaskan bagaimana diaspora dapat menjadi aset strategis bagi diplomasi publik suatu negara.
Isu identitas menjadi elemen krusial dalam pembahasan diaspora. Bagaimana negara asal memandang diaspora sebagai bagian dari identitas nasional mereka? Bagaimana negara penerima mengintegrasikan mereka dalam masyarakat lokal?
Sebagai contoh, Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018) menyoroti bagaimana politik identitas dapat memicu konflik jika tidak dikelola dengan baik.
ADVERTISEMENT
Namun, apa yang membuat diaspora begitu penting? Jawabannya terletak pada pengaruhnya yang dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Diaspora bisa menjadi jembatan yang mempererat hubungan antarnegara, tetapi juga dapat menjadi pemicu konflik, terutama terkait isu identitas dan nasionalisme.
Fenomena diaspora sering kali dipandang dari dua perspektif utama:
1. Hubungan antara negara asal dan negara penerima.
Diaspora kerap menjadi penghubung budaya dan ekonomi antara dua negara. Namun, mereka juga bisa menjadi alat diplomasi atau bahkan konflik, tergantung pada bagaimana kedua negara memandang peran diaspora tersebut.
2. Isu global yang melibatkan diaspora.
Dalam skala internasional, diaspora dapat memengaruhi hubungan multilateral. Sebagai contoh, diaspora Timur Tengah sering menjadi topik diskusi dalam konteks konflik geopolitik.
ADVERTISEMENT
Menurut Maria Koinova dalam tulisannya Autonomy and Positionality in Diaspora Politics (2012), diaspora dalam kajian HI seharusnya ditempatkan kepada posisi tersendiri karena memiliki karakteristik unik yang membuat mereka tidak selalu bergantung pada negara asal atau penerima. Mereka dapat bersikap otonom dan menjadi aktor independen dalam hubungan internasional.
Dalam artikel diaspora and international relations theory (2003) ditulis oleh Shain dan Barth, diaspora sering dikaitkan dengan pendekatan konstruktivisme dan liberalisme. Konstruktivisme menjelaskan bagaimana diaspora membentuk identitas, motif, dan kepentingan yang memengaruhi kebijakan luar negeri. Sementara itu, liberalisme fokus pada implementasi dari pengaruh diaspora dalam kehidupan nyata.
Sebagai contoh, diaspora sering menjadi aktor penting dalam diplomasi publik. Jan Melisen dalam The New Public Diplomacy: Soft Power in International Relations (2005) menyebutkan bahwa diaspora dapat berperan sebagai subjek maupun objek diplomasi. Mereka mampu memengaruhi opini publik di negara penerima, sekaligus membawa nilai-nilai budaya asal ke panggung internasional.
ADVERTISEMENT
Diaspora menantang kita untuk merenungkan kembali konsep nasionalisme, identitas, dan hubungan etnisitas. Douglas Woodwell menulis buku Nationalism in International Relations (2007), menunjukkan bahwa semangat nasionalisme sering kali dikaitkan dengan diaspora. menunjukkan bahwa semangat nasionalisme sering kali terkait erat dengan diaspora. Banyak negara yang penduduknya memiliki hubungan etnis dengan negara tetangga, menciptakan dinamika unik dalam hubungan antarnegara.
Sebagai contoh, banyak negara dengan populasi diaspora besar—seperti India, Israel, dan Tiongkok—menggunakan komunitas diaspora mereka untuk memperkuat hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara lain.
Sebagai informasi tambahan, data yang dihimpun oleh Kemenkumham pada 2023 diaspora Indonesia tersebar di 18 negara sekitar 6 jt orang , termasuk keturunan Indonesia, TKI legal dan illegal. Terbanyak berada di Malaysia, belanda, arab Saudi, Taiwan, dan singapura.
ADVERTISEMENT
Akhirnya kita dapat memahami Diaspora merupakan fenomena kompleks yang melibatkan aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Dalam studi hubungan internasional, diaspora sering dipandang sebelah mata. Padahal, pengaruhnya terhadap hubungan bilateral, identitas nasional, dan diplomasi sangatlah signifikan. apakah diaspora akan tetap menjadi isu yang terpinggirkan, atau justru menjadi kunci dalam memahami dinamika global yang terus berubah? Apakah Indonesia memerlukan satu badan khusus untuk mengurus seluruh diaspora?