Konten dari Pengguna

Novel Sejarah Banyumas : Sang Dewi Ciptarasa(04)

1 Maret 2019 16:27 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewi Shinta Dalam Ramayana
Adipati Kandhadaha baru tersadar dari lamunannya, ketika Ki Patih Reksanata yang duduk di depannya, berkata. “Kanjeng Adipati, apakah masih ada pesan-pesan atau perintah? Mengenai rencana pesta marak menangkap ikan di Sungai Logawa tahun ini, sesuai dengan amanat Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu, akan segera Ki Patih tindak lanjuti dengan membentuk panitya penyelenggara seperti tahun lalu. Ki Patih menunggu daftar adipati sebelah barat Citanduy yang akan diundang dalam pesra marak.”
ADVERTISEMENT
“Terima kasih, Paman Patih. Pada waktunya, daftar adipati yang akan aku undang dalam pesta marak akan kusampaikan. Karena sudah tidak ada lagi yang kita bicarakan, maka kepada Ki Patih dan semua punggawa serta para lurah yang telah dengan tekun mengikuti pertemuan ini, aku dan Kanjeng Ayu mengucapkan terima kasih. Selamat bekerja. Silahkan Tumenggung Maresi pimpin acara santap siang di Bangsal Pancaniti yang telah disiapkan Kanjeng Ayu,” kata Adipati Kandhadaha menutup pertemuan.
Acara dilanjutkan dengan santap siang bersama di Bangsal Pancaniti, bangsal tempat Adipati Kandhadaha biasa menyambut tamu-tamu penting kadipaten. Sambil menikmati hidangan santap siang, mereka dihibur dengan pertunjukan lengger persembahan Lurah Karangjati. Tetapi Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati memilih pulang ke Dalem Gedhe untuk santap siang dengan Sang Dewi. Ki Patih mengikuti jejak Adipati Kandhadaha cepat-cepat pulang ke Dalem Kepatihan agar bisa santap siang dengan Nyi Patih.
ADVERTISEMENT
Ketika tiba di Dalem Gedhe, tempat tinggal Adipati Pasirluhur dengan keluarganya, Emban Khandegwilis langsung menyambutnya sambil berkata, ”Ndara Kanjeng Ayu Adipati, santap siang sudah tersaji di meja makan.”
“Terima kasih, Khandegwilis. Panggil Ndara Putrimu ya,” pesan Kanjeng Ayu Adipati sambil melangkah diikuti suaminya menuju meja makan di beranda belakang Dalem Gedhe. Khandegwilis cepat-cepat menuju Taman Kaputren menjemput Sang Dewi.
“Ndara Putri! Ndara Putri! Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu sudah menunggu di meja makan beranda belakang. Ndara Putri diajak santap siang dengan Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu!” kata Khandegwilis tergopoh-gopoh setelah tiba di depan pintu kamar Sang Dewi di Taman Kaputren.
“Biyung Emban, katakan pada Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu, Dewi akan secepatnya kesana,” kata Sang Dewi. Siang itu dia sedang tiduran sambil membaca rontal Mahabharata yang diambil dari perpustakaan rontal koleksi ayahnya.
ADVERTISEMENT
“Baik, Ndara Putri. Pesan Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu, jangan lama-lama,” pesan Khandegwilis sambil balik kembali ke Dalem Gedhe. Sang Dewi bangun dari tempat tidurnya, dan menyimpan rontal yang sedang dibacanya. Setelah mematut-matut sebentar di depan lemari hias, Sang Dewi menyusul Khandegwilis.
“Kanjeng Romo, Kanjeng Ibu!” sapa gadis cantik putri bungsu Adipati Kandhadaha itu, begitu dia tiba di beranda ruang makan sambil mencium tangan ke dua orang tuanya. Kanjeng Ayu Adipati ganti memeluk dan mencum putri kesayangannya. Demikian pula Adipati Kandhadaha. Mereka bertiga duduk mengelilingi meja bundar warna coklat kopi mengkilat dari jati. Ke tiganya menikmati hidangan santap siang dengan dilayani sejumlah pelayan Dalem Kadipaten yang dipimpin Kandhegwilis.
ADVERTISEMENT
Kesempatan bertemu di meja makan itu biasa dimanfaatkan untuk membicarakan berbagai masalah. Dengan Kanjeng Ayu Adipati dibicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan kewanitaan, seperti kecantikan, masak memasak, membuat jamu, membatik, dan lainnya lagi. Sambil menikmati hidangan Sang Dewi sering lebih banyak bertanya, dan Kanjeng Ayu Adipati menjawab. Masalah yang bersifat pribadi biasanya hanya dibicarakan berdua saja antara Kanjeng Ayu Adipati dan Sang Dewi. Dengan Adipati Kandhadaha, Sang Dewi paling suka membicarakan soal adat, tradisi, budaya, kesenian, kemasyarakatan, sampai isi kitab suci dan rontal-rontal yang dibaca Sang Dewi dari perpustakaan rontal ayahnya.
“Kanjeng Romo, Dewi sudah selesai baca rontal Ramayana,” kata Sang Dewi lapor kepada ayahnya.
“Bagus. Sekarang rontal apa yang sedang dibaca?”
ADVERTISEMENT
“Mahabharata, Kanjeng Romo. Sudah sampai kisah Balai Sigala-gala,” jawab Sang Dewi.
“Wah, bagus. Ada yang ingin Nduk Dewi tanyakan?”
“Ada, Kanjeng Romo. Kijang itu simbol apa sih? Dalam Ramayana, Sinta, istri Raden Rama, celaka karena tergoda kinjang kencana jelmaan Ditya Kala Marica. Akibatnya, Dewi Sinta berhasil diculik Rahwana, dan Dewi Sinta harus menderita karena disekap bertahun-tahun di Kerajaan Alengka. Bisa jadi kalau Sinta tidak tergoda kijang kencana, perang besar Alengka tak pernah terjadi. Dalam Mahabharata, nasib Pandu lebih mengenaskan lagi gara-gara membunuh sepasang kijang yang sedang bermain asmara di dalam hutan. Pandu, Raja Hastina yang perkasa itu kena kutukan. Akhirnya Pandu tewas ketika sedang bermain asmara dengan istrinya, Dewi Madrim. Setelah melahirkan Nakula-Sadewa, Madrim juga tewas, karena melakukan ritual bela mati demi menyusul Pandu ke alam baka. Bisa Kanjeng Romo jelaskan? Kenapa selalu digunakan binatang kijang?” tanya Sang Dewi yang membuat kagum Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati.
ADVERTISEMENT
“Diajeng, coba perhatikan pertanyaan anakmu, Nduk Dewi, Cah Ayu. Cantrik tercerdas di Padepokan Resi Batuputih atau pun di Padepokan Dewi Srandi, belum tentu bisa mengajukan pertanyaan semacam itu,” puji Adipati Kandhadaha.
“Lho, bukankah Kanjeng Romo yang mengajari Dewi, bahwa dibalik kisah Mahabharata dan Ramayana tersimpan aneka macam simbol dan perlambang kehidupan manusia yang harus dicari dan ditafsirkan oleh pembacanya?” kata Sang Dewi tanpa memberi kesempatan kepada ibunya mengomentari pujian ayahnya.
“Ketahuilah, Nduk Dewi, Cah Ayu. Hewan kijang dalam kisah Sinta dan Pandu yang mengakibatkan kemalangan keduanya itu, tidak lain adalah simbol nafsu kebendaan dan nafsu syahwat pada diri setiap manusia yang sering tidak terkendali. Tetapi jangan salah tafsir. Nafsu syahwat pada diri manusia itu tetap penting, karena tanpa nafsu syahwat, manusia tidak akan bisa menurunkan generasi baru di muka bumi. Demikian pula nafsu kebendaan itu perlu. Karena dengan nafsu kebendaan itu, manusia terpacu untuk giat mencarinya agar manusia bisa memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Antara lain pangan, sandang, papan, dan kebutuhan hidup lainnya lagi. Tanpa nafsu kebendaan, manusia di muka bumi akan cepat musnah,” kata Adipati Kandhadaha menjawab pertanyaan Sang Dewi.
ADVERTISEMENT
“Jadi, makna dari simbol kijang itu, manusia harus bisa mengelola nafsu syahwat dan kebendaan atas dasar kemanusiaan. Artinya orang boleh saja menyalurkan nafsu syahwat terhadap lawan jenis yang sah, dan mengejar harta kekayaan sebanyak-banyaknya asal dilakukan dengan tidak merugikan sesama, dan dilakukan atas dasar kemanusiaan. Benar Kanjeng Romo?” tanya Sang Dewi menyimpulkan.
“Benar sekali, Nduk Dewi. Ibumu malah belum tentu bisa menarik kesimpulan dengan kata-kata yang pas seperti yang baru saja kamu utarakan,” kembali Adipati Kandhadaha memuji Sang Dewi.
“Terima kasih, Kanjeng Romo. Penjelasan Kanjeng Romo juga menarik. Kalau wanita nareswari itu wanita seperti apa, Kanjeng Romo?” Sang Dewi mengajukan pertanyaan lain lagi.
“O, wanita nareswari itu wanita pilihan yang mendapat anugerah dewa. Wanita nareswari disebut juga wanita kijang. Tujuh bidari di Kahyangan juga sering dilukiskan sebagai wanita kijang atau wanita nareswari. Nanti Ibumu yang akan dapat menjelaskan lebih jauh. Jika kurang jelas, bisa dibaca dalam rontal Kamasutra. Tetapi rontal Kamasutra belum boleh Nduk Dewi baca.”
ADVERTISEMENT
“Lho, kenapa, Kanjeng Romo? Bukankah rontal Kamasutra termasuk rontal suci? Dan rontal suci wajib dibaca, Kanjeng Romo?” Sang Dewi mulai protes. Sebenarnya, diam-diam Sang Dewi sudah membaca Kamasutra tanpa sepengetahuan ayahnya. Terutama jika ayahnya sedang tidak pulang karena tidur di rumah istri ayahnya yang lain.
“Sebenarnya boleh. Hanya sekarang belum waktunya. Nanti kalau Nduk Dewi sudah punya suami, baru boleh dibaca dan dipelajari isinya dengan suami,” jawab Adipati Kandhadaha.
“Kalau sudah punya suami, Dewi juga boleh berkuda lagi, Kanjeng Romo?”
“Tentu saja boleh. Karena jika Nduk Dewi sudah punya suami, sudah ada yang mengawal kemana pun Nduk Dewi akan pergi. Kapan mau punya suami? Kanjeng Romo dan Ibumu sudah ingin cepat-cepat punya menantu dan cucu dari Nduk Dewi Cah Ayu, lho,”
ADVERTISEMENT
“Belum menemukan calon suami yang cocok, Kanjeng Romo,” jawab Sang Dewi singkat dan tanpa beban.
Tak terasa santap siang pun selesai. Para pembantu cepat membereskan meja makan dan menggantinya dengan buah-buahan segar dan minuman baru. Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati belum mengijinkan Sang Dewi meninggalkan meja makan dan kembali ke kamarnya di Taman Kaputren. Dia ingin menyampaikan keputusan untuk menyelenggarakan pesta marak atau menangkap ikan di Sungai Logawa tahun ini yang berbeda dengan tahun lalu. Dengan sabar Adipati Kandadhaha menjelasan secara terperinci rencana menyelenggarakan pesta marak tahun ini yang akan diselenggarakan lebih meriah dari yang sudah-sudah.
“Kesempatan baik bagimu Nduk Dewi Cah Ayu, untuk memilih salah satu di antara mereka. Mereka siap melamarmu, jika engkau siap pula menerima. Jangan engkau kecewakan Kanjeng Romomu ini seperti yang sudah-sudah. Dulu kakak-kakakmu tak pernah menolak, langsung setuju jika Kanjeng Romomu ini setuju. Hanya engkau yang agak aneh. Tapi tidak apa. Engkau putri Kanjeng Romo paling bungsu, paling cantik, paling cerdas pula. Tentu saja sangat wajar bila banyak yang berminat menyuntingmu. Dan wajar pula bila engkau menggunakan hak untuk memilih.”
ADVERTISEMENT
“Aduh, Kanjeng Romo, ampunilah Putri Kanjeng Romo ini. Tak ada niat untuk menentang kehendak Kanjeng Romo. Kalau selama ini Dewi belum bisa menentukan pilihan, semata-mata karena Dewi belum mengenal dengan baik mereka semua.”
“Ketahuilah, Nduk Dewi Cah Ayu. Pesta rakyat itu diadakan, salah satu tujuannya agar engkau punya kesempatan untuk mengenal mereka. Pesta marak tahun ini, atas usul Ibumu akan diselenggarakan dengan mengundang lebih banyak lagi adipati dan putra adipati. Mereka yang tinggal di sebelah barat Citanduy juga akan diundang. Perlunya agar kamu lebih banyak pilihan. Aku dan Ibumu berharap, tahun ini adalah pesta marak paling berhasil. Ukuran keberhasilan pesta marak, yaitu jika setelah pesta marak selesai, engkau segera menemukan calon suami yang cocog dengan harapan dan cita-citamu.”
ADVERTISEMENT
“Terima kasih, Kanjeng Romo. Sebab bagaimana Dewi bisa mengenal bibit, bebet, dan bobot calon suami, bila Dewi tidak pernah mengenal calon suami dengan baik. Benar tidak, Kanjeng Romo?”
“Hem..., engkau nyata-nyata cerdas, Nduk Dewi Cah Ayu. Dari calon-calon yang siap melamarmu itu, sebenarnya engkau tinggal memilih saja. Benar sekali, bibit, bebet, dan bobot itu warisan leluhur kita yang bisa dijadikan pedoman dalam memilih jodoh. Mereka semua memenuhi syarat berdasarkan pedoman warisan leluhur. Misalnya bibit, jelas mereka semua itu turunan para priyayi agung. Bebet, mereka pastilah punya penghasilan yang cukup untuk menghidupi rumah tangga mereka, yakni mencukup kebutuhan istri serta anak-anak mereka. Bobot, mereka semua mempunyai jabatan terhormat,” kata Adipati Kandhadaha memberi nasihat pada Sang Dewi.
ADVERTISEMENT
Hem, bobot jabatan terhormat? Sang Dewi berkata di dalam hati. Alangkah sempit pandangan Kanjeng Romo. Aku tahu para ksatria itu hanya mengejar harta, tahta, dan wanita. Betapa banyak wanita istri adipati dan para ksatria itu yang menderita karena bobot ditentukan hanya berdasarkan tinggi rendahnya jabatan yang dimiliki para ksatria itu. Aku, Putri Kadipaten Pasirluhur, Putri Kanjeng Romo Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ibu, tidak silau oleh harta dan tahta, sekalipun keduanya itu penting sebagai modal untuk membangun sebuah rumah tangga.
Bobot itu bukan hanya jabatan. Jika bobot adalah jabatan, maka para ksatria itu akan bertindak sewenang-wenang, tidak memiliki sifat welas asih pada sesama, dan tidak bisa berlaku adil. Itulah penyebab munculnya sikap adigang, adigung, dan adiguna. Ya, sewenang-wenang karena merasa mempunyai wewenang. Kepada istri, mereka pun, para ksatria itu akan sewenang-wenang. Wanita hanya dijadikan bunga. Bunga itu akan terus diisap selagi ada madunya, tetapi bila sudah layu, bunga itu pun akan dibuang. Ah, betapa banyak wanita kaumku yang menderita karena para ksatria itu memuja harta, tahta, dan wanita.
ADVERTISEMENT
Bobot itu tidak diukur dari tinggi rendahnya tahta yang diduduki oleh seorang calon suami. Bobot juga harus diukur berdasarkan tinggi rendahnya budi mulia dan budi luhur calon suami. Duh, Kanjeng Romo, Dewi tidak mau jadi tumbal ambisi para ksatria. Dewi ingin memilih calon suami yang bukan hanya berbobot secara lahirnya saja. Tetapi, calon suami yang berbobot lahir dan batinnya, berbudi mulia, dan berbudi pekerti luhur. Itulah calon suami yang layak sebagai tempat bernaung, berlindung, dan mengabdi bagi seorang istri.
“Nduk Dewi Cah Ayu, putri Kanjeng Romo. Engkau bukan hanya semakin cantik, tetapi juga semakin dewasa, cerdas, dan bijak. Berbahagialah para adipati atau pun putra adipati yang kelak menjadi suamimu,” ujar Kanjeng Adipati menyadarkan Sang Dewi yang sedang asyik berdiskusi dalam benaknya.
ADVERTISEMENT
“Nduk Dewi Cah Ayu, engkau boleh kembali ke Taman Kaputren. Dan ingat-ingatlah pesanku itu,” kata Adipati Kandhadaha mengijinkan Sang Dewi kembali ke Taman Kaputren setelah banyak memberikan masukan, saran, dan nasehatnya. Sang Dewi segera bangkit dan kembali ke Taman Kaputren setelah memeluk ayah dan ibundanya.[bersambung]