Konten dari Pengguna

Togu Simorangkir dan Perlawanan Ala Martin Luther King Jr

23 Juni 2021 12:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis Lingkungan, Togu Simorangkir. Sumber foto : facebook
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis Lingkungan, Togu Simorangkir. Sumber foto : facebook
ADVERTISEMENT
Ini hari ke-10, sejak sebelas orang memulai protes dengan berjalan kaki dari Balige Kabupaten Toba ke DKI Jakarta sebagai bentuk protes agar pemerintah menutup perusahaan perusak lingkungan, Toba Pulp Lestari (TPL) yang dulunya bernama PT.Indorayon.
ADVERTISEMENT
Jaraknya hampir 1.400 kilometer. Dengan asumsi perjalanan rata-rata 30-40 kilometer perhari maka diperkirakan mereka akan tiba dari Toba ke Jakarta pada bulan Agustus 2021.
Togu Simorangkir bersama Tim dalam perjalanan dengan berjalan kaki dari Kabupaten Toba Provinsi Sumatera Utara menuju DKI Jakarta. Sumber foto : Facebook.
Gerakan ini dipimpin oleh Togu Simorangkir, seorang aktivis lulusan Inggris yang berdomisi di Sumatera Utara yang beberapa tahun terakhir dikenal orang-orang banyak berjuang untuk literasi, kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial kelompok terpinggirkan.
Satu kali saya bertemu sekaligus berkenalan langsung dengan Togu, kalau tidak salah pada bulan Juni tahun 2019. Kebetulan ketika itu kami sama-sama mengisi materi di acara Friedrich Ebert Stiftung (FES) Gerakan 1000 tenda di Desa Meat, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara.
Ia sosok yang ramah, terlihat baik sekaligus gampang tertawa. Tentu ia juga populer, ratusan kali saya menyaksikan anak-anak muda pelbagai umur meminta foto bersama dengannya di acara itu.
ADVERTISEMENT
Tanpa merasa jenuh dan cape, ia terlihat senang melayani satu persatu orang yang ingin dekat, mengambil gambar dan berkenalan langsung dengannya.
Maka ketika ia menginisiasi gerakan protes dengan berjalan kaki dari Balige ke Jakarta sebagai bentuk protes agar TPL segera ditutup. Saya menduga publikasi pemberitaan terkait gerakan ini akan meluas dan mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat.
Benar saja, gerakan ini mendapat banyak pemberitaan dan sentimen positif dari masyarakat. Pun saya memperkirakan Humas perusahaan TPL sedang kewalahan menghadapi gerakan ini.
Ini sangat positif bagi orang yang selama ini berjuang menolak keberadaan TPL. Pun ini bisa jadi momentum tiga dekade protes panjang masyarakat, agar TPL segera ditutup karena berdampak pada kerusakan lingkungan, konflik agraria dan konflik sosial yang diakibatkannya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, selama 30-an tahun ini, sudah banyak elemen masyarakat yang telah memulai perjuangan penolakan keberadaan TPL. Mulai dari petani lokal, aktivis gereja, NGO, hingga masyarakat adat yang masih menunggu kabar baik agar pemerintah bersikap tegas.
Perjuangan menuntut TPL ditutup bukan sekadar cerita biasa. Disana ada narasi masyarakat menjaga dan melestarikan alam, menyelamatkan agar hutan dan tanah mereka tidak terus-terusan di rusak oleh korporasi yang mengobral kalimat “demi pembangunan”.
Lebih lagi, sudah banyak darah yang tumpah diatas setiap kertas yang dihasilkan oleh TPL. Serta pengalaman buruk yang dihadapi beberapa masyarakat lokal kala melakukan protes dengan todongan pisau, linggis hingga senjata.
Tidak jarang banyak aktivis yang dikriminalisasi—berujung mendekam di penjara. Situasi ini tentu jamak terjadi pada setiap konflik agraria di Indonesia, mereka dituduh sebagai komunis karena menolak narasi pembangunan yang dikampanyekan korporasi.
ADVERTISEMENT
Itu belum termasuk pada mereka yang harus kehilangan nyawanya karena dianggap pembangkang dan tidak akomodatif terhadap kepentingan perusahaan. Ini lebih buruk lagi.
Pengalaman yang menggetarkan dan membuat patah hati setiap orang yang mendengarnya. Bahwa negara tidak bertindak tegas terhadap keberadaan TPL dan sialnya izin perusahaan pengrusak lingkungan ini terus diperpanjang.
Pun pendapat saya, gerakan yang digagas oleh Togu dkk ini merupakan bentuk gerakan populis. Gerakan populisme kiri, seperti yang dijelaskan oleh Chantal Mouffe (2018) dalam bukunya berjudul “For a Left Populism” yang mengatakan bahwa sebuah gerakan yang murni dari rakyat akan menghasilkan persepsi baru dalam keberadaan dan kebijakan elit yang akan digugat.
Tentu gerakan protes ini tidak mau terjebak dalam urusan pertarungan kekuasan pragmatisme semata, tetapi menunjukkan langsung berpihak dengan masalah kerakyatan, serentak menawarkan perubahan nyata yang lebih kredibel dan relevan dengan kehidupan masyarakat yang dalam hal ini konsisten akan tuntuan untuk penutupan TPL.
ADVERTISEMENT
Melihat gerakan Togu dkk ini, mengembalikan memori saya pada sosok Martin Luther King Jr ketika memperjuangkan undang-undang hak sipil agar masyarakat kulit hitam AS bisa berpartisipasi dalam pemilu.
Aktivis Hak Azasi Manusia, Martin Luther King bersama pendukungnya saat memulai protes dengan berjalan kaki dari kota Selma ke Kota Montgomery . Sumber Foto : https://abcnews.go.com/
Waktu itu Martin Luther King Jr protes dengan jalan kaki dari Kota Selma ke Kota Montgomery untuk mendaftarkan pemilih kulit hitam. Bedanya perjalanan Togu dkk diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan, sementara perjalanan Martin Luther King berlangsung 3 hari.
Satu persamaan dalam gerakan Togu dkk dan Martin Luther King Jr beserta pendukungnya, kedua gerakan ini banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari pengurus dan jemaat gereja.
Meski bukan seorang pendeta seperti Martin Luther King Jr, gerakan Togu dkk respon positif dari gereja karena di design sebagai gerakan moral anti kekerasan.
ADVERTISEMENT
Diatas semua itu, sama seperti Martin Luther King Jr yang pada akhirnya mendapat dukungan dari Presiden AS Lyndon Baines Johnson (LBJ), Kita berharap perjuangan Togu dkk juga mendapatkan dukungan dari Presiden Jokowi untuk mengambil sikap segera mungkin menutup TPL.
Tentu pada gerakan Togu dkk bukan hanya soal protes dengan berjalan kaki semata. Di setiap gerakan kaki mereka tertitip langkah ratusan ribu masyarakat Toba berharap pemerintah bersikap.
Sembari itu, saya yakin gerakan protes penutupan TPL oleh unsur LSM, akademisi, pemuka agama, mahasiswa dan masyarakat lokal terus bersinergi. Saling dukung satu dengan yang lain.
Langkah sudah diambil, tentu tidak ada alasan lagi untuk mundur walau hanya setapak. Maju terus, selamat sampai tujuan. Tuhan memberkati dan alam yang menjaga.
ADVERTISEMENT