Silent Majority Pilkada Kota Medan

Konten dari Pengguna
25 Juli 2020 15:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bakal Calon Walikota Medan, Akhyar Nasution. Sumber Foto : kabarmedan.com
zoom-in-whitePerbesar
Bakal Calon Walikota Medan, Akhyar Nasution. Sumber Foto : kabarmedan.com
ADVERTISEMENT
Ketika Presiden Richard Nixon berpidato untuk pertama kalinya, saat terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat tahun 1970, banyak masyarakat kelas menengah enggan menanggapi.
ADVERTISEMENT
Pasalnya isi pidato Nixon menekankan politik luar negeri yang akan tetap mengembargo Vietnam dalam Perang Indocina II.
Mayoritas rakyat AS tidak sepakat pada Nixon, tapi enggan melakukan demonstrasi untuk memprotes langsung kebijakannya.
Alasannya, protes pada Nixon hanya akan dianggap seperti uap dan berlalu begitu saja. Lebih lagi, Nixon orang yang berbeda dengan pendahulunya, Ia tipe orang yang dingin dan sangat kejam.
Meski demikian, kelas menengah AS tidak diam. Mereka banyak menyampaikan pendapat dalam diskusi kecil di kedai-kedai kopi, perpustakaan, jalanan hingga menyebarkan pamflet politik dengan memanfatkan jaringan kecilnya untuk melancarkan protes.
Dari situ, muncul istilah "silent majority". Secara sederhana, silent majority adalah kelompok besar orang-orang yang tidak mengungkapkan pendapat mereka di depan umum atau melakukan protes layaknya oposisi di parlemen, demonstrasi jalanan hingga diskusi publik.
ADVERTISEMENT
Di Kota Medan, pada Pilkada tahun 2015 yang lalu, jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilihnya di TPS mencapai hampir 75% yaitu setara dengan 1.477.475 pemilih.
Artinya hanya 25% atau sekitar 507.351 orang yang menggunakan hak pilihnya dari total jumlah pemilih 1.985.096 orang.
Tingginya angka golput di Kota Medan, menarik minat banyak peneliti dan akdemisi untuk melakukan riset, dengan pertanyaaan utama :
Mengapa Golput di Kota Medan mencapai 75% ?
Satu riset menemukan bahwa tingginya angka golput di Kota Medan disebabkan karena tidak efektifnya sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini adalah Bawaslu Kota Medan dan KPU Kota Medan.
ADVERTISEMENT
Apalagi waktu itu, muncul peraturan baru terkait Alat Peraga Kampanye (APK) yang dibebankan pengadaannya pada Penyelenggara Pemilihan setelah sebelumnya dicetak dan dipasang oleh pasangan calon. Membuat sedikitnya APK seperti spanduk dan baliho di pinggir-pinggir jalan Kota Medan.
Riset lainnya menemukan bahwa tingginya angka golput di Kota Medan karena hasil pemilihan yang melibatkan dua pasangan calon yaitu Zulmi Eldin-Akhyar Nasution dan Ramadhan Pohan - Eddie Kusuma sudah sejak awal dipastikan pemenangnya lewat banyak polling dan pelbagai survei.
Asumsi ini akhirnya terbukti, karena pada akhirnya pasangan Zulmi-Akhyar terpilih menjadi Wakilota dan Wakil Walikota 2015-2020.
Riset lain mengatakan waktu itu PDI Perjuangan dan PKS dalam satu usungan pasangan calon yaitu Zulmi-Akhyar membuat baik pemilih tradisional PKS dan PDI Perjuangan enggan menggunakan hak pilihnya.
ADVERTISEMENT
Diantaranya banyak persoalan dengan terbentuknya koalisi PDI Perjuangan-PKS di Pilkada Kota Medan yang akhirnya memunculkan kekecewaan.
Mengingat waktu hanya berjarak satu tahun dari Pilpres 2014, dengan segala kerasnya pertarungan antara PDI Perjuangan mendukung Jokowi-JK dan PKS mendukung Prabowo-Hatta membuat banyak pemilih loyal masing-masing partai merasa kecewa dengan koalisi itu.
Riset lainnya mengatakan bahwa pertarungan antara Zulmi-Akhyar dan Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma dianggap tidak akan berpengaruh pada ekonomi dan kehidupan sosial kelas menengah ke bawah. Pada posisi ini, banyak kelas menengah ke bawah Kota Medan enggan berangkat ke TPS dan menggunakan hak pilihnya.
Pun sesungguhnya mereka adalah silent majority yang jumlahnya mencapai 75%. Enggannya silent majority terlibat langsung dalam pemilihan baik itu kampanye publik, seminar hingga bersuara di media sosial disebabkan karena : protes pada sistem pemilihan, kapasitas pasangan calon dan pola koalisi yang terbangun.
ADVERTISEMENT
Pilkada Medan 2020
Di Pilkada 2020 Kota Medan, koalisi besar pendukung menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution hampir dipastikan akan diusung oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Hanura, PPP hingga mungkin sebentar lagi Perindo dan PSI yang membuat koalisi membengkak menjadi 39 kursi dari 50 kursi di DPRD Kota Medan.
Sebaliknya, pesaingnya adalah Akhyar Nasution yang hampir dipastikan diusung oleh Partai Demokrat dan PKS yang kursinya adalah 11 kursi (22%) dari total kursi di DPRD Kota Medan.
Setelah Akhyar Nasution resmi menjadi kader Partai Demokrat, maka hampir bisa diambil kesimpulan bahwa wakilnya nanti adalah dari PKS. Perkiraan yang paling dekat yang mungkin dipilih adalah anggota DPRD Kota Medan dari Fraksi PKS, Salman Alfarisi.
ADVERTISEMENT
Pasangan Akhyar Nasution-Salman Alfarisi, rasa-rasanya hanya sedikit lagi disahkan dan menunggu waktu untuk di deklarasikan.
Sementara, untuk wakil Bobby Nasution masih riuh, karena banyak nama yang disodorkan ke Bobby yang membuat sulit menebak siapa yang akan dijadikan wakilnya.
Dengan tegasnya garis demakrasi yang ditarik oleh PDI Perjuangan melalui ucapan Plt Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara Djarot Saiful Hidayat yang sempat mengatakan bahwa PDI Perjuangan tidak akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS tentu akan berpengaruh pada psikologi pemilih. Utamanya mereka yang selama ini diam tidak bersuara atas dinamika pemilihan ini.
Pun sebenarnya, tidak berkoalisi dengan PDI Perjuangan di Kota Medan secara elektoral akan sangat menguntungkan untuk PKS.
ADVERTISEMENT
Alasannya sederhana, Presiden Jokowi, dua kali pemilihan dan dua kali pula kalah di Kota Medan yaitu Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 dimotori oleh PKS.
Lebih lagi, Bobby Nasution mau tidak mau tidak akan lepas dari citra sebagai Menantu Presiden Jokowi. Membuat keyakinan elektoral para pemilih PKS akan semakin menguat.
Dampak Jokowi terhadap Bobby Nasution sangatlah besar. Soal apakah citra itu bisa dikonversi menjadi suara, tentu soal bagaimana Bobby Nasution menjalankan kampanyenya dengan mengakapitalisasi efek ekor Jas Jokowi.
Jika bisapun, Bobby tentu harus menambah suara hingga melampaui suara mertuanya.
Sayangnya, kemampuan Bobby Nasution dalam meraup suara masih perlu diuji. Bobby masih diragukan secara politik. Buktinya, lihat saja angka-angka suara di wilayah Kabupaten Madina, Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan hingga Padang Lawas yang banyak dikunjungi Bobby Nasution di Pilpres 2019 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Tetap saja Jokowi tumbang dengan persentasi suara yang memprihatinkan karena margin angka kekalahan yang amat jauh.
Medan tentu memiliki keterikatan dengan wilayah di Tapanuli Bagian Selatan Sumatera Utara. Pasangan yang akan bertarung adalah Marga Nasution melawan Marga Nasution di Pilkada Medan 2020.
Bobby Nasution akan tetap tercitra sebagai menantu Jokowi, sebaliknya Akhyar Nasution kelihatannya akan pelan-pelan melepas citranya sebagai pendukung Jokowi di Pilkada Kota Medan.
Pilkada Kota Medan tahun ini akan sedikit berbeda. Para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang selama pilkada biasanya, meski dilarang undang-undang, tetap wara-wiri kelihatannya tidak akan mau mengambil risiko lebih pasif.
Mereka akan memilih diam. Bahkan akan sembunyi dalam tempat tersembunyi daripada terlibat langsung ke Akhyar atau ke Bobby. Posisi ASN belum tentu bisa dimanfaatkan petahana Akhyar Nasution dan belum tentu juga dimanfaatkan Bobby Nasution yang punya jaringan hingga istana.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, bagi orang-orang yang protes terhadap kehadiran Bobby Nasution di Perpolitikan Kota Medan kelihatannya banyak akan memilih diam dalam wacana publik. Internal PDI Perjuangan misalnya, yang banyak pengurusnya diisi oleh mantan aktivis mahasiswa yang pernah bergabung di GMNI, yang secara historis memiliki romantisme dengan Akhyar Nasution sejak mahasiswa.
Para mantan aktivis itu memang diam, karena keharusan menjalankan perintah partai tapi di kotak suara semua bisa terjadi.
Pada posisi ini akan ada split ticket voting (pembelahan suara pemilih) di PDI Perjuangan yang tetap akan memilih Akhyar Nasution.
Mereka ingin mempertahankan Jokowi dengan citra yang tidak hadir sebagai bagian dari politik dinasti sebagaimana mereka mengenal Jokowi di kampanyenya di Pilpres 2014.
ADVERTISEMENT
Sementara yang lainnya, yang tidak suka terhadap Jokowi, namun tidak menggunakan hak pilihnya 2015 lalu meneguhkan keyakinan mereka untuk hadir ke TPS juga sebagai “protest vote”terhadap Jokowi untuk tidak memilih Bobby Nasution.
Sebagian lagi, akan bertahan pada pilihannya dengan memilih Golput sebagaimana mereka pada Pilkada 2015 yang lalu. Karena mereka adalah silent majority yang sesungguhnya.