Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kekacauan Komunikasi Istana
5 April 2020 11:49 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ibarat orkestra, irama musik Istana sedang mengalami kekacauan. Sang dirigen presiden Jokowi seperti kewalahan terhadap irama paduan suara yang dipimpinnya, membuat musik yang keluar tidak lagi merdu. Rancu.
ADVERTISEMENT
Saling bantah komentar menteri di media menunjukkan suasana Istana yang penuh kekalutan. Mensesneg Pratikno merevisi ucapan Jubir Presiden Fadjroel Rachman soal mudik, Menkopolhukam Mahfud MD yang mengklarifikasi ucapan Menkumham Yasonna Laoly soal napi koruptor.
Hingga ancaman Jubir Luhut Binsar Pandjaitan di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi terhadap kritik keras Said Didu pada sebuah kanal youtube.
Padahal di suasana menghadapi pandemi seperti ini segala kekacauan di lingkaran kekuasaan adalah sesuatu yang harus dihindari, jika perlu dijauhi agar tidak menimbulkan masalah baru.
Pun disaat krisis seperti ini, setiap pejabat publik tidak perlu memperlihatkan kekalutannya dan anti terhadap kritik. Sebab, kritik adalah konsekuensi paling awal ketika seseorang mengemban jabatan menjadi pejabat publik.
ADVERTISEMENT
Soal Menteri Yasonna yang ucapannya baru saja diralat istana, ada beberapa asumsi penting yang menjadi catatan : --asumsi pertama, Jokowi tidak mampu mengendalikan pergerakan menterinya. Kedua, Menteri Yasonna punya visi misi yang berbeda dengan presiden soal napi koruptor. Ketiga, apa yang ingin diputuskan oleh Yasonna sudah atas kehendak presiden, sebab tempo lalu presiden menegaskan tidak ada visi misi menteri, yang ada visi misi presiden.
Soal siapa yang benar, atas asumsi ini, hanya Presiden dan jajaran kabinet yang tahu.
Tapi sekali lagi, ini persoalan komunikasi publik di Istana. Siapa yang mulai memukul gendang, siapa yang menggesek biola, siapa yang memetik gitar dan siapa yang memainkan piano, barang tentu haruslah menunggu aba-aba dan isyarat sang konduktor yaitu Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Alasannya, masih banyak persoalan yang lebih urgen dibanding sekadar saling bantah di media.
Lihat pula komunikasi Jubir Penanganan Corona Indonesia, Ahmad Yurianto yang hingga hari ini komunikasinya masih normatif dan terbilang sangat buruk.
Alih-alih menenangkan masyarakat atas situasi pandemi ini, Ahmad Yurianto lebih mirip jubir sebuah negara dalam mengumumkan berapa jumlah medali emas, perak dan perunggu pada pagelaran Olimpiade, Sea Games dan sejenisnya.
Pun sebagai jubir penanganan bencana, harusnya Jubir Yuri mengumumkan setiap hari soal kesiapan APD, rumah sakit, obat-obatan dan kesiapan pemerintah pusat secara sosial ekonomi dalam menangani pandemi ini.
Jauh dari sekadar himbauan yang terus menerus diucapkan, harusnya pula Presiden Jokowi mengambil sikap tegas dengan melarang atau menertibkan masyarakat, serta menyanggupi semua hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar ketika sebuah kebijakan diambil.
ADVERTISEMENT
Kita berharap, sesegera mungkin kendali orkestra diambil alih oleh Jokowi tanpa tedeng aling-aling. Karena mayoritas rakyat Indonesia memilihnya untuk memutuskan kebijakan bukan sekadar menghimbau masyarakat.
Pun sama seperti hari-hari yang lalu, hingga hari ini saya masih percaya Jokowi mampu memimpin perang melawan COVID-19. Syarat utamanya tentu saja, memulainya dari perbaikan komunikasi dari lingkaran istana.