Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Novel Sejarah Banyumas : Sang Dewi Ciptarasa (05)
9 Maret 2019 6:22 WIB
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Anakmu Diajeng, bandel dan keras kepala, tetapi sesungguhnya cerdas.” Kanjeng Adipati melanjutkan perbincangan dengan istrinya Kanjeng Ayu Adipati. ”Tetapi kalau setiap lamaran lelaki ditolaknya, bukankah itu sama saja dengan membuat sakit hati banyak lelaki?”
ADVERTISEMENT
“Oh, itu buah dari tanaman Bapaknya di masa lalu,” kata Kanjeng Ayu Adipati tiba-tiba.
“Makanya jangan suka menyakiti wanita. Kini anakmu membalas dengan menolak lamaran semua pria. Pastilah pria yang ditolak lamarannya oleh anakmu itu sakit hatinya. Itu namanya hukum Karma.”
”Hukum Karma? Aku tak pernah menyakiti wanita. Makanya tak ada wanita yang pernah menolak lamaranku. Bahkan keluargamu dulu pun menerima lamaranku.”
“Kalau begitu sana tidur dengan keluargaku!” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil bangun, berdiri, dan meninggalkan Kanjeng Adipati sendirian di meja makan.
Kanjeng Adipati sadar, kesibukannya dalam urusan pekerjaan akhir-akhir ini menyebabkan dia jarang tidur di kamar istri termudanya itu. Adipati Kandhadaha mempunyai tujuh orang istri. Kanjeng Ayu Adipati adalah istri termudanya. Tentu saja Kanjeng Ayu Adipati adalah istri yang paling disayanginya, karena dia bukan hanya cantik, dan cerdas, tetapi juga masih muda. Sekalipun begitu, tetap saja tidak setiap malam Kanjeng Ayu Adipati bisa tidur dengan suaminya. Kanjeng Ayu harus merelakan berbagi malam-malam yang ada dengan istri-istri Adipati Kandhadaha yang lain. Hal inilah yang membuat Kanjeng Ayu Adipati suka marah-marah dan mudah tersinggung jika dia merasa hak-haknya sebagai istri kurang mendapat perhatian suaminya.
ADVERTISEMENT
Kanjeng Adipati Kandhadaha berdiri dari tempat duduknya. Diseretnya trumpah alas kakinya menuju kamar tidur Kanjeng Ayu Adipati. Dia tahu, Kanjeng Ayu pasti sudah menunggu di sana. Waktu istirahat siang bagi Kanjeng Adipati Kandhadaha memang telah tiba. Malam nanti, Adipati Kandhadaha masih ingin melanjutkan malam-malam indah bersama istri mudanya itu seperti tadi malam. Kanjeng Ayu Adipati, bukan hanya cantik, cerdas, pandai merawat tubuh agar selalu tampil bugar, sehat, dan awet muda. Dia juga pandai bermain asmara melayani suami di atas ranjang. Itulah juga yang menyebabkan Adipati Kandhadaha selalu merindukan saat-saat indah di atas ranjang peraduan bersama Kanjeng Ayu Adipati. Bahkan pertengkaran kecil yang terjadi di meja makan siang itu, cepat selesai dengan damai di atas ranjang peraduan dan hasilnya memuaskan kedua belah pihak. Memang Adipati Kandhadaha perayu ulung dan penakluk hebat wanita.
ADVERTISEMENT
Hujan sejak sore menguyur Kadipaten Pasirluhur seperti kemarin. Karena itu, selesai santap malam Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu hanya berbincang-bincang sebentar di meja makan. Apa lagi Sang Dewi tidak diundang. Dia makan malam sendirian di kamarnya, ditemani Khandegwilis.
“Kanda, kita lanjutkan perbincangan kita di kamar tidur,” kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Lho, Itu yang aku tunggu-tunggu, Diajeng,” Adipati Kandhadaha meyambut ajakan istrinya sambil tersenyum.
Malam pun semakin dingin. Kanjeng Ayu Adipati sudah tiga kali mengganti sprei, sarung bantal, sarung guling, dan tiga kali juga menyiapkan baju tidur untuk Adipati Kandhadaha dan dirinya. Kemarin malam, tadi siang, dan malam itu. Di luar suara kodok terdengar saling bersahut-sahutan membangun pentas musik alami di sawah-sawah Kadipaten Pasirluhur, di pinggir-pinggir selokan, di kolam-kolam ikan, dan di pinggir Sungai Logawa. Suaranya merambat dalam sepi, masuk juga ke kamar peraduan Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati. Seperti malam kemarin dan tadi siang, kembali Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati, masih membicarakan masa depan Sang Dewi.
ADVERTISEMENT
“Kanda, benarkah ada mitos Ksatria Kerajaan Pajajaran tidak boleh menikah dengan gadis Majapahit? Demikian pula, Gadis Pajajaran tidak boleh menikah dengan Ksatria Majapahit?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“Ah, mitos itu tidak ada. Yang ada mitos gadis trah Kerajaan Galuh dilarang menikah dengan Ksatria trah Majapahit, dan sebaliknya. Tapi mitos itu makin lama makin ditinggalkan orang. Mitos itu berawal dari tragedi Perang Bubat. Diajeng sendiri sudah tahu akibat dari tragedi Perang Bubat yang mengakibatkan putusnya hubungan Pemerintahan Kerajaan Majapahit (1293 -1478 M) dengan Kerajaan Galuh Kawali (612- 1433 M). Dalam tragedi Bubat, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi tewas bela pati, dan gagal menjadi Permaisuri Raja Muda Hayam Wuruk.”
“Bagiku Peristwa Bubat masih samar-samar, antara percaya dan tidak percaya. Bagaimana persisnya terjadinya peristiwa itu?” tanya Kanjeng Ayu Adipati penasaran. Lebih-lebih karena dia sempat mimpi didatangi Mawar Galuh, saat sedang mengandung Sang Dewi.
ADVERTISEMENT
“Peristiwa menyedihkan itu terjadi pada tahun 1279 Saka (1357 M). Sang Maharaja memiliki putri cantik jelita bernama Dyah Ayu Pitaloka. Kecantikan Dyah Ayu Pitaloka menyebar ke mana-mana bak harumnya bunga mawar yang memikat banyak kumbang. Dia bagaikan sekuntum mawar Galuh yang indah dan mempesona para Ksatria, putra raja, dan Sang Raja,” kata Adipati Kandhadaha menceriterakan Peristiwa Bubat, memenuhi permintaan istri tercintanya.
*
Adipati Kandhadaha berceritera, bahwa Kecantikan Dyah Ayu Pitaloka sampai juga ke telinga Raja Majapahit Hayam Wuruk. Saat itu dia belum punyai istri. Maka lebih dulu dikirimlah ke Kerajaan Galuh sejumlah utusan dengan membawa Pelukis Majapahit terkenal, Sungging Purbangkara untuk melukis wajah Pitaloka. Luksan karya seniman Majapahit segera dipersembahkan Sang Raja, setelah utusan pertama itu tiba kembali. Begitu melihat lukisan Pitaloka, Sang Raja Hayam Wuruk langsung jatuh cinta. Tak lama kemudian kembali dikrim utusan yang kedua kalinya dari Majapahit. Kali ini utusan itu mengemban tugas mulia, yakni melamar Pitaloka untuk diperistri sebagai Permaisuri Raja Hayam Wuruk. Raja Galuh Sang Maharaja Linggabuana, karena merasa gembira dan bahagia akan mempunyai menantu raja dari sebuah kerajaan besar, menerima lamaran Hayam Wuruk. Bahkan Raja Galuh itu bersedia mengantarkan putri tercintanya ke Majapahit, asal kelak dijemput sendiri oleh calon menantunya itu.
ADVERTISEMENT
Maka setelah tiba waktunya, berangkatlah rombongan besar Sang Maharaja, Permaisuri, Dyah Ayu Pitaloka, kerabat dekat raja, lengkap dengan sejumlah pengwalnya. Hanya putra bungsu Raja Galuh yang ditinggal di Istana Galuh, karena masih kecil. Setelah berhari-hari menempuh pelayaran lewat Sungai Cimanuk, Laut Jawa, dan tiba di Pelabuhan Majapahit, rombongan Raja Galuh melanjutkan pelayarannya menyusuri Sungai Brantas, sampai akhirnya tiba di Lapangan Bubat, tidak jauh dari alun-alun Kerajaan Majapahit.
Sayang sekali, setelah menunggu beberapa lama di lapangan Bubat, Patih Gajah Mada campur tangan dengan menghalang-halangi prosesi penjemputan calon mempelai wanita. Sang Maharaja dengan pengiringnya menolak kehendak Patih Gajah Mada yang meminta agar Raja Galuh itu menyerahkan calon mempelai wanita sebagai tanda takluk Galuh kepada Majapahit. Tentu saja Sang Maharaja bersama pengiringnya murka, karena permintaan Patih Gajah Mada bukan hanya menyalahi adat yang berlaku, tetapi juga dianggap telah menghina Kerajaan Galuh.
ADVERTISEMENT
Dyah Ayu Pitaloka, Mawar Galuh, diantarkan ke Majapahit karena telah dipinang oleh Hayam Wuruk, bukan karena Galuh ditaklukkan Majapahit lewat peperangan. Kesepakatan tidak tercapai karena utusan Sang Maharaja gagal menemui langsung Hayam Wuruk. Mereka dihalang-halangi oleh pasukan pengawal Majapahit di bawah komando Gajah Mada. Sang Maharaja dan pengiringnya menolak keinginan Gajah Mada. Mereka memilih gugur dalam peperangan demi membela harga diri dan kehormatan Kerajaan Galuh dari pada menyerah.
Pasukan Gajah Mada segera bertindak. Lapangan Bubat dikepung. Perang pun pecah. Pasukan pengawal Sang Maharaja berjuang dengan gagah berani melawan pasukan pengepung dan penyerang yang jumlahnya berlipat-lipat.
“Akhirnya setelah terjadi peperangan sejak pagi, menjelang tengah hari darah merah sudah banyak berceceran membasahi lapangan Bubat. Semua prajurit Galuh berperang dengan gagah berani, satu demi satu roboh bersimbah darah, tewas di ujung tombak,” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Ketika pasukan Majapahit memasuki tenda Sang Maharaja, betapa terkejut mereka. Sang Maharaja, Permaisuri, dan pengawal setianya, ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Sebuah keris menancap di dada Sang Maharaja dan Permaisuri. Begitu juga dengan keluarga dan pengawal setianya. Mereka memilih menusukkan keris ke dadanya masing-masing daripada menyerah. Dyah Ayu Pitaloka, Sang Mawar Galuh yang cantik jelita itu melakukan tindakan serupa, tewas di tangannya sendiri dengan menggunakan keris cundrik atau keris genggam kecil,” kata Adipati Kandhadaha pula, sambil menarik nafas, lalu diam sejenak.
“Lewat tengah hari,” Adipati Kandhadaha melanjutkan, “Hayam Wuruk menerima laporan peristiwa tragis yang memilukan itu. Sang Raja segera menuju kemah Raja Galuh. Hayam Wuruk pun menyaksikan keadaan yang sangat menyedihkan itu. Hampir-hampir Sang Raja tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tubuh Dyah Ayu Pitaloka tergolek tak bernyawa berlumuran darah. Hayam Wuruk yang usianya saat itu masih muda bergegas mendekati dan memeluk gadis pujaan hatinya itu.”
ADVERTISEMENT
“Air mata mengalir membasahi wajah Sang Raja. Satu demi satu butiran air mata bening bercahaya bagaikan butiran embun pagi hari, jatuh membasahi pipi Sang Mawar Galuh Dyah Ayu Pitaloka, yang berada dalam dekapan Sang Raja. Perlahan bibir Sang Raja mendekati bibir gadis cantik cinta pertamanya itu. Kedua bibir itu pun lama saling bertautan, sampai akhirnya Ibu Suri Raja datang dan membimbing putra tercintanya itu melepaskan Dyah Ayu Pitaloka yang sudah tidak bernyawa. Itulah peristiwa pertama kali dalam hidup Sang Raja, mencium bibir seorang gadis yang dicintainya dengan sepenuh hati,” kata Adipati Kandhadaha yang membuat sedih Kanjeng Ayu Adipati yang berbaring di samping suaminya.
“Apakah Raja Hayam Wuruk membiarkan saja kecerobohan Gajah Mada?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
ADVERTISEMENT
“Tentu saja Hayam Wuruk sangat sedih,” jawab Adipati Kandhadaha, “dan menyesalkan tragedi Bubat yang terlambat diketahuinya. Atas kelalaian dan kecerobohannya, Gajah Mada langsung dicopot sementara dari jabatannya. Gajah Mada tidak diperkenankan menghadap dan menginjakkan kakinya di Istana Raja selama empat tahun. Lalu Hayam Wuruk memerintahkan agar seluruh jasad prajurit Galuh yang tewas dirawat secara baik. Dia juga memerintahkan agar para pendeta menyelenggarakan upacara kremasi pembakaran mayat. Bahkan Sang Raja sendiri yang mengawali acara dengan terlebih dahulu melakukan ritual penyempurnaan terhadap jasad Sang Mawar Galuh Dyah Ayu Pitaloka, Sang Maharaja, dan Permaisuri Raja Galuh.”
Adipati Kandhadaha melanjutkan ceriteranya, bahwa begitu acara kremasi selesai, Hayam Wuruk mengirimkan utusan ke Galuh untuk menyampaikan berita duka, permohonan maaf, penyesalan, dan ucapan belasungkawa sedalam-dalamnya atas musibah yang tak pernah dibayangkannya. Patih Kerajaan Galuh, Bunisora, dengan sedih menerima musibah dan abu kremasi Sang Maharaja, Permaisuri, dan Sang Mawar Galuh Dyah Ayu Pitaloka Citrarsmi, beserta para punggawa pengiringnya. Musibah yang tidak bisa ditolaknya.
ADVERTISEMENT
Akibat peristiwa Bubat, Hayam Wuruk terus menerus merasakan duka mendalam cukup lama. Dia terus menerus terbayang-bayang gadis cantik jelita cinta pertamanya. “Memang benar, cinta pertama adalah cinta paling indah dan paling sulit dilupakan,” kata Adipati Kndhadaha sambil melirik istri tercintanya. Kanjeng Ayu Adipati langsung mencubit pingggang suaminya.
“Ayo, siapa gadis cinta pertama Kanda?” tanya Kanjeng Ayu Adipati penasaran.
“Siapa lagi kalau bukan Diajeng?” goda Adipati Kandhadaha.
Kanjeng Ayu Adipati mencibirkan bibirnya.Maksudnya tak percaya dengan kata-kata suaminya. Anehnya, Kanjeng Ayu Adipati merasa senang.”Ayo, lanjutkan,Kanda,” katanya.
Adipati Kandhadaha pun melanjutkan. Dikisahkannya, bahwa hampir tujuh tahun Hayam Wuruk terus dirundung duka. Tawaran untuk menikah dengan gadis lain selalu ditolaknya. Sementara itu masa empat tahun setelah tragedi Bubat pun berlalu. Gajah Mada kembali melaksanakan tugasnya. Tetapi hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada tidak lagi sehangat masa-masa sebelum tragedi Bubat. Bahkan duka cita Hayam Wuruk semakin mendalam. Gajah Mada dianggap orang paling bertanggung jawab atas duka cita Sang Raja. Gajah Mada pun menyadari posisinya. Dia merasa sudah tidak nyaman lagi karena hubungannya yang selalu dingin dengan rajanya. Akhirnya Gajah Mada mengajukan permohonan pengunduran diri dan Hayam Wuruk segera mengabulkannya.
ADVERTISEMENT
Malam harinya Gajah Mada mendapat keterangan bahwa pasukan pengawal kerajaan sedang menuju kepatihan untuk menangkapnya. Sadar akan bahaya sedang mengancam dirinya, Gajah Mada segera meninggalkan kepatihan disaksikan oleh Ken Bebed, istrinya yang terus menerus berurai air mata. Dengan mengenakan pakaian serba putih Gajah Mada meninggalkan kepatihan. Ketika pasukan pengawal kerajaan tiba, mereka hanya menjumpai Ken Bebed yang sedang dirundung duka. Gajah Mada menghilang entah ke mana, raib bagaikan ditelan bumi. Bahkan kuburannya pun tak pernah diketahui hingga kini.
Sementara itu, Patih Bunisora, adik Sang Maharaja Linggabuana, segera menobatkan Niskala Wastukancana yang saat itu masih berusia 7 tahun sebagai Putra Mahkota Kerajaan Galuh. Berhubung Putra Mahkota belum cukup usia, untuk sementara waktu, Pemerintahan Kerajaan Galuh dikendalikan Patih Bunisora (1357 – 1271 M). Ternyata Bunisora seorang Patih yang cakap. Dengan berani dia memutuskan hubungan dengan Kerajaan Majapahit, memperkuat kadipaten-kadipaten di sebelah timur Citanduy, di Lembah Ciserayu, dan di sebelah barat Baghalin. Saat itu Wilayah Kerajaan Galuh ke barat sampai Selat Sunda dan ke timur sampai Sungai Bhagalin. Sungai Bhagalin, adalah batas alam paling timur Kerajaan Galuh. Untuk menghadapi kemungkinan Majapahit melakukan ekpansi melewati batas alam wilayah Kerajaan Galuh paling timur itulah Patih Bunisora memperkuat industri senjata di Kadipaten Pasirluhur yang sudah dirintis pada saat Arya Bangah mendirikan Pasirluhur sebagai Ibu Kota Kerajaan Galuh Timur (739 – 852 M).
ADVERTISEMENT
Ketika Putra Mahkota Niskala Wastukancana sudah dewasa, dia menikah dengan adik sepupunya sendiri, yaitu Putri Patih Bunisora. Pada tahun itu juga dia dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Galuh (1371 – 1433 M). Tak lama kemudian Patih Bunisora pun mangkat. Sayang sepeninggal Patih Bunisora, kebijakan pemerintahan Niskala Wastukancana banyak mengabaikan wilayah sebelah timur Citanduy, tetapi lebih banyak memperhatikan wilayah barat Citanduy. [bersambung]