Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Satu Dekade Berkarya : Idealisme dan Sastra Perlawanan Okky Madasari
11 April 2020 20:19 WIB
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalimat itu berulang kali saya dengar langsung, dari novelis dan esais Okky Madasari pada pelbagai kesempatan. Padahal dengan segala popularitas dan kemampuannya, Okky bisa saja dengan mudah bergabung dengan satu kekuatan politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mempromosikan satu politisi atau partai politik tertentu lewat tulisan-tulisannya. Tapi Okky tidak melakukannya. Justru belakangan ia mengikuti sebuah program beasiswa.
Memilih melanjutkan sekolah dan kini menjadi mahasiswa doktoral (S3) di National University of Singapore (NUS) Singapura.
Perkenalan saya dengan karya-karya Okky Madasari jauh sebelum saya mengenal pribadinya. Lewat novel “Pasung Jiwa” saya mulai memahami isi kepalanya, yang ia tuangkan secara berani lewat aliran sastra realis.
Ia menelusuri kisah hidup orang-orang yang terjebak dalam diri mereka sendiri dan, atau mereka yang mengalami diskriminasi agama, gender dan kemiskinan.
Okky adalah sedikit dari sastra wangi (penulis sastra perempuan) yang berani berdiri tegak, diantara ketegangan dan konflik yang hari-hari ini sering mentautkan isu agama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keberpihakan Okky pada kelompok masyarakat marjinal menjadi sesuatu yang melekat dalam diri dan karya-karyanya dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir.
Selama itu pula, Ia telah menjembatani banyak sikap dan pemikiran banyak orang yang tidak mampu tersampaikan karena keterbatasan aksebilitas. Ia mewakili banyak suara-suara yang hilang.
Okky memulainya dalam novel “Entrok” yang diterbitkannya tahun 2010. Di novel pertamanya itu, narasi tidak populer tentang masyarakat penghayat kepercayaan Jawa ia tuliskan secara berani. Okky mendeskripsikan bagaimana persoalan yang dialami tokoh perempuan bernama Marni ditengah partrialki yang kerap menempatkan posisi perempuan dibawah laki-laki dalam kelas sosial masyarakat.
Di novel tersebut pula, Okky mendobrak struktur sosial tentang bagaimana posisi perempuan yang dianggap lemah dan kerap tersisihkan dalam kepentingan sosial masyarakat.
Kemudian, di novel keduanya tahun 2011 berjudul “86”, Okky berkisah tentang betapa kacaunya hukum di Indonesia. Berbekal pengalamannya sebagai seorang wartawan salah satu media, Okky mengabstraksikan uang dan istilah “86” dalam penyelesaian banyak kasus hukum di Indonesia melalui dari kasak-kusuk banyak terdakwa, pengacara, hakim, dan panitera di pengadilan tinggi.
Lalu di novel ketiganya berjudul “Maryam” tahun 2012, Okky menulis tentang diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok minoritas penganut Ahmadiyah di kawasan timur Indonesia. Keberanian Okky menulis tema ini layak diapresiasi, utamanya tema ini sangat sensitif di era post-truth.
Pun lewat Maryam, di tahun yang sama, nama Okky Madasari ditasbihkan sebagai pemenang Sastra Khatulistiwa, yang juga pernah dimenangkan oleh sastrawan-sastrawan populer Indonesia seperti ; Goenawan Mohamad (2001), Hamsad Rangkuti (2003), Sapardi Djoko Damono (2004), hingga Seno Gumira Ajidarma (2005).
ADVERTISEMENT
Pada novelnya yang keempat tahun 2013 berjudul “Pasung Jiwa” Okky kembali menggugah hati pembaca lewat sosok yang berjuang untuk memperoleh kebebasan sejati. Okky menekankan bahwa di dunia ini tidak ada jiwa-jiwa yang bermasalah dan yang bermasalah adalah hal-hal diluar jiwa seperti aturan, tatanan masyarakat dan konstruksi keadilan.
Tak lupa, Okky juga menyelipkan kisah Marsinah seorang buruh yang berjuang melawan ketidakadilan namun harus membayar mahal perjuangannya dengan nyawanya sendiri. Novel ini secara jelas berkisah tentang bagaimana kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan di Indonesia.
Selanjutnya, di tahun 2016, Okky menerbitkan novel berjudul “Kerumunan Terakhir”. Pada novel ini, Okky melakukan penyegaran pada pembacanya karena membahas masyarakat digital, media sosial serta kritik terhadap UU ITE. Pun ia memaparkan keberadaan teknologi dalam satu anomali, satu sisi tentang kebaikan dan sisi yang lain dampak buruk yang ditimbulkan oleh era internetisasi.
Setahun sesudahnya, di tahun 2017, Okky Madasari mengeluarkan buku kumpulan tulisan pergulatan batinnya berjudul “Yang Bertahan dan Binasa Perlahaan”. Buku tersebut terdiri dari beberapa tulisan tentang bagaimana pertarungan hidup, politik, diskriminasi agama hingga fenomena buzzer politik di era internet. Meski buku tersebut terdiri dari banyak tulisan, Okky tetap konsisten menyampaikan gagasan dan pemikirannya tentang kemanusiaan.
Setelah tujuh tahun menulis 5 novel dan 1 buku kumpulan esai. Di tahun 2018 dan 2019, Okky Madasari menerbitkan Trilogi Novel Anak yaitu Mata dan Rahasia Pulau Gapi (2018), Mata di Tanah Melus (2018) serta Mata dan Manusia Laut (2019).
ADVERTISEMENT
Pada bacaan saya, alasan Okky Madasari menulis cerita anak adalah upayanya dalam memutus panjangnya mata rantai keringnya literasi tentang anak-anak.
Okky menulis ketiga novel ini dalam bentuk cerita imajinatif dan menyesuaikan konten yang disesuaikan dengan kapasitas pengetahuan yang mampu dicerna oleh otak anak-anak.
Keberanian Okky menulis novel anak inipun layak diapresiasi karena ia secara gamblang mengambil posisi berbeda dengan novel anak yang jamak kita temukan di toko-toko. Ia menulis cerita anak berbasis kearifan lokal, berbanding terbalik dengan rentetan cerita di toko-toko buku yang bercerita tentang kisah-kisah Nabi dalam satu cerita.
Ia menyampaikan kebaruan ilmu untuk anak-anak, yang disampaikan lewat sejarah, sosiologi, geografi dan antropologi.
Satu pesan utama yang kita perhatikan di novel-novel tersebut bercerita tentang Indonesia Timur, pun hal ini merupakan komitmennya terhadap literasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pada bulan Desember 2019 yang lalu, Okky Madasari menerbitkan buku kesepuluhnya yang berjudul : “Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan”.
Buku ini sekaligus menegaskan bahwa Alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (S1) ini bukan hanya sekadar penulis fiksi, tapi juga menegaskan dirinya sebagai salah satu ilmuan sastra.
Alasannya buku tersebut merupakan karya ilmiahnya saat menyelesaikan studi Magister di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia. Melalui argumen, teori dan metode penelitian yang kuat Okky berhasil membongkar ontologi karya bergenre Islami, motivasi, dan percintaan.
Pun ia menjawab, kenapa karya-karya tersebut mampu mendominasi khazanah literasi Indonesia hari ini karena kerap menjadi best seller buku di Indonesia.
Perjalanan satu dekade berkarya bukan hal yang mudah dijalani. Didalamnya ada konsistensi dan presisi dalam menulis.
ADVERTISEMENT
Pengukuran terhadap akurasi dan nilai yang bisa diterima menjadi tantangan tersendiri, tidak hanya itu segala kejenuhan dalam menulis harus cepat-cepat dipecahkan agar gagasan yang disampaikan tidak berujung pada kebosanan.
Melalui idealismenya, Okky berhasil menerbitkan 10 buku dan ratusan esai dengan gagasan pemikiran yang tidak banyak orang bisa jalani karena sikap tidak populernya.
Okky adalah sedikit nama sastra wangi yang tidak mudah terjerumus dalam godaan politik karena idealismenya.
Tiga kali pula saya bertemu dengannya. Pertama, pada sebuah acara ASEAN Literary Festival yang digelar di Kota Tua Jakarta pada Agustus 2017. Kedua, pada sebuah angkringan di kawasan Blok M Jakarta Juni 2019.
Dan Ketiga, kala Okky menjadi saksi ahli untuk gugatan Pers Suara Mahasiswa yang menggugat Rektor USU pada Oktober 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pembaca dan penulis, Ia banyak mempengaruhi banyak orang untuk berkarya di dunia literasi. Karyanya sungguh menghidupkan.
Pun kini, karena terinspirasi karyanya, ia telah banyak melahirkan penulis-penulis baru yang mulai berkiprah di Indonesia. Selamat atas satu dekade berkaryanya, Mbak Okky.