Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dari Afrika untuk Dunia, Dari Keraguan Menjadi Karya
24 Agustus 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Anum Intan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pesona Afrika, membawa kisah pemberdayaan pemuda pada dunia.
ADVERTISEMENT
Sebulan yang lalu, saya menjejakkan kaki di Afrika untuk pertama kalinya, sebuah pengalaman yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Benua yang terletak jauh di ujung sana ini akhirnya menjadi nyata dalam pandangan saya berkat kesempatan mengikuti International Youth Media Summit (IYMS) 2024.
ADVERTISEMENT
IYMS adalah acara tahunan yang mengumpulkan para filmmaker dan pemuda dari seluruh dunia yang peduli terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (UN SDGs). Tahun ini, IYMS memasuki penyelenggaraan ke-19 dan diadakan di Stone Town, Zanzibar, Tanzania. Fokus utama dari kegiatan ini adalah produksi film pendek bertema Discrimination, Poverty, Women's Rights, Youth Empowerment, Environment, Health, dan Violence—yang diharapkan dapat memperkuat pesan UN SDGs di berbagai festival film internasional.
Meski acara ini tidak menanggung akomodasi dan tiket perjalanan peserta, saya beruntung menjadi salah satu dari tujuh pemenang "Youth Voice Contest"—kontes ide yang dapat diikuti peserta yang telah dinyatakan lolos seleksi awal. Berkat kontes tersebut, saya menjadi satu-satunya perwakilan Asia Tenggara dan berhak mendapatkan beasiswa penuh untuk mengikuti kegiatan IYMS. Ini adalah awal mula perjalanan saya ke Afrika, tanah yang selama ini hanya saya kenal dari tayangan televisi dan koran.
ADVERTISEMENT
Sebelum berangkat, saya mencoba mencari tahu tentang Zanzibar melalui internet dan panduan yang diberikan oleh panitia. Stereotip tentang Afrika yang sering digambarkan sebagai kawasan yang kumuh dan miskin membuat saya penasaran akan kenyataan yang sebenarnya.
Sesampainya di Bandara Internasional Abeid Amani Karume, Zanzibar, saya langsung terkesan. Meski bandara ini kecil, kebersihannya luar biasa, menciptakan kesan pertama yang positif. Sambutan hangat dari penduduk lokal semakin memperkuat kesan baik tersebut. Bahkan, saat menunggu jemputan dari panitia, seorang petugas villa menghampiri saya, bukan untuk menawarkan tempat menginap, tetapi karena penasaran dengan asal saya. Pemandangan turis Asia di Zanzibar memang sangat jarang, sehingga kehadiran saya menarik perhatian.
Zanzibar kini menjadi destinasi wisata favorit bagi turis Eropa dan Amerika. Selain itu, hubungan antara Tanzania dan Eropa memiliki latar belakang sejarah yang kompleks. Pada masa lalu, Tanzania merupakan pusat perdagangan budak, dan pedagangnya adalah bangsa Eropa. Namun, sejarah adalah masa lalu. Kini, Tanzania dan Eropa memiliki hubungan yang erat dan saling menguntungkan, terutama dalam bidang pariwisata. Pemerintah Zanzibar sangat responsif terhadap kebutuhan turis, fokus pada pembangunan infrastruktur yang mendukung sektor ini, termasuk bandara yang saya singgahi. Jalanan di Zanzibar juga telah diperbaiki dengan baik—meski akses pejalan kaki masih perlu ditingkatkan, tidak ada jalan berlubang yang mengganggu kenyamanan.
ADVERTISEMENT
Kehidupan di sini penuh dengan akulturasi budaya Arab, India, dan Swahili yang tercermin jelas dalam arsitektur bangunannya. Tidak heran, kawasan ini telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Saya menginap di sebuah hotel yang terletak di Gizenga Street, kawasan gang sempit, dikelilingi oleh toko-toko yang menjual kerajinan tangan dan barang-barang buatan lokal. Berkat keramahan penduduk setempat, berjalan di lorong-lorong sempit ini terasa nyaman.
Keindahan Zanzibar tidak hanya terletak pada kekayaan budaya dan sejarahnya, tetapi juga alamnya yang memukau. Pantai-pantai di Zanzibar mengingatkan saya pada keindahan Bali, dengan laut biru yang jernih dan hamparan pasir putih yang memikat. Salah satu pantai yang saya kunjungi adalah Kendwa Beach, yang berjarak sekitar 55km dari Stone Town. Di sini, saya berkesempatan menikmati wisata perahu sambil diiringi musik lokal dari musisi Zanzibar.
Namun, pengalaman paling bermakna selama di IYMS adalah proses kreatif dalam pembuatan film pendek kami. Saya tergabung dalam kelompok yang membahas isu Youth Empowerment bersama delegasi dari Amerika Serikat, Kanada, Tanzania, dan Botswana. Di tengah diskusi panjang, kami mencoba menggali tantangan utama yang dihadapi generasi muda saat ini, dan akhirnya menemukan satu tema besar tentang seorang adik yang justru menjadi sosok pemberdaya bagi kakaknya, membuktikan bahwa pemberdayaan tidak harus selalu datang dari yang lebih tua atau lebih berpengalaman. Melalui cerita ini, kami ingin menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kekuatan untuk memberdayakan orang lain, terlepas dari usia, status, atau pengalaman.
ADVERTISEMENT
Proses pembuatan film ini berlangsung selama 11 hari, dan setiap detiknya diisi dengan kolaborasi yang intens. Kami mengembangkan alur cerita, storyboard, dan melakukan syuting di berbagai lokasi di Stone Town. Keputusan untuk membuat film tanpa dialog adalah langkah berani yang kami ambil agar pesan yang ingin kami sampaikan dapat diterima oleh audiens dari berbagai latar belakang bahasa dan budaya. Hasilnya adalah sebuah karya berdurasi 6 menit yang kami putar pertama kalinya di Zanzibar International Film Festival, salah satu acara kebudayaan terbesar di Afrika Timur, serta dihadiri oleh filmmaker dari seluruh dunia. Film kami mendapatkan apresiasi yang baik dari penonton. Namun, perjalanan film ini tidak berhenti di sini. Kami berencana untuk mengirimkan film ini ke berbagai festival film internasional lainnya agar pesan pemberdayaan ini bisa menjangkau lebih banyak orang di seluruh dunia. Anda juga dapat menonton film kami melalui tautan berikut: Brother's Keeper atau klik video di bawah ini.
ADVERTISEMENT