Novel Sejarah Banyumas : Sang Dewi Ciptarasa - 01

Konten dari Pengguna
13 Februari 2019 19:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mongso Kasongo-tgl 2- 26 Maret, lamanya kira-kira 25 hari. Masih musim hujan, mendekati kemarau
Bulan Maret tanggal 2, tahun 1487 M, bertepatan dengan permulaan Mongso Kasongo 1409 Saka, musim hujan di Lembah Ciserayu belum berakhir. Puncak musim hujan sudah lewat. Tapi curah hujan masih tinggi, disertai kilat dan petir. Udara siang, malam, dan pagi hari masih terasa dingin. Tanah-tanah di lereng Gunung Agung, gunung terbesar di Pulau Jawa itu, masih banyak yang sering berembun. Angin berhembus kencang dari arah selatan lembah Ciserayu. Di sana sini banjir sekali-sekali masih terjadi, dan sungai-sungai kadang-kadang meluap. Tetapi tanah yang subur mampu menyimpan air.
ADVERTISEMENT
Padi di sawah yang terbentang sepanjang kiri kanan Sungai Logawa mulai merunduk, bahkan sudah ada yang rebah. Masa panen tidak lama lagi akan tiba. Lagi pula pohon duku dan jeruk sudah berbuah dan siap dipetik. Kawula Kadipaten Pasirluhur menyambutnya dengan wajah ceria. Binatang pun ikut bergembira menyambut Mongso Kasongo sebagai musim birahi dan musim kawin.
Pagi itu matahari naik sepenggalah. Sinarnya yang putih gemilang sudah lama mengusir embun pagi dari halaman Pendopo Kadipaten Pasirluhur. Di Pendopo, para punggawa berkumpul dipimpin Ki Patih Reksanata. Pada hari Soma Pon bulan Phalguna tahun Saka itu, mereka dikumpulkan Kanjeng Adipati Kandhadaha. Punggawa anak buah Ki Patih yang hadir antara lain Tumenggung Maresi, Ngabehi Nitipraja, dan Jigjayuda. Para lurah atau kepala desa yang juga diundang dan hadir adalah Lurah Karangjati, Karangdadap, Kalikidang, Pajerukan, Petir, Suro, Kalisogra, Kalicupak, Kaliori, Kaliwedi, Sidaboa, dan lainnya lagi.
ADVERTISEMENT
Kanjeng Adipati telah menerima laporan keadaan keamanan dan kesejahteraan kawula Kadipaten Pasirluhur yang disampaikan Ki Patih. Kanjeng Adipati merasa puas dengan laporan Ki Patih. Sebab dilaporkan bahwa keamanan terkendali, hasil panen sawah-sawah Kadipaten Pasirluhur tiga-tahun berturut-turut meningkat. Ki Patih juga meramalkan, pada tahun keempat, hasil panen masih akan terus menanjak. Atas laporan Ki Patih itu, Kanjeng Adipati merasa puas.
“Ki Patih, berapa lama lagi musim penghujan akan berakhir dan kapan padi di sawah akan mulai dipanen?” tanya Kanjeng Adipati Kandhadaha setelah selesai menerima laporan Ki Patih.
Kanjeng Adipati duduk di dampingi Kanjeng Ayu Adipati. Setiap bulan sekali, Kanjeng Adipati mengadakan pertemuan rutin bulanan dengan para punggawa. Pertemuan rutin itu diselenggarakan pada minggu pertama setiap bulan, dijatuhkan pada hari Senin atau hari Soma dalam hitungan kalender Saka. Pada kesempatan itu biasanya Kanjeng Adipati menerima laporan dari Ki Patih dan para punggawa mengenai keamanan, pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, perdagangan, kesejahteraan, dan masalah-masalah lain yang penting dan mendesak untuk dilaporkan dan diselesaikan.
ADVERTISEMENT
“Kanjeng Adipati, sekarang baru masuk Mongso Kasongo. Alam semesta berada dalam naungan Batara Bayu. Candranya, Wedaring wacono mulyo,” jawab Ki Patih.
“Apa artinya, Ki Patih,” tanya Kanjeng Ayu Adipati memotong kalimat Ki Patih Reksanata yang belum selesai menjawab pertanyaan Adipati Kandhadaha.
Kanjeng Ayu Adipati duduk di samping kiri Adipati Kandhadaha. Kanjeng Ayu Adipati adalah sosok wanita cerdas, selalu menyimak setiap pembicaraan yang muncul dalam setiap pertemuan seperti itu. Dan selalu ingin tahu. Tinggi sedang, wajah cantik, kulit kuning, rambut hitam legam disanggul rapi, mengenakan kain batik sidamulya warna coklat saga, dan atasan kebaya beludru hitam dengan dada dan leher tertutup. Dengan kebaya beludru hitam bersulam benang emas, membuat Kanjeng Ayu Adipati tampil anggun.
ADVERTISEMENT
Kecantikan dan keanggunan Kanjeng Ayu Adipati, ikut menambah kewibawaan Adipati Kandhadaha di mata para punggawa dan kawulanya. Usia Kanjeng Ayu Adipati belum separuh baya. Dia istri termuda Kanjeng Adipati. Juga tercantik dan tercerdas di antara tujuh istri Kanjeng Adipati yang lain. Walaupun istri termuda, tetapi Adipati Kandhadaha tidak ragu-ragu mengangkatnya sebagai Permaisuri Kadipaten Pasirluhur. Dia selalu tampil mendampingi Adipati Kandhadaha dalam setiap acara resmi yang diselenggarakan di Pendopo Kadipaten Pasirluhur.
“Tolong jelaskan, Ki Patih, biar Kanjeng Ayu paham artinya,” Kanjeng Adipati memperkuat pertanyaan istri tercintanya.
“Baik, Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati. Wedaring wacono mulyo, artinya tersiarnya berita bahagia,” kata Ki Patih menjelaskan. “Itu perlambang alam semesta. Sekalipun musim hujan belum berakhir, tetapi pohon buah-buahan, seperti duku dan jeruk, sudah siap dipetik. Padi di sawah sudah mulai rebah, di sana sini mulai menguning. Bukan hanya manusia yang gembira dengan tanda-tanda alam itu. Bahkan binatang pun ikut menyambut kedatangan Mongso Kasongo dengan bersuka ria. Mongso Kasongo mongso binatang kawin, Kanjeng Ayu Adipati.” Kanjeng Ayu Adipati tertawa mendengar kalimat terakhir Ki Patih. Demikan pula Adipati Kandhadaha dan para punggawa yang hadir di pendopo.
ADVERTISEMENT
“Berapa lama Mongso Kasongo berlangsung?” tanya Kanjeng Ayu Adipati pula.
“Dua puluh lima hari, Kanjeng Ayu Adipati. Hampir satu bulan. Habis Mongso Kasongo, datanglah Mongso Kadoso dan Mongso Desta. Pada Mongso Kadoso, hujan masih turun, tetapi sudah berkurang. Disebut juga mangsa mareng, atau mangsa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Awal musim kemarau terjadi pada Mongso Desto. Pada masa inilah padi di sawah sudah menguning, dan siap dipanen. Kita bersyukur tahun ini, di wilayah Kadipaten Pasirluhur belum ada laporan padi rusak oleh angin ribut, bencana banjir, maupun hama. Tampaknya panen raya di Kadipaten Pasirluhur akan berlangsung tiga setengah bulan atau 105 hari. Mulai Mongso Desto, Saddha, dan Mongso Kaso, Kanjeng Ayu Adipati,” jawab Ki Patih yang membuat senang Kanjeng Adipati, Kanjeng Ayu Adipati, para pungggawa dan lurah yang hadir di pendopo.
ADVERTISEMENT
Memang sebelum pertemuan di Kadipaten Pasirluhur, Ki Patih sudah mengumpulkan para lurah di Pendopo Kepatihan. Di situ para lurah yang hadir melaporkan kepada Ki Patih keadaan tanaman padi di desanya masing-masing. Dengan demikan saat pertemuan di Pendopo Kadipaten, Ki Patih tinggal melaporkan hasil pertemuan di Penopo Kepatihan.
“Syukur kalau begitu. Mudah-mudahan hasil panen tahun ini melebihi panen tahun lalu. Tiga tahun berturut-turut hasil panen sawah-sawah Kadipaten Pasirluhur terus meningkat. Kita berharap pada tahun keempat ini, masih terus terjadi peningkatan. Tentu aku sampaikan terima kasih pada Ki Patih, para tumenggung, para ngabehi, para lurah, dan para punggawa lainnya yang telah bekerja keras sehingga hasil panen terus bertambah,” kata Kanjeng Adipati memuji Ki Patih dan anak buahnya.
ADVERTISEMENT
Ki Patih Reksanata bukan hanya ahli dalam soal ilmu perbintangan, musim, pakuwon, dan ramal meramal. Dia juga ahli tentang ilmu watak dan firasat manusia. Karena itu Ki Patih Reksanata sangat disegani para punggawa dan juga disegani Adipati Kandhadaha dan istrinya. Dia juga menjadi panutan para petani dalam menetapkan kapan para petani harus mulai menggarap sawah, kapan mulai panen, dan kapan menanam palawija. Ki Patih senang bisa mengajarkan para petani ilmu bercocok tanam padi. Misalnya, cara memilih bibit padi yang baik, cara memupuk, dan cara memberantas hama sawah. Berkat bimbingan Ki Patih Reksanata, hasil panen sawah-sawah Kadipaten Pasirluhur terus meningkat. Kadipaten Pasirluhur dan Lembah Ciserayu pun dikenal menjadi salah satu lumbung beras andalan Kerajaan Pajajaran, selain Cianjur dan Udug-Udug.
ADVERTISEMENT
Bahkan kualitas padi Kadipaten Pasirluhur lebih baik dari kualitas padi di sepanjang Sungai Brantas, Semanggi, Progo, Bhagalin, Citanduy, Cimanuk, Citarum, Ciliwung, dan Cisadane. Pendeknya jenis padi Kadipaten Pasirluhur, merupakan jenis padi dengan kualitas terbaik se Pulau Jawa. Jenis padi yang ditanam di sepanjang Sungai Logawa, merupakan jenis padi yang dikenal sebagai padi jenis menjangan. Anehnya, jenis padi ini hanya bisa ditanam dengan hasil memuaskan jika di tanam di sepanjang Sungai Logawa.
Sudah banyak petani dari daerah lain yang mencoba membawa bibit padi menjangan, tetapi mereka selalu gagal menanam di sawah-sawah mereka. Mengingat harga dan nilai tukar beras hasil sawah-sawah sepanjang Sungai Logawa cukup tinggi di pasaran, para punggawa kadipaten giat membuka sawah-sawah baru sepanjang aliran Sungai Logawa, sampai berakhir di Sungai Ciserayu. Sawah-sawah di sini, semunya ditanami padi jenis menjangan. Berasnya putih, pulen, harum, dan tidak cepat basi. Beras Sungai Logawa itu bukan hanya menjadi beras kegemaran keluarga para adipati Lembah Ciserayu dan Citanduy. Beras Sungai Logawa juga mengisi lumbung beras Istana Kerajaan Galuh di Kawali. Bahkan setelah Kerajaan Galuh di Kawali pindah Ke Pakuan Pajajaran (1433 M), beras Sungai Logawa tetap didatangkan mengisi lumbung istana Raja Pajajaran. Beras Sungai Logawa, menjadi beras kegemaran keluarga Istana Kerajaan Pajajaran.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang tahu, siapa penemu bibit padi jenis menjangan itu. Ki Patih Reksanasata mengaku hanya meneruskan tradisi dan ilmu warisan leluhurnya. Menurut Kanjeng Adipati Kandhadaha, Arya Bangah, pendiri Pasirluhurlah penemu bibit padi jenis menjangan. Namun sumber lain menyebutkan jenis padi menjangan sudah dikenal pada masa Kerajaan Pasirbatang. Raja Tapa Agung dari Kerajaan Pasirbatang, dianggap penemu padi jenis menjangan. Setelah Kerajaan Pasirbatang digantikan Kerajaan Galuh Timur yang berpusat di Pasirluhur, tradisi menanam jenis padi menjangan di pinggir Sungai Logawa itu dilanjutkan Arya Bangah, pendiri Kerajaan Pasirluhur atau Kerajaan Galuh Timur.
“Ki Patih,” kata Adipati Kandhadaha setelah mendapat bisikan dari Kanjeng Ayu Adipati yang duduk di samping kirinya. ”Tolong mulai hari ini pikirkan dan rencanakan sebaik-baiknya penyelenggaraan pesta marak di Sungai Logawa seperti tahun-tahun yang lalu. Tadi malam aku sudah bicarakan dengan Kanjeng Ayu. Dan Kanjeng Ayu ingin agar pesta marak di Sungai Logawa tahun ini lebih meriah, lebih ramai, dan lebih menarik dari tahun-tahun sebelumnya. Aku setuju usul Kanjeng Ayu. Karena itu aku ingin mengundang lebih banyak adipati dan keluarga adipati untuk menghadiri pesta marak atau pesta menangkap ikan di Sungai Logawa. Bukan hanya adipati di Lembah Ciserayu sebelah timur Citanduy saja yang akan aku undang. Tetapi akan aku undang juga para adipati Kerajaan Pajajaran di sebelah barat Citanduy. Waktunya masih cukup lama. Bukankah puncak musim kemarau masih enam atau tujuh bulan lagi?”
ADVERTISEMENT
“Oh, sebuah rencana yang baik sekali, Kanjeng Adipati. Dalam rapat di Pendopo Kepatihan minggu lalu, masalah pesta marak menangkap ikan di Sungai Logawa tahun ini juga sempat disinggung. Justru Ki Patih tadinya ingin usul, berhubung hasil panen sawah-sawah Kadipaten Pasirluhur selama tiga tahun berturut-turut terus meningkat, maka alangkah baiknya bila pesta marak tahun ini juga lebih meriah dari tahun lalu. Mudah-mudahan pesta marak sebagai bagian dari ungkapan rasa syukur kita kepada Sang Hyang Syiwa, akan diterima dan mendapat perkenannya. Dengan perkenan Sang Hyang Syiwa, mudah-mudahan panen raya tahun ini sama dengan tahun lalu. Syukur-sukur panen tahun ini lebih meningkat lagi. Jika mendapat perkenan Sang Hyang Syiwa, apa yang tidak mungkin?” kata Ki Patih menyambut baik rencana Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Benar, Kanjen Adipati,” kata Ki Patih melanjutkan, ”Puncak musim kemarau masih tujuh bulan lagi. Masih cukup lama. Tepatnya puncak musim kemarau akan jatuh pada Mongso Ketigo, bulan Bhadra, tahun Saka.” Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati sangat senang mendengar penjelasan Ki Patih Reksanata. Ternyata apa yang dibicarakan Adipati Kandhadaha dengan istrinya tadi malam, sudah dipikirkan juga oleh Ki Patih Reksanata.
*
Adipati Kandhadaha ingat tadi malam sebelum tidur, Kanjeng Ayu Adipati membicarakan putri kesayangan mereka, putri bungsu Adipati Kandhadaha, Sang Dewi Ciptarasa. Adipati Kandhadaha punya 25 anak, putri semua. Dari enam istri Adipati Kandhadah terdahulu, setiap istri melahirkan 4 orang putri. Tetapi Kanjeng Ayu Adipati, istri ke-7, hanya dikarunia satu orang putri, yakni Sang Dewi Ciptasara. Dengan demikian Sang Dewi merupakan putri bungsu, punya 24 kakak tiri perempuan, semuanya sudah menikah dan dibawa suaminya masing-masing keluar dari Dalem Gedhe Kadipaten Pasirluhur. Hanya kadang-kadang saja mereka datang dengan suaminya, dan menginap di Taman Kaputran.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Adipati Kandhadaha sangat berharap bisa punya anak laki-laki, agar ada pewaris tahta Kadipaten Pasirluhur. Tetapi sampai punya enam istri, dan memberinya 24 anak, tidak satu pun dari keenam istrinya itu yang melahirkan anak laki-laki. Maka ketika menikah dengan Kanjeng Ayu, Adipati Kandhadaha sangat berharap akan punya keturunan seorang anak laki-laki. Tetapi harapan itu rupanya sulit terkabul karena ternyata Kanjeng Ayu Adipati hanya melahirkan satu-satunya anak perempuan, yaitu Sang Dewi. Namun sekalipun hanya anak perempuan, Sang Dewi merupakan putri Adipati Kandhadaha yang paling dibanggakan sehingga keinginan Adipati Kandhadaha punya anak laki-laki bisa terobati.[Bersambung]