Novel Sejarah Banyumas : Sang Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka (06)

Konten dari Pengguna
15 Maret 2019 22:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepasang burung pecinta yang setia...
Pada masa Raja Majapahit Wikramawardhana berkuasa (1389 – 1429 M), terjadi perang perebutan tahta dengan saudara tirinya Wirabumi, yang dikenal sebagai Perang Paragreg. Wikramawardhana memang berhasil keluar sebagai pemenang. Tetapi sumber daya ekonomi Majapahit nyaris ambruk dan bangkrut untuk membeayai perang. Karena itu, untuk memulihkan ekonomi Majapahit, Wikramawardhana menempuh kebijakan ekspansi wilayah Majapahit ke barat dengan melintasi Sungai Baghalin yang dilakukan setahap demi setahap. Untuk keperluan ekspansi itu, Raja Majapahit mengandalkan para kentol dari daerah Pengging yang terkenal perkasa, ulet, memiliki ilmu kebal, dan kemampuan bertempur yang hebat.
ADVERTISEMENT
Karena pengawasan Pusat Kerajaan Galuh lemah, akibatnya satu persatu wilayah timur Lembah Ciserayu lepas dari Kerajaan Galuh. Mulailah berdiri sejumlah kademangan dan kadipaten Majapahit di sebelah barat Sungai Baghalin, seperi Wonosobo, Kedungkebo, Bener, Bocor, dan Wirasaba. Kadipaten Wirasaba (1413 M), merupakan kadipaten terkuat di sebelah timur Sungai Ciserayu, yang berada dibawah kendali Kerajaan Majapahit. Ekspansi para kentol Pengging ke barat, terhenti di sebelah timur Sungai Ciserayu dan Cingcinggoling karena di sebelah barat Sungai Ciserayu dan Cingcinggoling berdiri Kadipaten Pasirluhur yang cukup kuat.
Pada masa Raja Niskala Wastukancana berkuasa, luas wilayah Galuh Timur yang lepas menjadi wilayah Majapahit, nyaris hampir separuh luas wilayah Galuh Timur. Wilayah Galuh Timur yang masih dapat dipertahankan Kerajaan Galuh hanya Dayeuhluhur, Banakeling, Jatijajar, Nusakambangan, dan Pasirluhur. Wilayah Pantai Utara yang juga jatuh ke tangan Majapahit dan lepas dari Kerajaan Galuh adalah daerah sebelah barat Sungai Lampir, yakni Pekalongan, Batang, Pemalang, dan terhenti di Sungai Pamali, sebelah timur Brebes.
ADVERTISEMENT
Sadar wilayah Galuh Timur semakin menyusut, Sang Raja Niskala Wastukancana bukannya mengambil langkah-langkah strategis. Tetapi dia malah mengeluarkan angger-angger yang menunjukkan kepanikan Sang Raja. Angger-angger itu berupa larangan gadis trah Kerajaan Galuh menikah dengan ksatria trah Majapahit. Demikian pula Ksatria trah Kerajaan Galuh, dilarang menikah dengan gadis trah Kerajaan Majapahit. Angger-angger itu dimaksudkan untuk menghambat ekspansi Majapahit ke arah barat Lembah Ciserayu.
“Itulah riwayat lahirnya mitos larangan trah Kerajaan Galuh menikah dengan trah Kerajaan Majapahit,” kata Adipati Kandhadaha.
“Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, mitos itu sudah ditinggalkannya banyak orang,” kata Adipati Kandhadaha melanjutkan. “Sebab, urusan cinta adalah urusan yang rumit dan sangat manusiawi sehingga mampu melewati batas-batas kepercayaan, suku, ras, bangsa, dan kerajaan. Bahkan dari sudut hukum kodrat alam, pernikahan campuran antar suku dan antar bangsa, bisa memperbaiki ras manusia. Karena itu pernikahan gadis Sunda dan pria Jawa atau sebaliknya, justru sangat baik untuk melahirkan keturunan baru. Gajah Mada bisa saja menghalang-halangi dan menggagalkan pernikahan Dyah Ayu Pitaloka dengan Raja Muda Hayam Wuruk. Raja Niskala Wastukancana, bisa saja mengeluarkan angger-angger untuk menghalangi trah Kerajaan Galuh menikah dengan trah Kerajaan Majapahit. Tetapi cita-cita gadis Sunda untuk menikah dengan pria Jawa, atau cita-cita pria Sunda untuk menikah dengan gadis Jawa, tidak mungkin dihalang-halangi oleh adat, tradisi, dan angger-angger. Sebab cinta memang selalu berusaha membebaskan diri dari ikatan adat, tradisi, dan angger-angger.”
ADVERTISEMENT
“Hem, luar biasa penjelasan Kanda. Dengan penjelasan itu, hatiku tiba-tiba menjadi tenang. Sebab semakin terbuka bagi Dewi untuk secepatnya mempunyai suami. Tidak menjadi masalah jika kelak calon suami Dewi berasal dari sebelah barat Citanduy. Aku berharap, pada pesta marak tahun ini Dewi benar-benar bisa menemukan jodohnya,” kata Kanjeng Ayu Adipati berharap.
“Bukankah kita sendiri adalah keluarga hasil pernikahan campuran? Dalam darahku mengalir trah Galuh. Dalam diri Diajeng, mengalir trah Majapahit. Ternyata kita bisa hidup salam dan bahagia, setidak-tidaknya sampai hari ini.”
“Ya, itu tadi yang aku cemaskan, Kanda. Aku cemas Dewi akan menjadi perawan tua karena menjadi korban kutukan angger-angger Raja Niskala Wastukancana terhadap pernikahan kita. Sebab pernikahan kita telah melanggar mitos yang melarang trah Galuh menikah dengan trah Majapahit,”
ADVERTISEMENT
“Ah, kecemasan yang berlebihan dan tidak masuk akal. Faktanya Dewi banyak menerima lamaran yang datang dari mana-mana. Hanya Dewi saja yang merasa belum cocok. Aku masih yakin, Dewi gadis cerdas. Dia pasti akan melakukan pilihan pada waktu yang tepat, terhadap calon suami yang tepat,” kata Adipati Kandhadaha meyakinkan istrinya.
“Bagaimana dengan kisah berdirinya Kerajaan Pakuan Pajajaran? Eh, siapa tahu mimpiku terakhir ketika Dewi masuk pingitan, menjadi kenyataan?” tanya Kanjeng Ayu Adipati pula. Mendengar harapan istrinya, kembali Adipati Kandhadaha tertawa.
‘Kalau mimpi Diajeng yang terakhir, aku malah ragu. Sebab Kerajaan Pajajaran itu lebih jauh dari Galuh dan Cirebon. Kalau Galuh dan Cirebon, kita pernah ke sana. Adipati Galuh, masih ada ikatan kekerabatan dengan kita karena istri Adipati Dayeuhluhur, punya hubungan kekerabatan dengan Adipati Galuh. Dengan Adipati Cirebon, kita juga kenal baik. Kita malah sering ke sana. Kita sudah diangap keluarga sendiri. Tetapi dengan Pakuan Pajajaran? Bukan saja letak Pakuan Pajajaran yang jauh, dan kita juga belum pernah ke sana. Hubungangan kekerabatan dengan kita tidak ada.” Kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Lho, Kanda sendiri pernah berceritera, Arya Bangah, pendiri Kerajaan Galuh Timur di Pasirluhur, nenek dari pihak ayah, dan kakek dari pihak ibu berasal dari Kadipaten Pakuan. Bukankah itu artinya ada hubungan kekerabatan Kadipaten Pasirluhur dengan Kadipaten Pakuan? Sekalipun sudah sangat jauh, bukan mustahil jika masih ada hubungan kekerabatan,” kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Ya, Diajeng benar. Aku keliru. Memang ada hubungan kekerabatan, walapun sudah sangat jauh dan sulit dilacak. Ayah Arya Bangah adalah Temperan Barmawijaya. Ayah Temperan adalah Rake Sanjaya. Ibu Temperan adalah Tirta Kencana. Dia Istri Rake Sanjaya yang berasal dari Kadipaten Pakuan. Ibu Arya Bangah adalah Dewi Pangreyep. Ayah Dewi Pangreyep, adalah Anggada, Patih Kerajaan Galuh. Ibu Anggada adalah Mayangsari, juga berasal dari Kadipaten Pakuan. Bahkan Istri Arya Bangah, Kancanasari, juga berasal dari Kadipaten Pakuan. Benar, pendapat Diajeng. Antara Kadipaten Pasirluhur dengan Kadipaten Pakuan ada hubungan kekerabatan. Mudah-mudahan mimpi Diajeng menjadi kenyataan,” kata Adipati Kandhadaha yang membuat Kanjeng Ayu Adipati malam itu merasa sangat bahagia. Seakan-akan mimpi terakhirnya tidak akan meleset.
ADVERTISEMENT
“Ayo, Kanda. Ceriterakan kenapa Raja Niskala Wastukancana akhirnya memindahkan Kerajaan Galuh di Kawali ke Pakuan Pajajaran?” desak Kanjeng Ayu Adipati tidak sabar.
“Sebenarnya bukan Sang Raja Niskala Wastukancana yang memindahkan Pusat Kerajaan Galuh di Kawali ke Pakuan Pajajaran,” kata Adipati Kandhadaha menjawab pertanyaan istrinya. “Yang memindahkan adalah Putra Mahkota, Raden Anggalarang. Kebetulan pada saat itu Raden Anggalarang menjadi menantu Adipati Pakuan, Susuktunggal. Raden Anggalarang menikah dengan Putri Sulung Adipati Susuktunggal, Dyah Ayu Ratna Sarkati. Dengan demikian, Adipati Pakuan Susuktunggal, adalah anak buah sekaligus juga besan Sang Raja Niskala Wastukancana. Sebelum mangkat, Sang Raja Niskala Wastukancana memberi amanat kepada Putra Mahkota, agar Pusat Kerajaan Galuh di Kawali dipindahkan ke Pakuan. Alasannya, Istana Kawali telah kehilangan daya gaibnya sebagai pusat kerajaan. Terjadinya Peristiwa Bubat dan juga lepasnya sejumlah wilayah Galuh Timur ke tangan Majapahit merupakan petunjuk bahwa Istana Kawali telah kehilangan daya gaibnya.”
ADVERTISEMENT
“Putra Mahkota Raden Anggalarang segera memindahkan Pusat Kerajaan Galuh di Kawali ke Pakuan setelah Sang Raja Niskala Wastukancana mangkat pada tahun 1355 Saka (1433 M). Raden Anggalarang dinobatkan sebagai raja menggantikan Ayahnya, dengan gelar Rahyang Dewa Niskala. Sejak itulah berdiri Kerajaan Pajajaran di Pakuan yang merupakan kelanjutan Kerajaan Galuh Kawali,” kata Adipati Kandhadaha.
“Jadi, alasan pemindahan Kerajaan Galuh ke Pakuan, lebih didasarkan pada pertimbangan mistik. Bukan pertimbangan yang lebih rasional?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“Di samping pertimbangan mistik, ada juga pertimbangan rasionalnya. Yaitu dalam rangka memperkuat kedudukan Pusat Kerajaan Galuh dari kemungkinan diserang Majapahit. Jika masih di Kawali, pusat kerajaan hanya dilindungi oleh dua benteng alam, yaitu Sungai Ciserayu dan Citanduy. Tetapi dengan memindahkan pusat kerajaan ke Pakuan, ada lima benteng alam yang akan melindungi dari serangan Majapahit. Lima benteng alam itu, adalah Sungai Ciserayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum, dan Sungai Ciliwung. Lima Sungai itu bagaikan lima Ksatria Pandawa dalam Mahabharata yang siap membentengi Pusat Kerajaan Pajajaran. Benteng alam Sungai Ciserayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum, dan benteng alam Sungai Ciliwung, diibaratkan bagaikan lima ksatria Pandawa, yaitu Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Puntadewa. Itu sebabnya berdirinya Kerajaan Pajajaran di Pakuan, ditandai dengan candra sangkala, Panca Pandawa Emban Bumi, yang berarti angka tahun 1355 Saka (1433 M). Tentu saja dibalik benteng alam itu terdapat kadipaten-kadipaten yang kuat. Di Lembah Ciserayu, Kadipaten Pasirluhur menjadi ujung tombak benteng alam untuk menahan ekspansi kerajaan di sebelah timur Ciserayu,” kata Adipati Kandhadaha dengan bangga saat menyebut peran Pasirluhur menjaga keutuhan wilayah paling timur Kerajaan Pajajaran.
ADVERTISEMENT
“Bisa Kanda jelaskan lebih lanjut, kenapa Sungai Ciserayu dilambangkan sebagai Bima? Citanduy sebagai Arjuna? Sungai Cimanuk, Citarum, dan Ciliwung sebagai Nakula, Sadewa, dan Puntadewa?”
“Kita memandangnya harus dari Pakuan Pajajaran sebagai titik pusat lingkaran, kemudian memandang ke timur, arah matahari terbit. Dari Pakuan, Sungai Ciserayu dan Citanduy merupakan dua lingkaran terluar benteng alam terhadap Istana Pakuan. Dalam Perang Bharatayudha, Bima adalah senapati pertama, dan Arjuna senapati kedua. Mudah disimpulkan, jika Sungai Ciserayu sebagai benteng alam terluar pertama terhadap Pakuan, dilambangkan sebagai tokoh Bima, dan Sungai Citanduy sebagai benteng alam terluar kedua, dilambangkan sebagai tokoh Arjuna. Sungai Ciserayu dan Citanduy juga sama-sama mengalir ke selatan. Dan akhirnya, tokoh yang memberi nama Sungai Ciserayu adalah Raja Kerajaan Galuh, Senna, yang juga dipuja sebagai tokoh Bima,” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“O, ya. Sekarang aku tahu. Sungai Cimanuk dan Citarum, disimbolkan sebagai tokoh Ksatria Nakula dan Sadewa. Kedua sungai itu bagaikan sungai kembar, sama-sama mengalir ke Laut Jawa di utara. Nama Cimanuk, ada persamaan bunyi dengan nama Nakula. Tetapi Citarum? Bagaimana hubunganya dengan nama Sadewa?” kembali Kanjeng Ayu Adipati bertanya.
“Wah, Diajeng semakin cerdas. Citarum berasal dari kata Tarum, tanaman sumber pewarna biru langit. Biru langit itu adalah simbol kahyangan, kerajaaan para dewa. Mudah untuk dimengerti jika Sungai Citarum disimbolkan dengan tokoh ksatria Pandawa, Sadewa. Bukan? Juga mudah dimengerti jika Sungai Ciliwung adalah simbol Puntadewa. Sebab Pakuan, tempat Istana Raja Pajajaran didirikan, terletak di tepi Sungai Ciliwung.”
“Apa arti emban dalam candra sangkala berdirinya Kerajaan Pajajaran di Pakuan, Panca Pandawa Emban Bumi?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
ADVERTISEMENT
“Emban itu memilki makna mistik, yaitu pengasuh atau pelindung. Jumlahnya tiga. Sebagai pengasuh, disimbolkan dengan tokoh punakawan dalam kisah wayang, yakni tokoh Semar, Petruk, dan Gareng. Tiga punakawan itu simbol dari rakyat yang harus dilindungi Sang Raja, juga simbol penasihat Sang Raja agar dalam menjalankan kekuasaannya tidak menyeleweng, korupsi, dan menyalah gunakan kekuasaaanya. Emban sebagai pelindung Kerajaan, juga dapat diartikan tiga dewa yang dipuja Kerajaan Pajajaran, yakni Syiwa, Brahma, dan Indra. Inilah yang membedakan Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran. Agama resmi Kerajaan Majapahit adalah Syiwa Budha. Sedangkan agama resmi Kerajaan Pajajaran adalah Hindu Syiwa, Brahma, dan Indra. Dewa Indra adalah Dewa Awan atau Dewa Hujan, dewa yang banyak dipuja para ksatria, petani, dan peladang Kerajaan Pajajaran. Binatang air angsa, adalah binatang kesayangan Dewa Indra. Karena itu para satria Kerajaan Galuh dan Pajajaran berpantang makan daging angsa. Dan para ksaaria Pajajaran, senang menggunakan kosa kata, Banyak, yang berarti binatang air angsa sebagai nama diri,” jawab Adipati Kandhadaha yang membuat Kanjeng Ayu Adipati merasa pengetahuannya bertambah luas.
ADVERTISEMENT
“Tetapi kenapa Raja Niskala Wastukancana juga mendapat nama pujaan sebagai Raja Siliwangi?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“O, Silihwangi artinya pengganti raja yang harum. Yang dimaksud raja yang harum pada mulanya adalah Sang Maharaja Linggabuana, Ayah Raja Niskala Wastukancana yang gugur di medan Bubat. Dia disebut raja yang harum, karena berhasil menjaga kehormatan, kemerdekaan, dan kedaulatan Kerajaan Galuh dari ancaman Gajah Mada. Sang Raja memilih berjuang melawan Gajah Mada, walaupun tahu dia akan kalah. Tetapi Kerajaan Galuh tidak pernah menyerah kepada ambisi politik Gajah Mada. Itulah sebabnya Raja Linggabuana di kalangan kawula Kerajaan Galuh mendapat julukan Raja Wanggi. Artinya raja yang harum namanya. Putranya yang naik tahta menggatikannya, mendapat gelar Silihwanggi, yang kemudian berubah menjadi Siliwangi,” kata Adipati Kandhadaha.
ADVERTISEMENT
“Memang tiga dasa warsa masa pemerintahan Raja Niskala Wastukancana tidak banyak mengalami kemajuan. Bahkan wilayah Galuh Timur banyak yang lepas jatuh ke tangan Majapahit. Sebabnya, adalah Raja Niskala Wastukancana dinobatkan sebagai raja dengan usia masih sangat muda, dan belum punya pengalaman mengendalikan pemerintahan. Dia naik tahta pada usia 21 tahun, masih pengantin baru, lalu Patih Bunisora yang cakap dan berpengalaman, mangkat. Kemampuannya mengendalikan pemerintahan baru tampak pada tiga dasa warsa berikutnya. Saat itu putranya yang sangat berbakat, Raden Anggalarang, Putra Mahkota, sudah menginjak masa remaja, dan diangkat sebagai pembantu setia dan tangan kanan Sang Raja,” kata Adipati Kandhadaha pula.
“Pada masa itulah,” lanjut Adipati Kandhadaha. “Raja Niskala Wastukancana mulai membangun jaringan jalan, angkutan sungai, saluran irigasi, membangun sejumlah pelabuhan di pantai utara Jawa bagian barat. Dia juga membangun sarana pendidikan berupa padepokan-padepokan yang berkualitas, mendorong petani menanam lada, pala, dan nila. Tiga tanaman itu adalah tiga komoditi yang laku di pasar dunia, dengan demikian Sang Raja Niskala Wastukancana telah menggiatkan perdagangan. Dia juga membangun angkatan perang yang kuat, dibawah kendali Putra Mahkota Raden Anggalarang. Untuk mengendalikan kota-kota kadipaten di sekitar Bandar Muarajati, salah satu bandar terbesar Kerajaan Galuh di pantai utara, Raja Niskala Wastukancana mengangkat adik-adik iparnya menjadi penguasa Bandar Muarajati dan kota-kota kadipaten pantai sekitarnya, seperti Japura dan Singapura. Untuk mengendalikan wilayah sebelah barat Citarum, Sang Raja menjalin kekerabatan dengan Adipati Pakuan, Susuktunggal, dengan menikahkan Putra Mahkota Raden Anggalarang dengan Putri Adipati Susuktunggal. Penemuan tambang emas di hulu Sungai Cisadane, terjadi pada masa Pemerintahan Sang Raja Niskala Wastukancana. Penemuan tambang emas itu, juga menjadi salah satu faktor pendorong untuk memindahkan pusat kerajaan dari Kawali ke Pakuan.”
ADVERTISEMENT
“Sekarang, siapa Raja Pakuan Pajaran, Kanda?”
“Sri Baduga Maharaja Jayadewata, Prabu Siliwangi-3. Waktu masih Putra Mahkota, namanya Raden Pamanah Rasa,” jawab Adipati Kandhadaha yang membuat Kanjeng Ayu Adipati semakin mengagumi pengetahuan suaminya.[06]
Malam yang dingin terus merambat dalam sepi. Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati, Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati, mengakhiri perbincangan di atas ranjang peraduannya dan melanjutkannya dengan permainan asmara yang indah dan mengasyikkan sampai menjelang fajar.[bersambung]