Konten dari Pengguna

Novel Sejarah Banyumas : Sang Dewi Ciptarasa (02)

15 Februari 2019 0:54 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dyah Ayu Sang Dewi  Ciptarasa
zoom-in-whitePerbesar
Dyah Ayu Sang Dewi Ciptarasa
Sang Dewi bukan hanya cantik dan cerdas, tetapi memiliki macam-macam bakat yang mengagumkan. Dia bukan hanya pandai dalam ilmu membatik, menenun, menjahit, menyulam, memasak, dan membuat jamu. Tetapi Sang Dewi juga menguasai ilmu kecantikan, kebugaran, dan yoga. Dia juga mengusai Weddha, Mahabharata, dan Ramayana. Pandai menulis, gemar membaca, mencintai sastra, dan berbagai jenis kesenian. Hampir semua rontal koleksi Adipati Kandhadaha di perpustaan kadipaten, telah habis dibacanya. Kepandaian lain Sang Dewi yang tidak dimilik putri-putri Adipati Kandhadaha yang lain, adalah kepandaiannya dalam berbicara, mengutarakan pendapat, berdebat, dan rupanya Sang Dewi juga memiliki bakat memimpin.
ADVERTISEMENT
Adipati Kandhadaha juga masih ingat ketika tadi malam istrinya berkata sambil mengeluh dan mengingatkan. “Kanda, tak terasa anak kita, Dewi, sudah empat tahun menjalani masa pingitan di Taman Kaputren.”
“Alangkah cepatnya waktu berlalu. Dulu waktu dipingit usianya 13 tahun. Berarti tahun ini usianya sudah 17 tahun. Sebenarnya pria yang datang melamar Dewi cukup banyak. Bahkan keponakan kita, Wirapati, Putra Adipati Dayeuhluhur, pernah ikut-ikutan melamar. Tapi Dewi menolaknya. Bukan hanya Wirapati saja yang ditolak. Tetapi semua pria yang melamarnya ditolak juga. Aku khawatir Dewi akan jadi perawan tua, jika tidak cepat-cepat menentukan siapa pria yang akan dipilih jadi suaminya,” kata Kanjeng Ayu Adipati semalam. Sejenak Adipati Kandhadaha terdiam. Dia ikut prihatin juga mendengar keluhan istrinya.
ADVERTISEMENT
“Aku sebenarnya bangga dengan anak kita, Dewi. Dia bukan hanya cantik dan cerdas. Bakatnya juga luar biasa dan bermacam-macam. Salah satu bakatnya yang aku kagumi aalah Dewi pandai berbicara dan punya bakat memimpin,” kata Adipati Kandhadaha.
“Ya, Siapa dulu Ayah Dewi? Ketegasan dan kepandaiannya dalam memimpin, pastilah warisan dari Ayahnya. Juga kegemarnnya membaca, bakatnya dalam seni sastra, seni pertunjukan, dan yoga. Hanya kepandaian berburu binatang hutan dan seni bela diri saja yang tidak dimiliki Dewi dari Ayahnya,” kata Kanjeng Ayu Adipati. Adipati Kandhadaha tertawa mendengar kata-kata istrinya.
“Lho, masih ada satu kepandaian Dewi yang Diajeng lupakan!” kata Adipati Kandhadaha iku bangga dan senang karena dipuji istri tercintanya.
“Apa itu?”
ADVERTISEMENT
“Menunggang kuda. Dewi termasuk gadis bongsor, cepat besar. Diajeng pasti masih ingat, Ketika usia 12 tahun penampilannya sudah seperti gadis 17 tahun. Saat itu Dewi ribut minta diajari menunggang kuda. Mulailah dia aku ajari menunggang kuda, dan ternyata Dewi cepat bisa. Mungkin kalau saat itu tidak cepat-cepat kita pingit di dalam Taman Kaputren, Dewi sudah menguasai kepandaian memanah dan seni bela diri. Saat itu aku hanya khawatir, jika Dewi tidak cepat-cepat dipingit, sifat kewanitaannya akan hilang. Karena bisa-bisa yang akan berkembang dalam jiwa dan kepribadiannya adalah sifat kelaki-lakian dan kekesatriaan. Saat itu aku sudah cemas Dewi akan berkembang menjadi seperti Sri Kandi atau Larasati dalam kisah Mahabharata,” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Tapi, ada satu kelemahan Dewi,” kata Adipati Kandhadaha melanjutkan.
“Semua manusia pasti punya kelemahan. Kalau hanya satu kelemahan, berarti Dewi memang gadis luar biasa, bukan?” kata Kanjeng Ayu Adipati membela putrinya sambil tetap tersenyum. “Apa kelemahan Dewi, menurut Kanda?”
“Dia itu keras kepala. Kakak-kakaknya dulu, tidak seperti Dewi. Mereka rata-rata hanya perlu waktu satu sampai dua tahun dipingit, lalu ada pria yang melamar. Ketika aku tanya, langsung setuju. Kemudian menikah. Dewi ini lain. Dia keras kepala dan pilih-pilih. Makanya sampai masa pingitannya hampir habis, dan usianya sudah menginjak 17 tahun, masih juga belum ada pria yang diterima lamarannya. Itu pula yang membuat Diajeng gelisah, bukan?”.
“Memang aku gelisah, Kanda. Gadis usia 17 tahun belum menikah itu sungguh gawat. Tapi menurut aku, Dewi bukan keras kepala. Dia gadis cerdas. Justru karena Dewi cerdas dan cantik, maka dia sangat hati-hati dalam memilih calon suami.”
ADVERTISEMENT
“Benar, aku setuju. Dewi memang cerdas dan cantik. Tapi aku tetap berpendapat, Dewi itu keras kepala. Keras kepala seperti Ibunya,” kata Adipati Kandhadaha sambil tersenyum. Dia mulai menggoda istrinya.
“Apa kata Kanda? Keras kepala seperti aku? Bukannya Dewi itu keras kepala seperti Ayahnya?” kata Kanjeng Ayu Adipati dengan nada suara mulai meninggi dan sedikit emosional. Dia membalas tuduhan suaminya. Adipati Kandhada tersenyum mendapat tuduhan balik. Dia malah senang jika istrinya yang cantik itu sedikit emosional. Dalam pandangan Adipati Kandhadaha jika istrinya marah, malah tambah cantik.
“Kapan aku keras kepala? Kalau aku keras kepala, aku tidak akan mau ketika dulu dilamar Kanda, bukan? Mana ada gadis keras kepala mau jadi istri ke-7 seorang pria, yang sudah punya anak 24 pula? Tetapi karena Kanda keras kepala dan terus-terusan mengejar-ngejar aku, akhirnya aku kasihan juga kepada Kanda. Lamaran Kanda pun aku terima! Kanda masih ingat, bukan?”
ADVERTISEMENT
Kembali Adipati Kandhadaha tersenyum. Kali ini dia tersenyum bukan hanya karena berhasil menggoda istrinya. Tetapi karena dia diingatkan kisah cintanya dulu, ketika mengejar-ngejar gadis cantik bunga istana Kadipaten Kutanegara, dan akhirnya berhasil menyuntingnya jadi istri ketujuh.
“Hehehe, benar, aku dulu terus mengejar cinta Diajeng. Tapi Diajeng keliru menafsirkan kata keras kepala. Maksud aku Dewi keras kepala, ialah Dewi mempunyai kemauan keras seperti Ibunya. Bukankah gadis yang punya kemauan keras itu ciri dari gadis pemberani?” kata Adipati Kandhadaha yang pandai merayu wanita itu. Setelah membuat Kanjeng Ayu adipati hampir marah, kini ganti memujinya.
“Oh, kalau itu aku setuju!” kata Kanjeng Ayu Adipati. Emosinya yang sempat hampir meninggi, kini berubah jadi perasaan bangga. Kanjeng Ayu Adipati pun berkata sambil tersenyum dan mencubit pinggang suaminya yang sedang berbaring di sampingnya. Adipati Kandhaha cepat tanggap. Ditangkapnya lengan istrinya yang baru saja mencubit pinggangnya, kemudian ditariknya. Dalam waktu sekejap, Kanjeng Ayu Adipati sudah berada dalam pelukan Adipati Kandhadaha dengan posisi di atas.
ADVERTISEMENT
Adipati Kandhadaha yang mulai terpicu gairah asmaranya, menyerang dengan mencium leher, telinga, dan bibir istrinya. Tapi ketika tangan Adipati Kandhadaha mulai menjalar kemana-mana, dan mencoba menarik baju tidur yang membalut Kanjeng Ayu Adipati, dia mendengar bisikan lembut Kanjeng Ayu di telinganya.
“Nanti, Kanda. Kita belum selesai membicarakan masa depan Dewi,” kata Kanjeng Ayu Adipati seraya melepaskan diri dari pelukan suaminya. Pelan-pelan Adipati Kandhadaha menurunkan Kanjeng Ayu Adipati, dan membiarkannya kembali berbaring di samping kirinya.
“Kanda, kita harus lebih kreatip lagi membantu Dewi menemukan calon suami yang sesuai dengan harapannya,” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil berbaring kembali di samping suaminya.
“Bukankah selama ini aku sudah membantu Dewi mempertemukan dengan para adipati dan putra adipati di seluruh Lembah Ciserayu dan lembah sebelah timur Citanduy? Tetapi kalau Diajeng punya gagasan baru, mari kita bicarakan. Tiap tahun aku adakan pesta marak, yaitu pesta rakyat menangkap ikan di Sungai Logawa dengan mengundang para adipati dan putra adipati. Tujuannya, selain untuk menghibur rakyat dan menanamkan budaya mencintai sungai dengan memeliharanya dan menjaga kebersihan sungai, juga sebagai sarana Dewi untuk mengenal dan dikenal para adipati dan putra adipati yang aku undang hadir. Itulah sebabnya selesai pesta marak, berdatangan tamu dan utusan dari para adipati untuk melamar Dewi. Sebenarnya Dewi tinggal memilih saja. Aku memang heran, calon suami seperti apa yang diharapkan Dewi? Apakah seorang adipati atau putra adipati masih kurang terhormat di mata Dewi?” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Oh, Kanda belum tahu calon suami impian Dewi?”
“Putra Rajakah?” tanya Adipati Khandaha.
“Bukan! Tahukah, Kanda, siapa lelaki idaman Dewi?”
“Arjunakah? Atau Raden Ramawijayakah?”
“Juga bukan!”
“Lalu siapa?”
“Lelaki calon suami yang diidam-idamkan Dewi, ialah lekaki seperti Kanda. Tampan, berbadan kekar, berwibawa, lembut, tapi bukan pemburu wanta cantik. Dewi tidak ingin dimadu oleh suaminya kelak. Dimadu satu selir saja, Dewi tidak mau. Apa lagi dimadu jadi istri ke-7” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil menyindir suaminya.
“Hehehe…, tidak ada yang aneh sebenarnya. Hampir semua anak gadis mengidolakan ayahnya. Tetapi kalau mencari adipati yang hanya punya satu istri, pasti tidak mudah. Sebab, selain sudah menjadi adat dan tradisi, kitab suci pun tidak melarangnya,” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Betul, Kanda. Kitab suci tidak melarang seorang ksatria punya istri banyak. Tetapi kitab suci juga tidak melarang ksatria hanya beristri satu, bukan? Artinya apa? Artinya walaupun kedengarannya harapan Dewi itu muluk-muluk, tidak umum, melanggar adat, dan ingin membangun tradisi satu wanita satu suami. Tetapi, harapan itu bukannya mustahil. Jika Yang Maha Kuasa menghendaki dan mengabulkan harapan Dewi, yang mustahil bisa menjadi kenyataan. Kita sebagai orang tua, tidak bisa apa-apa, bukan?”
“Ya, sudah kalau itu memang keinginan Dewi. Apakah Diajeng punya gagasan baru untuk membantu Dewi secepatnya menemukan pria calon suami harapan Dewi?”
“Nah, itulah yang aku mau bicarakan dan usulkan kepada Kanda. Besok Kanda akan mengadakan pertemuan dengan Paman Patih, dan dengan para punggawa tinggi Kadipaten dan para lurah di Pendapa Kadipaten, bukan?”
ADVERTISEMENT
‘Iya, benar. Acara rutin bulanan untuk membahas laporan sekaligus memantau dan memecahkan masalah-masalah yang timbul. Bisa ikut hadir kan? Apa hubungannya dengan mencarikan calon suami untuk Dewi?” tanya Adipati Kandhadaha.
“Aku usulkan agar pesta marak di Sungai Logawa tahun ini, tahun keempat Dewi masuk pingitan, bisa diselenggarakan lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Jangan hanya adipati lembah Ciserayu dan sebelah timur Citanduy saja yang diundang. Tapi Kanda undang juga para adipati Kerajaan Pajajaran sebelah barat Citanduy. Bukankah Kanda juga memiliki jaringan luas dengan para adipati sebelah barat Citanduy? Bahkan Adipati Imbanegara, Sukapura, Cibatu, Limbangan, dan Parakanmuncang, masih ada hubungan kekerabatan dengan Kanda?”
“Wah, usul yang luar biasa cerdas. Kenapa baru Diajeng sampaikan sekarang? Coba kalau disampaikan dua atau tiga tahun lalu, mungkin Dewi sudah punya suami sesuai dengan harapannya, dan bisa jadi kita sudah punya cucu dari Dewi,” kata Adipati Kandhadaha langsung menyetujui usul istrinya.
ADVERTISEMENT
“Ya, kita ambil hikmahnya. Toh selama empat tahun dalam pingitan, Dewi telah manfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Dia telah memanfaatkannya untuk belajar dan mengembangkan kualitas dirinya dengan mempelajari aneka macam ketrampilan yang diperlukan jika kelak dia menjadi Kanjeng Ayu mendampingi suaminya. Tetapi entah mengapa aku memang punya firasat suami Dewi kelak, bukan berasal dari Lembah Ciserayu. Tetapi seorang ksatria yang berasal dari daerah sebelah barat Citanduy. Bisa jadi dari Kadipaten Galuh, Kadipaten Cirebon, atau bahkan dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Dan firasatku sering menjadi kenyataan,” kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Aku percaya dengan firasat Diajeng, karena Diajeng sering tirakat, sehingga diberi anugerah ketajaman melihat masa depan. Tetapi dari mana Diajeng bisa meramalkan bahwa suami Dewi kelak akan berasal dari Galuh, atau Cirebon, atau bahkan dari Pakuan Pajajaran? Apa karena Diajeng tahu bahwa akar-akar leluhurku, berasal dari Galuh dan Pakuan? Memang Arya Bangah, Pendiri Pasirluhur, dari jalur kakek pihak ayah, berasal dari Kerajaan Galuh Kawali. Sedangkan dari jalur nenek Arya Bangah, berasal dari Kadipaten Pakuan di tepi Sungai Ciliwung.”
ADVERTISEMENT
“Ah, pengetahuanku tentang itu masih samar-samar. Yang jelas, ketika aku mengandung Dewi, beberapa kali aku mimpi didatangi seorang gadis cantik jelita, anggun, dan berwibawa yang mengaku dirinya berama Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi, Mawar Galuh. Dia adalah gadis cinta pertama Raja Muda Hayam Wuruk. Gadis cantik itu tewas dalam tragedi Bubat (1357 M). Sampai sekarang aku masih ingat mimpi itu. Dan aku pernah ceriterakan pada Kanda juga. Masih ingat, Kanda?”(bersambung)