Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lipstick Effect dan Ilusi Daya Beli Kelas Menengah
4 November 2024 13:35 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Muhammad Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di masa ekonomi sulit dan pelemahan daya beli, masyarakat tetap “membakar duit” untuk membeli beberapa barang yang tidak sepenuhnya diperlukan dan bersifat tersier, seperti tiket konser, handphone, hingga pakaian bermerek.
ADVERTISEMENT
Dengan membeli barang ini, memungkinkan mereka merasa normal dan senang ketimbang benar-benar menghentikan keinginan untuk membeli barang tersebut.
Fenomena yang belakangan terjadi di Indonesia ini, disebut sebagai Lipstick Effect. Fenomena Lipstick Effect adalah refleksi dari bagaimana masyarakat beradaptasi dalam menghadapi tekanan ekonomi. Masyarakat dalam hal ini, cenderung mengubah cara mereka dalam mengonsumsi.
Fenomena ini terjadi saat konsumen mengalihkan pola belanja dari barang-barang mewah atau mahal ke barang-barang yang lebih terjangkau. Akan tetapi, ini tetap memberi kepuasan, terutama dalam situasi ekonomi yang sulit.
Mereka beralih pada barang-barang yang lebih terjangkau, tetapi memberikan kepuasan tersendiri, semacam penghiburan kecil di tengah ketidakpastian.
Sejatinya ini bukan hanya sekadar soal konsumsi barang 'sedikit mewah' yang lebih murah. Tetapi lebih dalam, mencerminkan upaya bertahan dan mencari secercah harapan di masa-masa sulit.
ADVERTISEMENT
Masyarakat seolah ingin menunjukkan bahwa, jika tidak bisa memiliki barang dengan kemewahan besar, setidaknya mereka bisa merasakan kebahagiaan dari barang-barang sedikit mewah.
Bahaya Mengintai di Balik Fenomena Lipstick Effect
Namun, di balik fenomena Lipstick Effect, ada sejumlah risiko yang dapat mengancam stabilitas ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Pertama, munculnya ilusi daya beli yang stabil yang dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah.
Ketika masyarakat merasa pola belanja mereka masih baik-baik saja, kenyataannya daya beli riil mereka telah menurun. Pengeluaran pada barang-barang kecil yang dianggap 'mewah' ini, pada akhirnya memberi kesan bahwa kondisi ekonomi mereka tetap stabil, padahal sebenarnya standar hidup mereka perlahan-lahan tergerus.
Kedua, fenomena ini sering kali memicu konsumsi pada barang-barang non-produktif yang tidak berkontribusi terhadap peningkatan aset atau kesejahteraan jangka panjang. Pembelian barang-barang kecil yang tidak menghasilkan nilai tambah bagi kehidupan finansial bisa memperburuk kondisi ekonomi rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Saat dana yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal produktif habis untuk barang-barang yang hanya memberi kepuasan sementara, kemampuan keluarga untuk berinvestasi atau menabung semakin tergerus.
Dorongan untuk terus merasa mampu berbelanja dalam kondisi ekonomi yang sulit juga dapat menyebabkan peningkatan utang konsumtif. Ketika masyarakat ingin mempertahankan gaya hidup atau sekadar mendapatkan kepuasan sesaat, mereka mungkin tergoda untuk mengambil utang demi membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mendesak.
Hal ini berpotensi menjebak masyarakat dalam siklus utang yang semakin memperburuk stabilitas keuangan mereka.[]
Live Update