Novel Sejarah Banyumas : Sang Dewi Ciptarasa (03)

Konten dari Pengguna
23 Februari 2019 0:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dyah Ayu Sang Dewi Ciptarasa
“Ya, aku masih ingat. Mimpi itu membuat aku tidak kecewa ketika Diajeng menafsirkan mimpi itu sebagai pertanda bahwa bayi yang dikandung Diajeng, adalah bayi perempuan. Padahal aku dan Kanjeng Romo Amijaya, berhadap bayi yang dikandung Diajeng adalah bayi laki-laki. Aku memang masih ada hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Galuh di Kawali. Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi itu putri sulung Raja Galuh Sang Maharaja Linggabuana. Apakah Dewi inkarnasi Dyah Ayu Pitaloka? Hanya Ki Patih Reksanata yang bisa menjelaskan masalah yang rumit itu. Tapi ketika aku lihat lukisan Dyah Ayu Pitaloka karya seniman Majapahit, Raden Sungging Purbangkara, sepintas kilas wajah cantik dan postur tubuh Dewi mirip,” kata Adipati Kandhadaha. ”Bagiku wajar jika Diajeng meramal calon suami Dewi akan berasal dari Ksatria Galuh. Bagaimana dengan Ksatria dari Cirebon?”
ADVERTISEMENT
“Hubungan kita dengan Adipati Cirebon Sri Mangana Cakrabuana, terbilang aneh dan unik,” kata Kanjeng Ayu Adipati. ”Aku tidak tahu bagaimana hubungan kekerabatan antara Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten Cirebon. Yang aku tahu hanya kedua kadipaten itu sama-sama kadipaten dibawah kendali Kerajaan Pakuan Pajajaran. Yang aneh sekaligus mengherankan bagiku, hubungan silaturahmi kita dengan Kadipaten Cirebon begitu erat dan akrab. Padahal kita beda keyakinan. Kita penganut Hindu Syiwa sedang Cirebon, penganut agama baru, Islam.” Adipati Kandhadaha tersenyum mendengar kata-kata istrinya.
“Diajeng, hubungan kita dengan Cirebon memang tidak didasarkan atas persamaan agama. Tetapi atas dasar kemanusiaan, saling toleransi, dan saling menghargai pilihan keyakinan kita masing-masing. Bukankah ketika Putri Adipati Cerebon, Dyah Ayu Pakungwati sakit, Diajeng mau bersusah payah mencoba menyembuhkannya dengan memberikan racikan jamu buatan Diajeng sendiri, karena langkah Diajeng itu lebih didasarkan atas dasar kemanusiaan? Dan ternyata Diajeng berhasil menyembuhkan Dyah Ayu Pakungwati sehingga sehat kembali,” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Benar, Kanda. Itu terjadi saat Dewi berusia 11 tahun. Dan aku suka sekali kalimat Kanda tadi, atas dasar kemanusiaan. Dasar kemanusiaan merupakan dasar yang luas, yang mampu mengatasi batas-batas ras, suku, dan agama, serta membangun peradaban manusia yang damai, dan toleran. Kanda tentu masih ingat, saat aku menjadi gugup karena Kanjeng Syekh Jati, suami Dyah Ayu Pakungwati, meminta aku memberi nama masjid yang sedang dibangun di samping Keraton Pakungwati?”
“Oh, ingat sekali. Diajeng ketika itu seperti tidak sadar langsung menyebut nama Ciptarasa.”
“Hihihi…, benar Kanda. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Saat itu Kanjeng Syekh Jati punya nadzar, jika istrinya yang sakit cukup lama bisa sembuh, maka nama masjid yang sedang dibangunnya, akan dimohonkan kepada siapa saja yang dapat menyembuhkan sakit Dyah Ayu Pakungwati. Saat itu aku tiba-tiba ingat Dewi, maka meluncurlah nama Ciptarasa. Nama itu langsung disetujui Syekh Jati dan dia menepati nadzarnya. Setelah masjid itu selesai dua tahun kemudian, masjid itu diberi nama Masjid Ciptarasa. Kita diundang, menginap beberapa malam di Istana Pakungwati, dan kita menyaksikan Kanjeng Adipati Cirebon, Sri Mangana Cakrabuana dengan bangga meresmikan Masjid Kadipaten Cirebon, Masjid Ciptarasa. Kanda tahu, kan, masjid itu dibangun sebagai bukti cinta Kanjeng Syekh Jati pada istrinya. Sedang Istana Pakungwati dibangun sebagai bukti kasih sayang Kanjeng Adipati Cirebon Sri Mangana kepada putri tunggalnya itu, ” kata Kanjeng Ayu Adipati mengingat peristiwa yang terjadi empat tahun lalu itu.
ADVERTISEMENT
“Masuk akal, bukan, jika aku meramal suami Dewi, kalau bukan dari Ksatria Kadipaten Galuh, bisa jadi dari Kadipaten Cirebon?” kata Kanjeng Ayu Adipati pula.
“Ya, dapat dimengerti. Bagaimana dengan ramalan bahwa suami Dewi dari Ksatria Pakuan Pajajaran?” tanya Adipati Kandhadaha semakin penasaran. Sebab dia pun suka dengan soal ramal meramal.
“Ah, Kanda pasti lupa. Seminggu setelah kita pulang dari Kadipaten Cirebon menghadiri peresmian Masjid Ciptarasa, kita memutuskan memasukkan Dewi ke dalam pingitan. Sebab usianya sudah 13 tahu, tapi penampilannya bagaikan gadis remaja usia 17 tahun. Dari laporan Tumenggung Maresi, kita tahu bahwa kegiatan berkuda Dewi selama satu minggu kita tinggal ke Cirebon, sudah sangat mengkhawatirkan. Dewi sering berkuda sampai jauh menyusuri hilir Sungai Logawa. Bahkan suatu saat nekad bukan hanya berkuda sampai Karanglewas. Tetapi Dewi sudah berani memacu kudanya jauh ke timur. Bukan hanya melintasi sungai Banjaran. Laporan Tumenggung Maresi, menyebutkan Dewi terus memacu kudanya ke timur, melintasi Sungai Pelus, akhirnya tiba di Kalianja, dan baru berhenti setelah sampai di pinggir Sungai Cingcinggoling. Para prajurit pengawalnya sudah mengingatkan Dewi agar jangan berkuda terlalu jauh. Apalagi sampai ke daerah perbatasan dengan Kadipaten Wirasaba. Sangat berbahaya. Tapi, siapa yang berani melarang Dewi? Dia hanya taku pada Kanda!”
ADVERTISEMENT
“Hehehe…, aku tidak lupa kejadian itu. Selesai menerima laporan dari Tumenggung Maresi, Dewi aku panggil. Bukan aku marahi. Tapi malah aku puji. Aku bangga dengan keberanian Dewi. Rupanya Dewi senang juga aku puji. Maka ketika kita putuskan agar segera masuk pingitan, karena adat dan tradisi mengharuskannya, Dewi melakukannya dengan senang hati karena aku puji lebih dulu, dan tidak aku marahi,” kata Adipati Kandhadaha ingat peristiwa itu.
“Ya, tapi ada yang Kanda lupa,”
“Lupa? Soal apa?”
“Soal mimpiku kira-kira satu minggu setelah Dewi masuk pingitan. Coba, Kanda ingat-ingat lagi!” Lama Adipati Kandhadaha diam, mencoba mengingat-ingat kejadian empat tahun lalu.
“O, iya. Aku ingat sekarang. Pagi-pagi di meja makan, Diajeng berceritera bahwa Diajeng baru saja mimpi melihat Dewi berkuda berdua dengan seorang pria tampan yang mengaku seorang ksatria dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Walapun Diajeng mengaku mimpi tiga malam berturut-turut, aku menganggap mustahil mimpi itu menjadi kenyataan.”
ADVERTISEMENT
“Luar biasa, Kanda. Ternyata masih ingat. Kanda waktu itu malah bilang, mimpi itu hanyalah bunga orang tidur. Tapi bagiku mimpi itu penting, karena menjadi dasar dari ramalanku yang ketiga. Soal mana dari ketiga ramalanku yang paling mendekati kenyataan, biarlah waktu yang kelak akan membuktikannya. Eh, kenapa Kanda belum penah sowan ke Pakuan Pajajaran? Bukankah kita tiap tahun membayar upeti kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi?” tanya Kanjeng Ayu tiba-tiba saja ingin tahu lebih banyak seluk beluk Kerajaan Pajajaran di Pakuan.
“Sowan ke Pakuan? Ingin sih. Tapi Pakuan kan jauh. Lagi pula tidak ada kepentingan yang mendesak. Dan Sri Baginda Prabu Siliwangi juga tidak mewajibkan para adipatinya sowan atau menghadap Sang Raja,” jawab Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Kita memang tiap tahun diwajibkan membayar upeti ke Pajajaran,” kata Adipati Kandhadaha melanjutkan. ”sebagaimana juga kadipaten lainnya yang ada di bawah kendali Pajajaran, seperti Kadipaten Galuh, Sukapura, Limbangan, bahkan juga Cirebon, dan Kadipaten Banten. Pembayaran upeti itu sebagai bukti kesetiaan. Tetapi Sang Raja tidak mewajibkan para adipati setiap tahun datang menghadap Sang Raja. Adipati yang mempunyai masalah dan ingin menghadap Sang Raja, boleh dilakukan kapan saja sesuai dengan kepentingannya. Inilah bedanya cara memerintah Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit dan Pajajaran, sama-sama menganut agama Hindu Syiwa. Aku dengar para adipati di Jawa yang dikendalikan Kerajaan Majapahit, bukan hanya diwajibkan mengirimkan upeti sebagai bukti kesetiaan. Tetapi para adipatinya masih diwajibkan sowan menghadap Sang Raja di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan. Hanya adipati kadipaten wilayah Majapahit di luar Jawa saja yang dibebaskan dari kewajiban menghadap ke pusat kerajaan. Tetapi mereka tetap diwajibkan mengirimkan upeti dan mengirimkan punggawanya sebagai wakil adipatinya.”
ADVERTISEMENT
“Apakah Adipati Wirasaba juga diwajibkan setiap tahun sowan Sang Raja di Pusat Kerajaan Kediri?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“O, iya. Sejak Kadipaten Wirasaba di sebelah timur Sungai Ciserayu berdiri (1413 M), dan diakui Kerajaan Majapahit, Adipati Wirasaba I, diwajibkan membayar upeti dan sowan setiap tahun ke Pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan. Demikian pula setelah Kerajaan Majapahit runtuh (1478 M), dan sekarang Kadipaten Wirasaba berada dibawah kendali Kerajaan Kediri Baru(1486 M). Sama seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Kediri Baru juga mewajibkan Adipati Wirasaba IV membayar upeti dan tiap tahun menghadap Raja Kediri Rana Wijaya,” jawab Adipati Kandhadaha.
“O, baru aku paham sekarang. Jadi, karena tidak ada kewajiban menghadap, Kanda belum pernah bertemu Sang Raja Pajajaran di Pakuan. Lalu bagaimana Kanda tahu, upeti Kanda telah sampai di Pakuan Pajajaran?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
ADVERTISEMENT
Adipati Kandhadaha senang dengan keinginan istrinya mengetahui seluk beluk pemerintahan dan cara-cara mengelola serta memimpin kadipaten. Dengan sabar dijawabnya pertanyaan istrinya. “Semua kadipaten di Lembah Ciserayu dan Citanduy yang ada dalam kendali Kerajaan Pajajaran, seperi Pasirluhur, Dayeuhluhur, dan Jatijajar, cukup membayar upeti Ke Kadipaten Galuh. Demikian pula Kadipaten Kalipucang, Nusakambangan, dan Banakeling, ketika masih dalam kendali Kerajaan Pajajaran.”
“Dari Kadipaten Galuh, upeti-upeti itu langsung dikirimkan ke Pakuan Pajajaran lewat angkutan Sungai Cimanuk, Laut Jawa, Pelabuhan Sunda Kalapa, masuk Sungai Ciliwung, akhirnya upeti-upeti dari kadipaten-kadipaten di Lembah Ciserayu dan Citanduy, tiba di gudang Istana Raja Pakuan Pajajaran. Kepala Perbendahaaran Istana, memberikan plakat bukti penerimaan upeti dari tiap-tiap kadipaten. Bukti penerimaan pembayaran upeti itu dibawa kembali ke Kadipaten Galuh. Dari Kadipaten Galuh, bukti setor upeti itu dikirimkan dengan kurir ke masing-masing kadipaten di Lembah Ciserayu dan Citanduy yang sudah membayar upeti. Jadi, kita tinggal terima bukti penerimaan upeti dengan cap Kerajaan Pajajaran lewat Kadipaten Galuh. Jelas Diajeng? Masih ada lagi yang ingin ditanyakan?”
ADVERTISEMENT
“Bagaimana nasib Kadipaten Kalipucang, Nusakambangan, dan Banakeling? Bagaimana Kadipaten Nusakambangan bisa lepas dari Kerajaan Pajajaran, dan menjadi Kerajaan Nusakambangan? Bukankah itu bentuk dari pembangkangan dan pemberontakan terhadap Pusat Kerajaan Pajajaran? Aku dengar Kerajaan Nusakambangan berhasil menduduki Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling? Kenapa tidak ada tindakan dari Pusat Kerajan Pajajaran?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“Pertanyaa itu pelik dan tidak mudah menjawabnya. Tapi Diajeng mungkin masih ingat, kapan Kadipaten Nusakambangan mulai membangkang kepada Pusat Kerajaan Pajajaran di Pakuan?”
“Aku sudah lupa, Kanda.”
“Tidak apa-apa kalau lupa. Peristiwa itu terjadi saat Dewi berumur lima tahun. Pada tahun itulah Kadipaten Nusakambangan melakukan pemberontakan dan melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran, lalu mereka mengumumkan secara resmi berdirinya Kerajaan Nusakambangan (1475 M) “
ADVERTISEMENT
“Dalam waktu singkat Kerajaan Nusakambangan melakukan perluasan ke daratan dengan menduduki Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling. Dua kadipaten itu luluh lantak, dihancurkan, dirampok, dan dibakar. Bukan hanya harta kekayaannya saja yang dibawa ke Nusakambangan. Tetapi juga para gadis cantik, baik yang sudah dewasa maupun masih anak-anak. Dua wilayah itu sekarang dibawah pemerintahan Kerajaan Nusakambangan. Posisinya diturunkan hanya setingkat kademangan. Sampai sekarang Kerajaan Nusakambangan, menjadi kerajaan maritim terkuat di Lautan Selatan. Tetapi sekaligus juga menjadi ancaman bagi Dayeuhluhur, Jatijajar, Pasirluhur. Bahkan ancaman juga bagi Wirasaba. Cita-cita mereka menjadi penguasa tunggal di seluruh Lembah Ciserayu, Lembah Citanduy Timur, dan Lembah Baghalin Barat. Pertanyaan Diajeng tadi, kenapa Pusat Kerajaan Pajajaran seakan-akan tidak bertindak?”
ADVERTISEMENT
“Ya, benar. Mengapa?” tanya Kanjeng Ayu Adipati, ingin tahu.
“Tahun ketika Dewi berusia 5 tahun merupakan tahun penuh gejolak di Pulau Jawa. Sebab, di Kerajaan Pajajaran timbul satu pemberontakan dan berdiri satu kadipaten Islam. Sedangkan di Kerajaan Majapahit, juga muncul satu pemberontakan, dan berdiri pula satu kadipaten Islam. Sebelum tahun itu, wilayah Pulau Jawa hanya dikuasai dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan, dan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan. Kerajaan Pajaran menguasi separuh wilayah Jawa bagian barat, sedangkan Kerajaan Majapahit mengusai separuh wilayah Jawa bagian timur. Pemberontakan yang muncul di Kerajaan Pajajaran, seperti sudah dijelaskan tadi, adalah pemberontakan yang dilakukan Kadipaten Nusakambangan,” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Sedangkan pemberontakan yang muncul di Kerajaan Majapahit, dilakukan oleh Kadipaten Wengker. Sama dengan Kadipaten Nusakambangan yang melepaskan diri dari pusat kerajaan, Kadipaten Wengker yang berada tidak jauh dari Gunung Lawu itu, juga menyatakan melepaskan diri dari pusat kerajaan. Dalam hal ini adalah Pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan. Adapun dua kadipaten Islam yang baru berdiri pada tahun itu adalah Kadipaten Cirebon yang dipimpin Sri Mangana Cakrabuana, dan Kadipaten Bintoro di bawah pimpinan Senapati Jimbun yang kelak lebih dikenal sebagai Raden Patah. Kadipaten Cirebon tetap tunduk pada Kerajaan Pajajaran, demikian pula Kadipaten Bintoro juga tetap tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Itulah peristiwa penting yang terjadi di Pulau Jawa saat Dewi berusia lima tahun.”
ADVERTISEMENT
“Hem, menarik juga ya. Kenapa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran mengalami peristiwa yang nyaris hampir sama, dan terjadi pada tahun yang sama pula?” tanya Kanjeng Ayu Adipati terheran-heran.
“Tidak terlalu penting mempertanyakan sebab timbulnya peristiwa itu. Bisa jadi memang dikehendaki oleh hukum alam semesta. Tetapi yang justru penting adalah bagaimana cara Kerajaan Majapahit dan Pajajaran menangani timbulnya dua masalah yang hampir sama itu. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran. Ternyata Kerajaan Majapahit lebih tegas dalam mengatasi masalah pemberontakan dari pada Kerajaan Pajajaran,” kata Kanjeng Adipati Kandhadaha.
“Bagaimana cara Kerajaan Majapahit mengatasi pemberontakan Kadipaten Wengker?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“Kadipaten Wengker langsung diserbu tentara Majapahit yang didatangkan dari pusat kerajaan. Pemberontak pun akhirnya dapat dihancurkan. Nah, kita tidak tahu kenapa Kerajaan Pajajaran seakan-akan membiarkan saja pemberontakan Kadipaten Nusakambangan. Bahkan sudah dua belas tahun tidak dilakukan tindakan apa-apa. Wajar saja jika sekarang Kerajaan Nusakambangan telah berkembang menjadi kerajaan yang kuat. Bahkan menjadi Kerajaan Maritim paling kuat di Pantai Selatan Jawa,” kata Adipati Kandhadaha. Kanjeng Ayu Adipati merasa puas dengan semua penjelasan yang disampaikan suaminya.
ADVERTISEMENT
“Diajeng, sudah malam. Besok kita harus mimpin pertemuan di Pendopo Kadipaten. Aku takut besok mengantuk jika kita tidak cepat-cepat tidur,” kata Adipati Kandhadaha. Tak terasa malam makin larut, sepi, dan juga makin dingin.
“Baiklah, Kanda. Terima kasih. Kanda sudah mau berbagi pengetahuan yang begitu berharga. Setidaknya kalau Dewi bertanya, aku bisa menjelaskan,” kata Kanjeng Ayu Adipati, sambil memiringkan badannya ke kanan, mendekati Adipati Kandhadaha. Kanjeng Ayu Adipati memeluk suaminya dan mendaratkan bibirnya di pipi suaminya. Adipati Kandhaha tidak mau melepaskan kesempatan itu lewat begitu saja. Di tariknya pinggang istrinya, sambil membisikkan sesuatu. Kanjeng Ayu Adipati tersenyum.
“Lho, katanya mau tidur, supaya besok tidak ngantuk!” kata Kanjeng Ayu Adipati, tetapi sambil tangannya membantu melepaskan baju tidur suaminya. Permainan asmara yang mengasyikan pun segera berlangsung di atas ranjang peraduan, di tengah udara malam yang dingin karena sore hari hujan deras mengguyur Kadipaten Pasirluhur. Kedua pasangan yang sedang diamuk asmara itu, saling berpacu menuju puncak bukit cinta. Energi cinta keduanya berhasil meledak bersama-sama di puncak surgawi. Tak lama kemudian, Adipati Kandhadaha terkulai lemah di samping kanan istrinya. Kanjeng Ayu tersenyum puas karena berhasil mempersembahkan permainan cinta yang menggairahkan. Di tariknya selimut di ujung ranjang peraduan, lalu dihamparkannya menutupi tubuh suaminya. Kanjeng Ayu cepat-cepat menyusul menyelinap di balik selimut. Keduanya tidur saling berpelukan. Sebentar kemudian kedua pasangan itu sudah terlelap ke alam mimpi. Di lantai ranjang peraduan, dibiarkannya dua pasang baju tidur teronggok di sana sampai pagi hari.[bersambung]
ADVERTISEMENT