Konten dari Pengguna

Penguasa Tanpa Negara: Peran Strategis Aktor Kriminal dalam Dunia Multipolar

A A akbar
International Relations Analyst, Expert in International Law, Peace and Conflict Resolution Enthusiast
6 Mei 2025 10:55 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A A akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : create by AI
zoom-in-whitePerbesar
sumber : create by AI
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap global yang kian kompleks dan terfragmentasi, aktor kriminal transnasional tak lagi sekadar pelaku kejahatan, melainkan telah bertransformasi menjadi entitas yang mampu mengisi kekosongan kekuasaan, terutama di wilayah di mana negara gagal menjalankan fungsinya. Ini menandai pergeseran besar dalam tatanan global, di mana aktor non-negara memainkan peran strategis dalam dinamika politik, ekonomi, dan sosial.
ADVERTISEMENT
Salah satu manifestasi paling nyata adalah perdagangan manusia. Laporan International Labour Organization (ILO) mencatat keuntungan ilegal dari kerja paksa mencapai US$236 miliar per tahun, naik 37% dari estimasi sebelumnya. Sekitar 73% berasal dari eksploitasi seksual komersial, sisanya dari kerja paksa di sektor seperti domestik, pertanian, dan lainnya.
Laporan UNODC 2024 menunjukkan peningkatan 25% korban perdagangan manusia sejak 2019, dengan anak-anak mencakup 38% dari total korban. Lonjakan ini dipicu oleh konflik, krisis iklim, dan bencana global yang memperbesar kerentanan terhadap eksploitasi.
Ia mengkritik pendekatan tradisional berbasis penegakan hukum yang dinilai tidak memadai menghadapi kompleksitas perdagangan manusia di era globalisasi dan teknologi digital.
ADVERTISEMENT

Dunia Multipolar dan Kekosongan Kekuasaan Negara

Peralihan dari tatanan unipolar yang didominasi Amerika Serikat menuju sistem multipolar telah mengubah dinamika hubungan internasional. Dalam sistem baru ini, kekuasaan tidak lagi terpusat, tetapi tersebar di antara berbagai aktor negara dan non-negara. World Economic Forum mencatat bahwa kekuatan global kini semakin bergeser ke negara-negara seperti Tiongkok dan India, sementara perusahaan multinasional dan kelompok kriminal transnasional memainkan peran strategis.
Dalam konteks ini, konsep "kekosongan kekuasaan negara" menjadi penting. Organization for operation and Development (OECD) mendefinisikan negara rapuh sebagai entitas yang gagal menjalankan fungsi dasar pemerintahan dan membangun relasi yang efektif dengan masyarakatnya. Celah ini sering dimanfaatkan oleh aktor non-negara, termasuk kelompok kriminal, untuk memperluas pengaruh mereka.
Berbagai studi kasus mengonfirmasi fenomena ini. Di Mali dan Republik Afrika Tengah, lemahnya institusi memungkinkan kelompok kriminal mengendalikan perdagangan manusia dan aktivitas ilegal lainnya. Laporan United Nations University menunjukkan bahwa kelompok ini bahkan menggantikan fungsi negara dengan menyediakan layanan dasar dan keamanan. Di wilayah Sahel, situasi serupa terjadi kelompok kriminal memanfaatkan minimnya pengawasan negara untuk menguasai jalur perdagangan manusia dan narkotika. The Swedish Defence Research Institute mencatat bahwa wilayah konflik dengan tata kelola lemah menjadi ladang subur bagi kejahatan terorganisir.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, aktor kriminal transnasional bukan hanya ancaman keamanan, tetapi juga menjadi otoritas alternatif di wilayah yang kehilangan kendali negara. Ini menandai pergeseran besar dalam tatanan multipolar, di mana aktor non-negara semakin menentukan arah dinamika global.

Transnasionalisasi Kejahatan dan Pelembagaan Kekuasaan

Di era globalisasi dan dunia yang makin multipolar, kelompok kriminal bukan lagi sekadar pelaku kejahatan jalanan. Mereka kini menjelma menjadi aktor yang membentuk jaringan kekuasaan sendiri bahkan menyerupai negara. Mereka memanfaatkan celah hukum dan lemahnya kontrol negara untuk memperluas pengaruh dan operasinya.
Di Pelabuhan Hamburg, Jerman, contohnya penyelundupan kokain melonjak drastis. The Guardian mencatat peningkatan penyitaan hingga 750% antara 2018 dan 2023. Sindikat narkotika menyusup ke dalam sistem pelabuhan dengan menyuap petugas, memanfaatkan pekerja, dan membangun jaringan yang tak mudah disentuh hukum.
ADVERTISEMENT
Fenomena serupa terjadi di kawasan Segitiga Emas yakni Laos, Myanmar, dan Thailand. Di sana, kelompok kriminal menjalankan kasino ilegal, pabrik perdagangan manusia, dan jaringan narkotika, lengkap dengan perlindungan dari pejabat lokal. Mereka menyediakan layanan, infrastruktur, bahkan keamanan yang seharusnya diberikan oleh negara.
Perdagangan manusia pun kini dijalankan secara profesional oleh jaringan kriminal lintas negara. Laporan PBB menyebut mereka memiliki sistem logistik lengkap dari perekrutan, dokumen palsu, hingga tempat penampungan untuk mengangkut dan mengeksploitasi korban.
Dengan kata lain, mafia kini bukan cuma berada di pinggiran sistem mereka sudah jadi bagian dari sistem itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini jadi peringatan serius ketika negara lemah, kelompok kriminal bukan hanya mengambil alih, tapi juga membangun kekuasaan tandingan. Dunia internasional harus bergerak lebih cepat dan terkoordinasi untuk menghentikan pelembagaan kekuasaan oleh para penjahat.

Kejahatan sebagai Alat Geopolitik dan Diplomasi Bayangan

Dalam dunia multipolar saat ini, jaringan kriminal lintas negara tak lagi sekadar menjalankan bisnis ilegal. Mereka kini menjadi alat strategis bagi negara-negara otoriter untuk menyiasati sanksi, mendanai agenda politik, dan memperkuat posisi di kancah internasional.
Contoh mencolok terjadi di Suriah. Rezim Bashar al-Assad diduga terlibat langsung dalam produksi dan distribusi captagon narkotika sintetis yang populer di Timur Tengah. The New Yorker melaporkan bahwa perdagangan captagon bernilai miliaran dolar, dan menjadi sumber utama pendapatan negara. Operasi ini bahkan dikendalikan oleh Maher al-Assad, saudara presiden. Suriah pun dijuluki sebagai "narco-state", negara yang bertahan hidup lewat bisnis narkotika.
ADVERTISEMENT
Iran juga menggunakan jaringan kriminal sebagai jalan pintas menghadapi isolasi internasional. Laporan Global Initiative Against Transnational Organized Crime menyebut Iran membangun koneksi dengan sindikat kriminal global untuk mendanai kelompok bersenjata, memperoleh teknologi sensitif, hingga menghindari sanksi ekonomi.
Tak hanya itu, fenomena diplomasi bayangan menunjukkan bagaimana individu dengan status diplomatik, seperti konsul kehormatan menyalahgunakan kekebalan hukum untuk aktivitas ilegal. Investigasi ProPublica dan ICIJ mengungkap ratusan kasus mulai dari pendanaan terorisme hingga perdagangan manusia.
Menurut Marshall Center, strategi ini memungkinkan negara-negara otoriter menggunakan kriminalitas sebagai senjata lunak untuk melemahkan lawan-lawannya, terutama negara demokratis yang terikat hukum dan etika internasional.
Kini, kejahatan transnasional bukan hanya ancaman keamanan biasa. Ia telah menjadi bagian dari permainan geopolitik global, yang menuntut respons serius dan terkoordinasi dari komunitas internasional.
ADVERTISEMENT

Dunia Digital dan Kejahatan Tanpa Batas

Transformasi digital telah mengubah wajah kejahatan. Kini, kelompok kriminal tak perlu melintasi perbatasan secara fisik untuk beroperasi lintas negara. Dengan teknologi canggih, mereka bisa menjalankan kejahatan dari balik layar secara efisien, anonim, dan nyaris tanpa batas.
Cybersecurity Ventures memperkirakan kerugian global akibat kejahatan siber akan mencapai $9,5 triliun pada 2024 angka yang jika dibandingkan dengan ekonomi dunia, setara dengan PDB terbesar ketiga setelah AS dan Tiongkok. Kejahatan ini mencakup penipuan daring, pencurian data, hingga serangan ransomware.
Salah satu kasus mencengangkan adalah jaringan eksploitasi daring 764. Pada April 2025, dua pemimpinnya Leonidas Varagiannis dan Prasan Nepal ditangkap karena memimpin subgrup 764 Inferno. Mereka menargetkan anak-anak dan individu rentan, memaksa korban menyakiti diri sendiri, dan menyebarkan konten kekerasan seksual sebagai mata uang internal untuk rekrutmen.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini dikenal sebagai kejahatan terorganisir digital, di mana kelompok kriminal menggunakan teknologi untuk mengatur, merekrut, dan mengelola operasi secara global. Dalam jurnal Trends in Organized Crime, kejahatan semacam ini dijelaskan sebagai bentuk baru dari jaringan kriminal yang berakar di dunia maya.
Teknologi enkripsi juga jadi tantangan besar. Kasus EncroChat jaringan pesan terenkripsi yang digunakan oleh mafia Eropa membuktikan bagaimana pelaku bisa menyembunyikan aktivitas mereka. Namun, kerja sama intelijen Prancis dan Belanda berhasil membobol sistem itu dan mengungkap ribuan percakapan kriminal, termasuk kasus narkoba dan pencucian uang.
Dunia digital kini jadi ladang subur bagi kejahatan terorganisir. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama global yang lebih erat dan pendekatan penegakan hukum yang adaptif agar dunia maya tak sepenuhnya dikuasai oleh kejahatan.
ADVERTISEMENT

Melemahnya Kedaulatan dan Tata Kelola Global

Di dunia yang makin terhubung, kedaulatan negara tak lagi menjadi kekuatan absolut. Negara kini menghadapi tantangan global seperti kejahatan transnasional, perdagangan manusia, terorisme, dan kejahatan siber yang tak bisa dibendung oleh batas teritorial semata.
Kini kita melihat buktinya, jaringan kriminal global tak hanya mengabaikan batas negara, tapi juga membangun kekuasaan alternatif.
Contohnya terlihat jelas di Amerika Latin. Kartel narkoba seperti Sinaloa dan Jalisco New Generation tak hanya menguasai perdagangan ilegal, tapi juga memberi layanan publik seperti keamanan dan penyelesaian sengketa. Dalam beberapa wilayah Meksiko, menurut International Crisis Group (2021), kekuasaan negara secara de facto telah digantikan oleh kelompok bersenjata.
ADVERTISEMENT
Masalah ini diperparah oleh lemahnya respons internasional. Organisasi seperti PBB, INTERPOL, dan UNODC memang punya mandat melawan kejahatan lintas negara, tapi kerap terhambat oleh kepentingan politik dan perbedaan hukum antarnegara. UNODC bahkan mengakui belum ada kerangka hukum global yang benar-benar efektif dan mengikat.
Prinsip non-intervensi dan sensitivitas kedaulatan nasional sering membuat kerja sama internasional terhambat.
Di tingkat nasional, negara dengan lembaga lemah dan korup rentan ditunggangi aktor kriminal. Hukum dimanipulasi, institusi diperalat, dan rakyat dibiarkan tanpa perlindungan.
Kita tengah menyaksikan krisis kedaulatan. Negara bukan lagi satu-satunya aktor yang mendefinisikan hukum dan keamanan. Saat kekuatan informal dari ekonomi gelap hingga milisi dan pengaruh digital ikut menentukan arah dunia, sistem internasional pun perlu direvisi agar tak tertinggal oleh realitas baru.
ADVERTISEMENT

Negara dalam Bayangan dan Refleksi

Di era multipolar, digital, dan penuh fragmentasi, aktor kriminal transnasional tak lagi beroperasi di pinggiran sistem global, mereka kini menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Mereka berperan layaknya "shadow sovereigns", penguasa bayangan yang mengisi kekosongan negara, meniru fungsi pemerintahan, dan membangun legitimasi di luar jalur formal.
Fenomena ini bukan semata soal lemahnya penegakan hukum. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam, negara tak lagi satu-satunya pusat otoritas.
Pasar gelap dan jaringan kriminal bahkan menjadi motor kedua ekonomi global. Moisés Naím dalam Illicit (2005) menggambarkan mereka sebagai “invisible hand” baru. Di banyak wilayah, mereka tidak hanya menyaingi negara, tetapi menyatu bersamanya melalui korupsi, kooptasi lembaga, hingga tampil sebagai kekuatan politik lokal, seperti warlord di Afghanistan atau mafia di Rusia.
ADVERTISEMENT
Menghadapi kenyataan ini, dibutuhkan pendekatan baru. Negara harus memperkuat institusi dan merawat kepercayaan publik dari bawah. Di level global, kerja sama internasional harus lebih lentur dan adaptif terhadap aktor-aktor non-negara. Prinsip kaku soal kedaulatan tak cukup lagi menjawab tantangan kekuasaan yang kini cair.
Dunia akademik juga tak bisa tinggal diam. Ilmu hubungan internasional dan hukum harus berani keluar dari kerangka normatif dan melihat kekuasaan sebagaimana ia bekerja dalam praktik.
Jika dunia ingin lebih adil dan aman, kita perlu mendefinisikan ulang siapa yang berkuasa, bagaimana kekuasaan dijalankan, dan apa peran negara di dalamnya. Negara tak bisa lagi berdiri sendiri. Ia harus menjadi arsitek kolaboratif dalam ekosistem kekuasaan global yang semakin kompleks dan tak terduga.
ADVERTISEMENT