Novel Sejarah Banyumas : Sang Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka (07)

Konten dari Pengguna
23 Maret 2019 14:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Hadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Korban cinta tradisi...
Sementara itu pada malam yang sama, di kamar Sang Dewi, Khandegwilis duduk di atas tilam di bawah ranjang ndara putrinya. Sang Dewi tiduran di atas ranjang sambil memeluk guling. Tiba-tiba Sang Dewi bertanya kepada emban pengasuh kesayangannya itu. “Biyung Emban, haruskah seorang gadis menerima calon suami pilihan orang tuanya?”
ADVERTISEMENT
“Semua orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia, Ndara Putri,” jawab Khandegwilis.
“Tetapi, yang akan menjalani hidup berumahtangga bukan orang tua. Kenapa kebanyakan anak gadis tidak boleh ikut menentukan siapa yang akan menjadi calon suaminya?”
“Aduh, Ndara Putri, kalau soal itu Kanjeng Romo Adipati pasti bisa menjawabnya. Calon suami memang biasanya dipilih oleh orang tua. Anak gadis tinggal pasrah dan menyerah. Itulah adat dan tradisi yang berlaku di Kadipaten Pasirluhur, dan juga di kadipaten lain. Semua kakak Ndara Putri mengalami hal itu. Pada orang kebanyakan juga berlaku hal seperti itu. Jarang sekali ada gadis yang berani melawan adat. Pernah dengar kisah gadis Kutaliman yang terkenal itu, Ndara Putri?”
“Ayo Biyung Emban, ceriterakan padaku kisah Gadis Kutaliman itu,“ Sang Dewi berkata dari atas tempat tidurnya.
ADVERTISEMENT
“Baik, Ndara Putri. Tapi, janji jangan tidur, ya.“
Khandegwilis pun mulai berceritera. “Dahulu, ada seorang ksatria dari Kediri yang melarikan diri sebagai pengungsi ke arah barat, ketika Keraton Kediri jatuh akibat diserbu dan diduduki musuh dari Singasari. Setelah berhari-hari melarikan diri, akhirnya tibalah ksatria tadi di suatu desa di kaki Gunung Agung. Oleh penduduk setempat ksatria tadi diangkat sebagai kepala desa. Karena kecakapannya di dalam membangun desa, lama-lama desa itu berkembang menjadi sebuah kota kadipaten. Penduduk pun mengangkat ksatria tadi sebagai Adipati. Sang Adipati ini mempunyai kebiasaan unik. Dia mempunyai seekor gajah, kemanapun Sang Adipati pergi selalu naik gajah. Maka kota kadipaten tadi dikenal sebagai Kota Gajah atau Kutaliman. Kadipaten Kutaliman bisa berkembang menjadi kadipaten yang makmur karena Sang Adipati pandai memimpin rakyat dalam membangun daerahnya.”
ADVERTISEMENT
“Sang Adipati tadi punya anak gadis cantik jelita. Tentu saja banyak pemuda yang ingin melamarnya. Mereka berharap bisa menyunting gadis ayu tersebut dan menjadi menantu Sang Adipati. Namun, sayang sekali gadis ayu putri Sang Adipati tadi menolak semua lamaran para pemuda. Kanjeng Adipati pun heran sekali. Kenapa anak gadisnya yang cantik itu tidak mau menerima lamaran para pemuda? Tetapi akhirnya, Sang Adipati tahu. Maka murkalah Sang Adipati. Diusirnya gadis ayu tadi keluar dari Kadipaten. Ndara Putri?“ Khandegwilis berhenti, mengira ndara putrinya tidur.
“Biyung Emban, kenapa Sang Adipati mengusir putrinya? Ayo, teruskan,“ kata Sang Dewi.
“Baiklah, hamba teruskan, Ndara Putri,” ujar Khandegwilis melanjutkan ceriteranya.
“Gadis ayu putri Sang Adipati tadi ternyata telah menjalin asmara dengan pembantu Sang Adipati yang hanya bertugas sebagai perawat kuda milik Sang Adipati. Tentu saja mereka berdua diusir. Ya, seperti itulah kebanyakan nasib anak gadis yang melawan adat dan tradisi, tidak patuh pada orang tuanya. Akhirnya mereka berdua pergi ke arah utara Kutaliman, mendaki lereng bukit dan masuk hutan, membuka ladang dan membangun pondok di situ,” kata Khandegwilis sambil sekali-kali melirik Ndara Putrinya, takut ditinggal tidur.
ADVERTISEMENT
”Pada mulanya mereka berdua hidup sengsara dan menderita, lebih-lebih setelah lahir putri mereka yang juga cantik jelita. Bayi perempuan itu hanyalah anak dari seorang ayah yang hanya seorang pembantu, tetapi karena ibunya adalah seorang gadis cantik putri bangsawan, yang tentu saja bergelar raden, maka dia juga terlahir sangat cantik seperti ibunya. Sayang sekali, Putri Sang Adipati itu meninggal tak lama setelah melahirkan. Terpaksalah sang pembantu tadi seorang diri mengasuh dan membesarkan anaknya yang merupakan cucu Adipati Kutaliman.”
“Agar dapat menghidupi, membesarkan, dan mengasuh putrinya itu, sang pembantu tadi terpaksa bekerja keras membanting tulang, memeras keringat siang dan malam. Jerih payahnya tidak sia-sia. Hasil panen melimpah ruah, ladang yang dimilikinya semakin luas. Sang pembantu hidup makmur dan berkecukupan. Lebih-lebih setelah datang penduduk ikut berladang di situ, tempat itu berkembang menjadi sebuah desa yang makmur. Sang pembantu pun diangkat sebagai kepala desa. Untuk menghormati jasa pendiri desa, penduduk setempat memberi nama desa tadi Batur Raden, dari kata batur dan raden. Batur itu artinya sama dengan batir, yaitu teman. Sang pembantu tadi telah menjadi batir tidur Raden Ayu, atau menjadi suami Raden Ayu. Itulah kisah asal muasal nama desa Baturaden yang ada di utara Kadipaten Kutaliman, Ndara Putri. Menurut hamba, ceritera Gadis Kutaliman tadi mengandung pesan dan peringatan kepada masyarakat, bahwa dalam memilih jodoh itu, restu dan doa dari orang tua memang perlu. Janganlah melakukan perselingkuhan dalam urusan cinta,” emban Kandhegwilis mengakhiri ceriteranya.
ADVERTISEMENT
“Ndara Putri?” Khandegwilis memanggil Ndara Putrinya, tetapi yang dipanggil diam saja. “Wah, Ndara Putri sudah tidur, tidak bilang-bilang,” gerutu Khandegwilis. Dia segera merebahkan dirinya di atas tilam yang tergelar di bawah ranjang Sang Dewi, menyusul ke alam mimpi. Bagi Khandegwilis, alam mimpi merupakan alam untuk mewujudkan harapan dan keinginanya yang tidak mungkin diperolehnya di alam nyata.
*
Sementara itu, di Pakuan yang merupakan Pusat Kerajaan Pajajaran, pada suatu pagi yang murung, Sri Baduga Prabu Siliwangi, sedang memimpin pertemuan agung di Balairung. Para punggawa Kerajaan Pajajaran duduk dengan takzim di depan Sang Raja. Berderet duduk di tengah adalah Ki Patih didampingi para putra dan putri raja.
Sri Baduga Prabu Siliwangi memiliki tiga orang putra tampan dan seorang putri cantik jelita dari permaisuri pertama dan kedua. Dari permaisuri pertama lahir Banyak Catra dan Banyak Ngampar. Sedangkan dari permaisuri kedua, Dewi Kumudaningrum, lahirlah Banyak Belabur, dan putrinya Ratna Pamekas. Banyak Ngampar, putra kedua, tidak menghadap karena masih bertapa di sebuah gua di kaki Gunung Gede. Banyak Catra sendiri sudah hampir lima tahun tidak pernah bertemu dengan adiknya itu. Sejak Ibu mereka mangkat, Banyak Ngampar lebih senang menyingkir dari Keraton Pajajaran.
ADVERTISEMENT
Permaisuri Pertama Sri Baduga sudah pergi selama-lamanya, sehingga membuat Sri Baduga terus menerus murung tak berkesudahan. Dulu saat Permasuri Pertama masih hidup, setiap Sri Baduga menyelenggarakan sidang di Balairung, selalu menjadi pendamping setianya. Bahkan kadang-kadang memberi usul, saran, dan masukan jika Sri Baduga mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Sekarang, setelah ditinggal Permasuri Pertama, singgasana di samping Sri Baduga masih dibiarkannya kosong. Sri Baduga belum berkenan Permasuri Kedua menggantikannya. Masalah lain yang juga membuat kepala Sri Baduga dari hari ke hari semakin pusing adalah jika Sri Baduga memikirkan masa depan Kerajaan Pajajaran yang dengan susah payah telah dibangunnya melanjutkan perjuangan kakeknya, Niskala Wastukancana(1371 – 1433 M) dan ayahnya, Rahyang Dewa Niskala (1433 – 1482 M). Sri Baduga tersadar dari dukanya, ketika mendengar suara Banyak Catra, Putra Sulungnya.
ADVERTISEMENT
“Ananda Banyak Catra dan adik-adik menghaturkan sembah pada Ayahanda. Kami semua dalam keadaan baik, sehat, dan sejahtera, berkat doa restu dari Ayahanda,“ ujar Banyak Catra yang dari tadi duduk dengan sabar bersama kedua adiknya.
“Terima kasih, Putraku Banyak Catra. Kuterima baktimu bersama adik-adikmu. Syukur aku panjatkan japa pada para Dewa, semoga kamu dan adik-adikmu selalu sehat lahir dan batin. Selamat lahirmu dan selamat batinmu,” kata Sri Baduga dengan suara lirih nyaris berbisik.
“Banyak Catra,” lanjut Sri Baduga dengan nada putus asa, “Kamu adalah putra sulung yang aku harapkan bisa menjadi penggantiku kelak. Tetapi mengapa kamu belum juga punya istri? Alih-alih cari istri, tunangan pun kamu belum punya. Lebih-lebih adikmu Banyak Ngampar. Dia malah lebih suka bertapa dan mendalami ilmu agama dari pada memikirkan kehidupan berumahtangga. Hanya adikmu Banyak Belabur yang sudah punya beberapa pilihan calon istri. Tetapi Banyak Belabur, hanya calon putra mahkota ketiga.”
ADVERTISEMENT
“Banyak Catra!” kata Sri Baduga, kali ini dengan nada agak keras sehingga terdengar jelas oleh semua yang hadir. Aku ingin mendengar dalam pertemuan agung ini, kapan kamu akan berumahtangga? Syarat untuk menobatkan kamu jadi putra mahkota calon penggantiku, adalah kamu harus secepatnya menyunting seorang gadis jadi istrimu. Carilah gadis di seluruh wilayah Pajajaran. Bukankah di wilayah Pajajaran banyak gadis cantik yang bisa menjadi pendamping hidupmu?”
“Ayahanda, ampunilah ananda,” kata Banyak Catra. “Benar Ayahanda, di Pajajaran banyak gadis cantik. Tetapi Ayahanda, ananda masih terus mencari. Tetapi mohon ampun Ayahanda, gadis calon istri yang ananda cari belum ananda temukan. Mungkin Hyang Widhi masih menyembunyikan calon istri ananda. Karenanya, ananda mohon ampun.”
“Alangkah bodohnya kamu, Banyak Catra. Ksatria Pajajaran kebanggaan aku dan Ibumu almarhum, tidak bisa cari istri gadis cantik?” tanya Sri Baduga heran. “Lalu, gadis seperti apakah yang kamu rindukan?”
ADVERTISEMENT
”Bagiku sangat mustahil ada gadis yang menolak lamaranmu,” lanjut Sri Baduga, “Kamu bukan hanya tampan dan cakap, tubuhmu pun kekar. Kamu pandai, cekatan, tangkas, menguasai berbagai ilmu, baik ilmu pemerintahan, kepemimpinan, ketangkasan berperang, kanuragan, juga ilmu kekebalan. Sesungguhnya kamu adalah citra ideal Ksatria Pajajaran, suri tauladan adik-adikmu dan para pemuda Pajajaran lainnya. Aku tahu kamu bukan hanya pandai menggunakan tombak, pedang, dan panah. Tetapi, kamu juga ahli memainkan senjata kujang, senjata khas Pajajaran. Kamu pun pintar menunggang kuda melebihi kepintaranku. Karena itu Ayahamu ini heran, kenapa kamu belum juga punya gadis calon istri?”
“Ayahanda, ananda mohon ampun beribu-ribu ampun,” kata Banyak Catra setelah diam agak lama. “Kerajaan Pajajaran yang makmur, aman, dan sejahtera ini tidak kekurangan gadis cantik. Ananda sudah berkelana dari kadipaten ke kadipaten di seluruh wilayah Pajajaran, khususnya wilayah sisi barat Cisadane, sisi barat Ciliwung, sisi timur Citarum sampai Cimanuk, bahkan sampai sisi barat Citanduy. Tetapi, gadis idaman ananda belum juga ananda temukan.”
ADVERTISEMENT
“Gadis cantik seperti apa yang kamu cari, Putraku?”
“Ampun, Ayahanda. Gadis yang ananda cari, adalah gadis cantik yang wajahnya mirip Ibunda.”
“O, jagad Batara! Tentu saja kamu akan kesulitan mencari gadis seperti itu. Mendiang Ibumu memang wanita cantik jelita. Tetapi Ibumu bukan terlahir sebagai gadis kembar. Akan sia-sia saja pencarianmu jika yang kamu harapkan gadis mirip Ibumu. Banyak Catra, pikirkanlah baik-baik, gunakan kecerdasanmu. Jika semua pemuda punya cita-cita seperti kamu, pasti akan banyak pemuda kesulitan mendapatkan istri. Kamu harus buang jauh-jauh keinginan seperti itu, Banyak Catra!” Sri Baduga diam sejenak. Lalu terdengar suaranya yang dalam, jelas, dan berwibawa, bagaikan suara seorang wiku.
“Leluhur kita di Tanah Pasundan, pada jaman dahulu sudah memberikan petunjuk bagaimana ciri-ciri wanita yang baik untuk dijadikan calon istri. Tidak ada petuah leluhurmu yang mengajarkan bahwa istri sejati ialah wanita yang wajahnya mirip Ibu Sang Ksatria. Wanita sejati idaman setiap ksatria di Tatar Sunda ialah wanita yang memiliki sejumlah watak yang dilukiskan dalam ungkapan sederhana,yakni sebagai batur sasumur, batur sadapur, batur sakasur, dan batur salembur. Artinya, seorang wanita calon istri harus memiliki kecakapan membantu suami mengatur segala urusan yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga akan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Apakah kamu pernah dengar, Banyak Ctra?” tanya Sri Baduga.
ADVERTISEMENT
“Hanya dari Ayahanda, ananda akan tercerahkan oleh petunjuk leluhur kita di Tanah Pasunda,” jawab Banyak Catra, siap menerima wejangan dari ayahandanya.
“Baiklah, dengarkan baik-baik. Pertama, yang dimaksud dengan batur sasumur. Sumur itu tempat para wanita mengambil air untuk mandi. Karena itu seorang wanita calon istri itu harus rajin mandi dan pandai merawat dirinya agar selalu elok dipandang. Seorang Istri yang pandai merawat dirinya akan selalu bisa menjaga tubuhnya, sehingga ia akan selalu tampil cantik, menyegarkan bila dipandang, membuat suami selalu ingin berdekatan dengannya. Sumur juga tempat wanita mencuci pakaian. Artinya istri sejati itu, bukan hanya harus pandai mengurus sandang, atau pakaiannya sendiri. Tetapi juga bisa mengurus pakaian suami dan seluruh anggota keluarga. Sumur juga simbol sumber ilmu. Karena itu istri sejati harus bersama-sama suami meningkatkan ilmu dan kecerdasannya masing-masing. Itulah makna yang disebut leluhur kita sebagai batur sasumur. Batur di sini artinya adalah teman. Teman dekat, teman sehidup semati, atau teman dalam membangun rumah tangga.”
ADVERTISEMENT
“Kedua, yang dimaksud dengan batur sadapur. Dapur adalah tempat memasak. Seorang istri sejati itu, harus pandai masak. Semua suami pasti senang bila istrinya pandai masak. Janganlah kamu pilih gadis calon istri yang tidak bisa memasak. Itulah yang disebut dengan batur sadapur. Dapur adalah tempat seorang istri membuat dan mengolah aneka macam masakan untuk kebutuhan seluruh anggota rumah tangga.”
“Ketiga, yang dimaksud dengan batur sakasur. Maksunya adalah seorang istri harus bisa membahagiakan suami di atas peraduan. Seorang istri yang pandai bercinta dan bermain asmara akan membuat suami betah tinggal di rumah. Seorang istri sejati juga harus bisa memberikan keturunan. Tentu akan mengurangi kebahagiaan suatu rumah tangga, apabila seorang istri tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya. Di samping itu, kasur juga bukan hanya simbol dari tempat tidur, tapi juga simbol dari rumah tempat tinggal setiap keluarga. Karena seorang istri sejati juga harus pandai mengatur dan menjaga kebersihan rumah tangganya. Tempat tidur yang baik adalah yang terbuat dari papan. Demikian rumah yang baik dan kuat. Karena itu pengertian batur sakasur juga dimaknai kemampuan seorang istri menggunakan sebagian penghasilan suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan papan. ”
ADVERTISEMENT
“Keempat, yang dimaksud dengan batur salembur. Maknanya adalah seorang istri sejati itu harus pandai mengasuh anaknya, yaitu memberikan pendidikan dan tuntunan, terutama tuntunan berkaitan dengan budi pekerti dan akhlak. Termasuk dalam cara mengasuh anak adalah merawat bayi sejak lahir dengan memberikan air susu yang cukup kepada anaknya. Istri yang tidak mau menyusui bayinya sendiri jelas bukan seorang istri yang baik. Akhirnya seorang istri juga harus bisa mendidik anak agar bisa hidup di tengah-tengah masyarakatnya, ikut menjaga dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang berlaku pada masyarakat di sekitarnya. Lembur artinya desa. Tetapi sebagai simbol, batur salembur dapat dimaknai kemampuan seorang istri sejati memberikan pendidikan yang baik sehingga lahirlah para ksatria yang berguna bagi masyarakat dan lingkunangannya.”[bersambung]
ADVERTISEMENT