Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Menilik Konsepsi Pluralisme Agama dalam Perspektif Syekh Siti Jenar
9 Februari 2021 19:04 WIB
Tulisan dari Muhammad Hafizh Noufaldi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah bangsa yang terdiri atas berbagai suku, ras, serta agama menjadikan negara Indonesia terkenal akan mulkulturalisme di dalamnya. Dalam hal ini, adanya keanekaragaman tersebut berdampak pada adanya difusi atau pun peleburan setiap kelompok ke dalam satu atau yang biasa dikenal dengan pluralisme. Sejalan dengan hal tersebut, konsepsi pluralisme tentu merupakan suatu hal yang tak terelakkan untuk dapat terjadi di Indonesia, akan tetapi, tentu konsepsi tersebut tidaklah dapat digunakan sepenuhnya apalagi disangkutpautkan dengan agama. Secara lebih lanjut, konsepsi pluralisme agama tentu merupakan suatu hal yang kontroversial mengingat bahwasanya agama bukan hanya tentang hubungan min 'iinsan 'iilaa 'iinsan atau manusia dengan manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan penciptanya.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada kondisi tersebut, konsepsi pluralisme agama nyatanya pernah disinggung oleh salah satu pemuka agama, yakni Syekh Siti Jenar. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar memang merupakan tokoh agama yang cukup dikenal atas pemikirannya yang kontroversial karena berupaya untuk menyesuaikan ajaran agama Islam dengan kearifan lokal di tanah Jawa. Bagi pengikutnya yang sepaham atas pemikiran tersebut tentu berpendapat bahwa konsepsi tersebut dapat dibenarkan bahkan menunjukkan kebijaksanaan dan penghayatan atas hakikat Islam itu sendiri. Namun, disisi lain banyak juga yang beranggapan pemikirannya tersebut tidaklah dapat dibenarkan karena sudah seharusnya Islam bersumber dari satu ajaran sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Atas dasar hal tersebut, tentu kajian atas konsepsi pluralisme agama yang digunakan oleh Syekh Siti Jenar merupakan hal yang menarik untuk didalami mengingat masih adanya relevansi dengan kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, apabila ditilik dari asal muasal atau dasar pemikirannya, pluralisme dalam konteks ke-Indonesiaan sebagaimana yang diusung oleh Syekh Siti Jenar tentu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah bangsa Indonesia sendiri. Dalam hal ini, pemahaman Islam Syekh Siti Jenar sendiri merupakan Islam esoteris atau suatu penafsiran Islam yang bersifat sufistik atau cenderung terbuka terhadap kearifan agama. Melalui pemahaman tersebut Islam yang dipahami oleh Syekh Siti Jenar tidaklah sebatas pada penghayatan simbol-simbol keislaman atau yang bersifat lahiriah, melainkan telah memasuki segi realitas mendalam-tinggi atau batin. Dari pemikirannya terhadap konsepsi Islam tersebut, maka, Syekh Siti Jenar tidak lagi merasakan nasut (dimensi kemanusiaan) dalam dirinya, melainkan sudah menjadi lahut (dimensi ketuhanan). Hal demikian ditunjukkan dengan hakikat ruh atau konsep Manunggaling Kawulo Gusti yang digunakan dalam ajarannya. Dalam dimensi agama islam, lahirnya konsepsi tersebut pun dapat dikaitkan dengan ilmu tasawuf yakni fanâ’ fillah (lebur terserap ke dalam Tuhan) atau dimaksudkan sebagai suatu kondisi keakuan seseorang lenyap, sehingga menjadi Aku Sejati dalam ketunggalan. Pemikiran tersebut pun juga dikaitkan dengan firman Allah Swt dalam Al-Quran dalam surat As-Sajdah ayat 9 yang ditafsirkan sebagai, “Kemudian Dia sempurnakan kejadiannya dan Dia (Tuhan) tiupkan roh-Nya kepadanya”. Di mana keterangan dalam Al-Qur’an ini merupakan titik tolak Syekh Siti Jenar dalam mengabstraksi konsepnya, bahwa ruh Tuhan berada dalam diri, sehingga dia adalah Tuhan, Tuhan adalah dia (Otoman, 2020). Disisi lain, konsep Manunggaling Kawulo Gusti juga memiliki kesamaan filsafat dengan ajaran agama Hindu dan Buddha, di mana dalam agama Hindu menegaskan bahwa manusia merupakan diri dari ruh universal sebagai penentu dari segala yang ada. Sedangkan dalam agama Buddha khususnya dalam Padmakumara Bodhisatva juga menjelaskan: “Aku Sejati adalah Buddha. Sifat sejati adalah Sinar Tuhan.” Di mana dapat dipahami bahwa kemunculan konsepsi Manunggaling Kawulo Gusti pun juga dipengaruhi ajaran agama lain yang berkembang pada masanya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan adanya hal tersebut, suatu benang merah yang dapat disimpulkan adalah bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan perwujudan atas sinkretisme antar ketiga ajaran agama tersebut. Kondisi demikian tentu dapat terjadi karena pada masa awal kedatangan Islam di Nusantara, Islam yang tumbuh dan berkembang memang cenderung bercorak tasawuf. Hal demikian dapat terjadi karena pemikiran tasawuf lah yang dapat sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Jawa yang sebelumnya bersifat mistis, sehingga Islam Tasawuf-lah yang dapat mereka yakini keberadaannya. Dalam hal ini, tentu tidak dapat ditampikkan bahwasanya titik temu ketiga agama tersebut adalah terletak pada falsafah masing-masing agama yang menitikberatkan pada mistisme yang disinkretisasikan. Melalui adanya sinkretisme tersebut pun menunjukkan bahwasanya pluralisme yang diusung oleh Syekh Siti Jenar adalah dengan memandang bahwa setiap ajaran agama memiliki kesamaan, sehingga dapat dikatakan berkedudukan setara. Adanya pemikiran tersebut pun menunjukkan bahwa pandangan Syekh Siti Jenar tersebut tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ajaran tasawuf Al-Hallâj (858-922 M) yang menyatakan bahwa perbedaan yang ada dalam agama-agama hanya sekadar perbedaan bentuk dan namanya, hakikatnya sama, bertujuan sama, yakni mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Jadi, semua agama, apa pun namanya berasal dari Tuhan yang sama dan bertujuan sama (Usman dalam Otoman, 2020).
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasanya konsepsi pluralisme sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Jawa yang mendorong kemunculannya. Kendati demikian, kebenaran ajarannya tentu masih menjadi suatu hal yang perlu dikaji kembali. Mengingat bahwa keimanan suatu manusia perlu dibentuk melalui adanya keyakinan absolut terhadap agama yang dianutnya, sehingga, pluralisme dalam agama tidaklah dapat sepenuhnya dibenarkan.
DAFTAR PUSTAKA