Bisikan Sang Patih Pramono Anung: Mitos Kediri dan Kuasa Jokowi

Konten dari Pengguna
17 Februari 2020 11:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi dan Pramono Anung. Sumber Foto: Instagram
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi dan Pramono Anung. Sumber Foto: Instagram
ADVERTISEMENT
Pramono Anung akhirnya melarang Presiden Jokowi berkunjung ke Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Alasannya Kediri terlalu angker (wingit) didatangi para kepala negara karena mitos yang dipercayai bisa mengakibatkan hilangnya kekuasaan pemimpin akibat lengser dan atau dilengserkan.
ADVERTISEMENT
Seperti: Presiden Soekarno dan Presiden Gusdur yang lengser dari jabatan presiden tak lama setelah mengunjungi Kediri.
Pramono Anung adalah Sekretaris Kabinet (SesKab) Jokowi saat ini. Di masa lampau jabatan SesKab kurang lebih mirip posisi Patih di Era Kerajaan Nusantara. Orang yang melekat dengan kepala negara, pembisik dan memberikan pandangan terkait pemerintahan.
Artinya posisi Pramono Anung mirip dengan jabatan yang pernah diemban Patih Gajah Mada terhadap Raja Hayam Huruk di masa Kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar dalam sejarah nusantara. Beda kewenangannya, kira-kira terletak pada kewenangan perang, Gajah Mada adalah panglima perang Majapahit.
Sayangnya Pramono Anung bukan berlatar belakang militer, layaknya SesKab sebelumnya Sudi Silalahi. Jika tidak, sudah barang tentu ia punya kemahiran dalam perang.
ADVERTISEMENT
Pramono Anung lahir di Kediri, Sementara pada pelbagai catatan sejarah dituliskan Gajah Mada lahir di Lamongan.
Lah bagaimana hubungannya? Tidak ada. Hanya titik penyambung patahan sejarah saja dalam memahami psikologi politik Pramono Anung yang melekat dengan identitasnya.
Secara historis, Kediri dan Lamongan adalah negeri bawahan Kerajaan Majapahit. Pun baik Bupati Kediri dan Bupati Lamongan pernah memiliki rencana kudeta terhadap kerajaan induknya yaitu Majapahit.
Caranya dengan membangun koalisi melalui perjodohan, antara putra kembar bupati Lamongan dengan putri kembar bupati Kediri. Tujuannya adalah membangun ikatan emosi dan kekeluargaan antara pantai selatan dan pantai utara dalam rangka mengepung Kerajaan Induk Majapahit.
Kediri di pesisir Selatan sementara Lamongan di pesisir utara. Perjodohan tersebut akhirnya gagal karena pihak Bupati Lamongan membatalkan pernikahan akibat satu alasan yang membuat amuk pihak Kediri.
ADVERTISEMENT
Hingga muncul mitos, orang Kediri dan orang Lamongan tidak boleh (dilarang) menikah. Pun mitos itu dipercaya banyak orang Kediri maupun Lamongan hingga saat ini.
----
Soal percobaan kudeta juga pernah dihadapi oleh Gajah Mada saat melindungi Kerajaan Majapahit dari pemberontakan Ra Kuti.
Dikisahkan, Ra Kuti merupakan bagian dari Kelompok Dharmaputra (orang istana) yang dibentuk oleh Raja Majapahit Pertama Raden Wijaya, yang beranggotakan tujuh orang. Ra Kuti melakukan pemberontakan dan membelot dari sumpah jabatannya sebagai Dharmaputra di raja kedua Majapahit, Raja Jayanagara.
Pun keberhasilan dalam menumpas gerakan dari Ra Kuti ini menjadi titik balik melejitnya karier Patih Gajah Mada di lingkaran Kerajaan Sriwijaya.
----
Pada peristiwa lainnya, di masa kerajaan Singasari (Kerajaan Tumapel) pernah mencatatkan peristiwa kudeta yang dilakukan oleh Ken Arok terhadap Tunggul Ametung hingga mengambil dan menikahi istrinya Ken Dedes.
ADVERTISEMENT
Sejarahnya, Kerajaan Singasari adalah salah satu bagian dari Kerajaan Kediri. Singasari (Tumapel) setara dengan wilayah kecamatan sementara Kediri adalah wilayah kabupatennya. Kerajaan Singasari dipimpin oleh Akuwu (setara camat) yang saat itu dijabat oleh Tunggul Ametung dengan istri cantiknya Ken Dedes.
Waktu itu, ada mitos bahwa siapapun yang menikahi Ken Dedes akan menjadi orang besar. Sampai pada satu titik, Ken Arok memesan keris dari seorang pandai besi bernama Mpu Gandring. Pun melalui keris ini pula Ken Arok membunuh Tunggul Ametung yang merupakan atasannya sendiri.
----
Sampai disini kita menyadari satu fakta sejarah kudeta sejak era kerajaan nusantara. Ada beberapa patahan-patahan sejarah yang menyebutkan bahwa sejarah Kediri identik dengan kudeta.
ADVERTISEMENT
Artinya sebagai orang yang lahir dan besar di Kediri, Pramono Anung percaya bahwa tanah kelahirannya itu adalah wilayah yang angker (keramat) soal pemegang kekuasaan.
Tidak mengherankan, Jokowi akhirnya percaya pada Pramono Anung. Apalagi Pramono Anung mentautkannya dengan hikayat kutukan Kartikea Singha, suami Ratu Shima yang pernah menjadi penguasa di masa Kerajaan Kalingga di abad ke-6 di Kelung Kepung Kediri.
Kutukan itu berisi: "Siapa kepala negara yang tidak suci masuk wilayah Kediri maka dia akan jatuh"
Mitos itu diperparah dengan narasi kepala negara yang melewati batas wilayah Kediri-Jenggala yaitu Sungai Brantas, maka dipercaya akan kehilangan pamor dan kekuasaannya.
Sebagai sesama orang Jawa, Jokowi tentu percaya ucapan sang patih Pramono Anung. Sebabnya, sejak masih menjadi Walikota, Gubernur hingga Presiden, Jokowi kerap mengamalkan falsafah Jawa dalam kehidupan pribadi dan politiknya.
ADVERTISEMENT
Konsistensi Jokowi memanifestasikan filosofi Jawa pernah diungkapkannya sendiri dalam satu momen wawancara melalui 3 (tiga) falsafah, yaitu :
Pertama, Lamun Siro Sekti Ojo Mateni-- Meskipun kamu sakti meskipun kamu kuat jangan suka menjatuhkan.
Kedua, Lamun Siro banter, Ojo Ndhisiki--Meskipun Kamu Cepat Jangan Suka Mendahulu."
Ketiga, Lamun Siro Pinter, Ojo Minteri--- Meskipun Kamu Pandai Jangan Sok Pintar.
Membaca seluruh narasi itu, Pramono Anung memahami Jokowi seutuhnya. Kita pun akhirnya menyadari dibalik sosok Jokowi yang kita kenal sangat pemberani, Ia memiliki satu rasa takut yang tidak bisa disembunyikannya: Jokowi Takut Kehilangan Kekuasaannya.
Seperti Patih Gajah Mada yang memimpin perang untuk melindungi rajanya, Kini Patih Pramono Anung siap memimpin perang kebatinan, melindungi Jokowi kehilangan kekuasaannya.
Presiden Joko Widodo. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
ADVERTISEMENT