Riview Film The Divine Ponytail : Perjalanan Spiritual Roberto Baggio

Konten dari Pengguna
16 April 2022 20:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto. Netflix
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto. Netflix
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Film biografi pesepakbola legendaris Italia bernama Roberto Baggio yang berjudul "Il Divin Conido" (bahasa Italia) atau "The Divine Ponytail" (Bahasa Inggris) atau "Kuncir Kuda Ilahi" (Bahasa Indonesia) garapan sutradara Letizia Lamartire yang tayang pada tahun 2021 lalu tentu adalah salah satu film yang menurut saya wajib ditonton seluruh pecinta sepakbola di dunia
ADVERTISEMENT
Dengan durasi 93 menit, film ini membawa kita memasuki perjalanan spiritual, perjuangan dan kebangkitan Roberto Baggio yang berkarir selama 22 tahun. Ia pernah berada pada lembah hitam, tapi pernah pula berada di bukit hijau tertinggi.
Roberto Baggio adalah bakat alami yang lahir dari keluarga sederhana. Ia anak ke-6 dari 8 bersaudara dari seorang ayah yang dulunya adalah olahragawan sepeda yang memilih pensiun muda lalu menjadi seorang petani.
Ayahnya adalah pengemar berat Timnas Italia yang sangat terluka menyaksikan kekalahan Italia yang dicukur 1-4 Brazil pada Final Piala Dunia 1970.
Umur Baggio waktu itu 3 tahun. Ayahnya bercerita bahwa Baggio kecil mengatakan padanya dimasa depan ia berjanji akan membawa Piala Dunia ke Italia dengan mengalahkan Brazil untuk membalas kekalahan Italia di Final Piala Dunia 1970. Ayahnya menjadikan itu Mitos bagi Baggio.
ADVERTISEMENT
Karena bakatnya yang luar biasa hebat, Baggio dikotrak Tim Serie C Italia Vicenza diumur 15 tahun. 2 tahun sesudahnya ia kemudian mendapatkan kontrak dengan bayaran tertinggi di Seri C kala usianya menginjak 17 tahun.
Pada tahun 1985, Baggio dikontak oleh Klub Serie A Italia Fiorentina. Baggio memutuskan bersedia ditransfer dari Vicenza ke Fiorentina. Namun, pada pertandingan terakhirnya bersama Vicenza, Baggio cedera.
Cedera itu memukul amat keras mental Baggio. Ayahnya bilang bahwa Baggio harus memenangkan Piala Dunia sebagaimana janjinya. Namun, saat mendapatkan 220 jahitan dikakinya, dokter ragu kapan Baggio bisa bermain bola lagi.
Pada proses penyembuhan, Baggio bertemu dengan tukang kaset di toko musik. Baggio curhat pada laki-laki yang baru dikenalnya itu. Laki-laki itu memberikan padanya kaset yang isinya tentang ketenangan menjadi seorang penganut agama Buddha. Baggio akhirnya memutuskan pindah agama dari Katolik ke Buddha karena ia merasa menjadi sosok yang lebih baik secara mental dan spiritual.
ADVERTISEMENT
Di Fiorentina, ia bermain sebagai second striker, mirip posisi Maradona di Napoli dan Timnas Argentina atau Del Piero di Juventus dan Timnas Italia. Ia mencetak 55 gol dalam 136 pertandingan bersama Fiorentina. Hingga tim raksasa Italia, Juventus tidak tahan untuk menggodanya.
Baggio kemudian pindah dari Fiorentina ke Juventus tahun 1990. Di Juventus ia berhasil mencetak banyak gol serta meraih banyak gelar kolektif maupun individu.
Termasuk meraih Ballon D Or tahun 1993. Ini pula yang membawanya bersama Italia berangkat ke Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Waktu itu Italia dilatih oleh Arrigo Sacchi yang mendapat kesuksesan bersama Ac Milan di kompetisi Eropa.
Akan tetapi semua tidak berjalan mudah bagi Baggio karena hubungannya dengan Sacchi kurang akur. Stategi Sacchi yang mengedepankan permainan tim dengan umpan pendek sekali sentuhan membuat Baggio frustasi. Alasannya Baggio tipe penyerang kreatif yang suka memainkan bola sementara Sacchi ingin Baggio jangan terlalu lama memainkan bola.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, hubungan kurang harmonis antara Baggio dan Sacchi bisa diatasi dengan keberhasilan Baggio mencetak gol-gol penting di turnamen. Baggio mencetak 5 gol. Pun Baggio membawa Italia ke final Piala Dunia 1994. Waktu itu lawan yang akan dihadapi di Final adalah Brazil.
Bagi Baggio ini seperti takdir, bahwa pertemuan dengan Brazil akan membalaskan semua kesedihan ayahnya di Final Piala Dunia 1970.
Tibalah waktunya, final Piala Dunia 1994 antara Italia vs Brazil. Pada waktu 90 menit skor 0-0, kemudian memasuki perpanjangan waktu 2 kali 15 menit skor tidak berubah sampai dilanjutkan dibabak adu penalti.
Baggio adalan penendang ke-5. Skor waktu itu 3-4 untuk Italia dan Brazil. Jika Baggio berhasil memasukan bola ke gawang maka skor masih akan imbang dalam adu penalti. Namun, sayang tendangan Baggio terbang jauh diatas mistar gawang. Italia kalah melawan Brazil di Final Piala Dunia 1994. Brazil Juara.
ADVERTISEMENT
Selepas kegagalannya mencetak gol penalti di Final Piala Dunia 1994 itu. Hidup Baggio menjadi tidak tenang. Hidupnya terus dihantui kegagalan. Ia merasa dirinya adalah seorang pendosa. Setiap waktu ia selalu memikirkan tendangannya itu karena menurutnya ia tidak pernah menendang bola terlalu jauh dari tiang gawang.
Karirnya meredup. Juventus kemudian menjualnya ke Ac Milan. Di klub Ac Milan, ia hanya bertahan 2 tahun sebelum dipinjamkan ke Bologna kemudian dijual ke Inter Milan. Di Inter Milan, ia kalah bersaing dengan penyerang Brazil Ronaldo da Lima. Hingga di musim panas tahun 2000, ia tidak memiliki klub karena tidak ada yang mau mengontraknya.
Tawaran sempat datang dari Klub Jepang, akan tetapi ia masih mempertimbangkannya. Ia lalu menemui guru spiritualnya soal kemungkinan dirinya melanjutkan karir di Jepang akan tetapi ia memutuskan untuk tetap bermain di Italia.
ADVERTISEMENT
Agennya kemudian mencarikan Baggio klub dan hanya Brescia klub seria A Italia yang bersedia mempekerjakannya. Mimpinya soal Jepang juga masih terus terawat. Akan tetapi untuk Piala Dunia karena pada tahun 2002, Tuan Rumah Piala Dunia adalah Korea-Jepang.
Di Brescia, Penampilan Baggio membaik. Ia seperti menemukan jati dirinya kembali. Ia kemudian berhasil mencetak banyak gol dan umpan. Ia mengangkat Brescia dari posisi degradari ke posisi klasemen yang bermain di UEFA.
Karena permainannya ini, Baggio kemudian menemui Pelatih Italia, Giovanni Trapattoni untuk kemungkinan menjadi bagian dari Timnas Italia di Piala Dunia Korea-Jepang 2002. Trapattoni setuju asalkan Baggio bugar dan fit.
Tibalah Trapattoni mengumumkan skuad Italia untuk Piala Dunia 2002. Tidak ada nama Roberto Baggio, namanya kalah dari nama-nama pemain muda yang bersinar di Serie A yaitu Del Piero, Inzaghi, Montella, Delvecchio, Vieri dan Totti.
ADVERTISEMENT
Baggio semakin frustasi akan putusan Trapattoni yang tidak memanggilnya. Ayahnya kemudian menemui Baggio karena kegagalan masuk skuad Italia.
Artinya Ayah Baggio hanya menciptakan mitos, agar anaknya memiliki tujuan hidup dan membalas semua kesedihannya atas kekalahan Italia di Piala Dunia 1970.
Ucapan dari ayahnya tersebut kemudian mengurangi beban dipunggung Baggio. Tekanan dalam dhidupnya semakin berkurang.
Baggio masih bermain 2 tahun kemudian untuk Brescia dan memutuskan pensiun di tahun 2004.
Menjelang EURO 2004, Federasi Sepakbola Italia FIGC membuat laga perpisahan dirinya dengan menggelar pertandingan persahabatan antara Italia dan Spanyol sebelum pensiun.
ADVERTISEMENT
Baggio bermain 87 menit sebelum digantikan Fabrizio Miccoli. Baggio mendapatkan banyak tepuk tangan dan terima kasih dipertandingan yang berkesudahan 1-1 itu. Seisi stadion tak henti-henti mengumandangkan namanya.
Kegagalan penalti di Final Piala Dunia 1994 memang membuat Baggio merasa dirinya adalah seorang pendosa, tapi Baggio adalah pendosa yang dicintai rakyat Italia.
Legenda...