Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Konten dari Pengguna
11 Maret 2018 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mikul Dhuwur Mendhem Jero
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai sesama orang Jawa, bagaimanakah hubungan Suharto dan Sukarno, dalam menyikapi kemelut poltik dan ekonomi yang timbul akibat terjadinya Gestapu 1965?
ADVERTISEMENT
Suharto cenderung untuk mengakomodasi tuntutan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, agar Sukarno mengambil sikap tegas dengan membubarkan PKI. Hasil Sidang Mahmilub sebenarnya sudah menunjukkan dengan jelas keterlibatan tokoh-tokoh PKI dalam pemeberontakan G.30. S yang gagal itu. Jika Sukarno berani membubarkan Masyumi, PSI, dan Murba, kenapa sukarno seperti tidak punya nyali untuk membubarkan PKI?
Sikap Sukarno yang tidak konisten itu memang menjengkelkan banyak orang. Aktivis mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, menganggap Sukarno pilih kasih. Mereka menuntut pembubaran PKI, mencabut SK yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok naik secara gila-gilaan, dan menuntut agar Sukarno meretul menteri korup dan menteri yang terlibat G.30.S. Mereka terus-menerus meneriakkan tuntutan yang membuat udara Jakarta yang sudah panas semakin panas dengan intensitas aksi demonstrasi yang makin hari makin meningkat.
ADVERTISEMENT
Diawali dengan berorasi di halaman kampus Fakultas Kedoteran UI Salemba pada 10 Januari 1966, mahasiswa dengan jaket kuning itu mulai merambah dan merajai jalanan, mendatangi sejumlah menteri untuk menyampaikan aspirasinya. Dalam menyampaikan aspirasinya itu, para mahasiswa tidak hanya berorasi, nyanyi-nyanyi, dan corat-coret, tetapi kadang-kadang juga memaki-maki menteri pembantu Sukarno dengan kata-kata kasar. Misalnya, Subandrio dicaci maki sebagai Anjing Peking. Rumah Hartini, istri Sukarno, tidak luput disambangi para demontran yang berdatangan ke Bogor pada demo tanggal 15 Januari 1965.
Tentu saja Sukarno sangat murka ketika tahu para demonstran mencaci maki menterinya. Lebih-lebih setelah tahu, Hartini pun ikut dicaci maki sebagai lonte agung. Demo yang panas di kota Bogor itu baru reda, setelah Suharto, Martadinata, dan Sutjipto, menemui para demonstran yang mengepung Istana Bogor. Suharto berjanji akan menyampaikan tiga tuntutan mahasiswa itu dalam sidang kabinet Dwikora I yang akan digelar hari itu di Istana Bogor.
ADVERTISEMENT
Suharto menceriterakan pertemuannya dengan Sukarno setelah demonstrasi mahasiswa di Bogor, kira-kira bulan Maret menjelang sidang Kabinet Dwikora II yang akan diselengarakan tanggal 11 Maret 1965. Sukarno tampak letih karena usahanya menjinakkan para demonstran gagal. Padahal segala daya telah dikerahkan. Pada tanggal 25 Pebruari 1965, KAMI telah dibubarkan. Kampus UI pun telah ditutup. Barisan Sukarno telah dibentuk, GMNI yang pro Sukarno juga telah dimobilisasi untuk mengusir jaket kuning dari jalan-jalan di Jakarta. Tetapi demo-demo tetap tidak mereda. KAMI dilarang, muncul KAPI, KAPPI, dan sejumlah organisasi kesatuan aksi yang lain. Organisasi aksi malah semakin banyak bermunculan, bagaikan cendawan tumbuh di musim hujan.
Ketika itu Suharto merasa iba, mendengar pertanyaan Sukarno yang disampaikan dalam bahasa Jawa. ”Harto, jane aku iki arep kok apakake? (“Harto, sesungguhnya aku ini akan kamu apakan?) Rupanya Sukarno tahu dari intelnya, kegagalan dia menjinakkan para demontran itu, karena Nasution-Suharto-Hamengkubuwono cs, berdiri di belakang aksi-aksi mahasiswa.
ADVERTISEMENT
“Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orang tua saya,” jawab Suharto sebagaimana diceriterakan dalam buku otobiografi, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. ”Bagi saya Bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orang tua saya. Saya ingin mikul dhuwur terhadap Bapak. Sayang yang mau dipikul dhuwur mendhem jero, tidak mau,” jawab Suharto.
Mikul dhuwur mendhem jero adalah ungkapan nilai-nilai budaya Jawa, yang mengajarkan agar seorang anak harus menjunjung tinggi nama baik orang tua. Jika ada kekurangan orang tua, tidak perlu ditonjol-tonjolkan. Apa lagi ditiru. Kekurangan itu harus dikubur sedalam-dalamnya supaya tidak kelihatan.
Mendengar jawaban Suharto, Sukarno diam dan berpikir sejenak. Wajah Bung Karno yang semula tampak letih, mulai sedikit ceria. Dia berharap Suharto akan bersedia melaksanakan perintahnya untuk mengambil tindakan terhadap aksi-aksi mahasiswa yang dinilainya keterlaluan karena dengan kata-kata kotor telah mencaci-maki menteri-menterinya, istrinya dan dirinya. Bagi Sukarno, jelas demo-demo mahasiswa itu telah melanggar ajaran mikul dhuwur mendhem jero yang disampaikan Suharto.
ADVERTISEMENT
Lalu Sukarno pun minta agar Suharto bisa menindak para mahasiswa itu. “Nah, kalau betul kamu masih menghormati aku, dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kamu menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka sudah keterlaluan. Tidak sopan! Liar! Mereka sudah tidak sopan dan tidak hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto! Kau kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”
Tetapi dengan sopan, Pak Harto menjawab, ”Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksi mereka dengan sendirinya.”
Memang sejarah kekuasaan rupanya tidak lagi memihak kepada Sukarno. Alih-alih Sukarno menerima saran Suharto. Pemimpin Besar Revolusi itu tetap teguh pada pendiriannya, bahwa Nasakom tanpa PKI, tak ada artinya. Jalannya revolusi akan terseok-seok. Padahal realitas di masyarakat menunjukkan orang-orang PKI sudah dibantai dan dikejar-kejar dimana-mana. Sebagian besar masyarakat sudah tidak mau lagi hidup berdampingan dengan PKI.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 10 Maret 1965, pukul 02 dinihari yang dingin dan sepi, Suharto mengundang tokoh-tokoh mahasiswa ke Kostrad. Hadir juga tokoh muda NU, Subchan ZE. Pada kesempatan itu, Suharto banyak berdiskusi dan berbicara dengan mereka. Karena berhari-hari kurang tidur, akhirnya Suharto jatuh sakit terserang flu berat. Sidang Kabinet pada tanggal 11 Maret 1965 pun tidak bisa dihadiri Suharto.
Sidang itu kacau balau dan gagal. Para demonstran mengepung Istana. Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa, melaporkan kepada Sukarno bahwa dia menerima laporan ada pasukan tak dikenal berkeliaran di sekitar Istana. Laporan Brigjend Sabur itu membuat Sukarno ciut nyalinya. Dengan tergesa-gesa, Sukarno mengajak Subandrio dan Chaerul Saleh terbang ke Bogor dengan helikopter. Leimena yang ditugaskan melanjutkan memimpin sidang, langsung menutup sidang karena situasi semakin kacau. Malam harinya, Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah kepada Suharto mengambil segala tindakan yang dianggap perlu. Antara lain terjaminnya keamanan, ketenangan, kestabilan jalannya Pemerintahan, keselamatan dan kewibawaan Sukarno selaku Presiden, Panglima Tertinggi, Pemimpi Besar Revolusi, dan Mandataris MPRS.
ADVERTISEMENT
Dengan SP 11 Maret 1965, Suharto segera mengambil langkah-langkah mikul dhuwur mendhem jero untuk menyelamatkan kewibawaan Sukarno. Langkah itu ialah memenuhi tuntutan mahasiswa dengan membubarkan PKI, menangkap para menteri kabinet Dwikora II yang dianggap korup, terindikasi Getapu, dan menyeretnya ke sidang Mahmilub. Sukarno akhirnya memenuhi tuntutan mahasiswa dengan melakukan resufle kabinet. Dan terbentuklah Kabinet Dwikora III pada tanggal 27 Maret 1966. Sukarno masih menduduki kursi Presiden. Tetapi kendali pemerintahan secara de facto sudah pindah ke tangan Suharto. Akhirnya, Sidang MPRS tahun 1966, mengakhiri puncak karir Sukarno sebagai Presiden. Suharto ditetapkan sebagai Pejabat Presiden. Setelah Sukarno turun, kelompok mahasiswa anti komunis yang sedang menguat, menuntut agar Bung Karno diadli. Tetapi Suharto menolaknya. Rupanya Suharto tetap konsisten dengan konsep nilai-nilai ajaran budaya Jawa, mikul dhuwur mendhem jero.[].
ADVERTISEMENT