Nasib Perempuan di Pedesaan Republik Rakyat China

Apphia Angel
Perantau yang sedang menjelajahi pulau Bali untuk belajar menekuni perannya sebagai mahasiswa S1- Hubungan Internasional di Universitas Udayana.
Konten dari Pengguna
11 Desember 2022 15:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Apphia Angel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto : unsplash.com/@dandan1943
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto : unsplash.com/@dandan1943

Kesenjangan Gender antara Kota dan Desa

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Republik Rakyat China adalah negara komunis dengan penduduk terbesar di dunia dengan mayoritas suku bangsa han. Pada tahun 1979, pemerintah RRC mengeluarkan kebijakan one-child policy dan aborsi berdasarkan jenis kelamin untuk membantu mengendalikan pertumbuhan populasi yang berkembang pesat. Aborsi selektif pada janin perempuan paling sering dilakukan karena norma dan budaya yang menghargai laki-laki dibandingkan perempuan.
ADVERTISEMENT
Di Republik Rakyat China diperkirakan akan memiliki 24 juta lebih banyak pria daripada perempuan. Rata-rata global adalah 103 laki-laki dan 107 perempuan. Ketidaksetaraan rasio gender dan keyakinan akan memicu terjadinya ketimpangan hingga kekerasan pada perempuan.
Di Republik Rakyat China, sepasang laki-laki dan perempuan menikah untuk menjunjung nilai budaya Republik Rakyat China guna membentuk keluarga yang menjadi pusat elemen kebudayaan. Harapan tradisional tentang pernikahan memiliki sejarah dalam budaya Tionghoa dan sangat didasarkan pada pemujaan leluhur dan ideologi konfusianisme yang berkembang lama di China.
Kesalehan anak dan tanggung jawab melanjutkan garis keturunan keluarga sangat penting dicapai. Ketidakseimbangan rasio gender menciptakan kenyataan bagi perempuan untuk selektif dalam memilih pasangan. Kriteria dalam memilih lelaki beragam dari penghasilan yang lebih tinggi, pekerjaan yang bergengsi dan tempat tinggal yang lebih baik menjadi pertimbangan para perempuan dalam memilih pasangan. Namun, ciri- ciri ini muncul hanya bagi daerah perkotaan yang kehidupan warganya sudah hampir saling memenuhi ciri tersebut. Berbeda dengan pola perilaku yang terjadi pada daerah pedesaan di Republik Rakyat China.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan di daerah perkotaan, perempuan di pedesaan lebih sering mengalami kekerasan domestik dalam pernikahan. Perempuan di daerah terpencil lebih kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan karena lokasi geografis yang terisolir, kesulitan transportasi dan tidak mempunyai cukup penghasilan. Selain itu, adanya maskulinitas di daerah pedesaan sering dibangun dengan cara mengutamakan dominasi.

Perempuan Sisaan / Sheng nu ( 剩女)

Dilihat dari segi nilai budaya dan praktik tradisionalnya, Republik Rakyat China mempunyai istilah sheng nu ( 剩女) atau “perempuan sisaan”. Sheng nu adalah status sosial yang menggambarkan keadaan perempuan yang sudah berumur 27 tahun keatas dan belum menikah. Penggambaran Perempuan lajang di berbagai media di Republik Rakyat China menonjolkan kesan kesepian, putus ada, overqualified dan mengintimidasi. Stigma sheng nu menimbulkan perasaan tertekan bagi perempuan dan sengaja ingin menciptakan perasaan malu kepada perempuan di kehidupan sosial apabila belum menikah pada usia 27 tahun keatas.
ADVERTISEMENT
Sheng nu membawa dampak bagi perempuan di pedesaan karena kesan yang ditimbulkan bersifat peyoratif dan dapat mempengaruhi pandangan sekitar. Stigma ini seolah-olah menjadi label bagi kehidupan perempuan. Hal ini mengakibatkan efek domino dengan terwujudnya perdagangan perempuan untuk lelaki yang bukan pilihannya atau lebih dikenal dengan istilah "pengantin bayaran". Faktor ekonomi akibat penghasilan rendah di pedesaan dapat menjadi alasan dibalik maraknya "pengantin bayaran" di Republik Rakyat China.
Dorongan dari pihak eksternal seperti orang tua berperan aktif dalam mengikutsertakan anak perempuannya dalam "pasar pernikahan" untuk melawan stigma negatif dan tekanan publik akibat sheng nu .“Pasar pernikahan” menjadi ajang bagi orang tua untuk mencari jodoh bagi anak perempuan dengan membawa kelengkapan berkas berupa secarik kertas yang berisikan identitas anak perempuan, diikuti dengan usia, pekerjaan, pendapatan. Dalam budaya Tiongkok, menghormati permintaan orang tua adalah hal terpenting yang harus diikuti oleh anaknya. Sheng nu memberikan rasa tidak nyaman pada perempuan karena dapat menimbulkan perasaan bersalah kepada orang tuanya karena masih lajang. Tak sedikit kasus akibat tekanan dari orang tua dan publik, perempuan kembali lagi ke "pasar pernikahan" dan terburu-buru menikah bukan berdasarkan cinta dan kasih sayang, melainkan untuk memenuhi keinginan orang tua dan terhindar dari istilah sheng nu.
ADVERTISEMENT
Perempuan di desa dan kota menanggapi sheng nu dengan pandangan yang berbeda. Perempuan di kota dapat melawan stigma ini melalui manfaat akan edukasi terutama saat gebrakan massa sejak reformasi ekonomi pada tahun 1980an, sedangkan sebagian perempuan di desa secara tidak langsung dipaksa untuk melakukan pernikahan yang tidak diinginkan karena keadaan.
Perempuan di pedesaan yang melakukan migrasi ke luar kota dikenakan operation bed warning. Operasi ini merupakan taktik pemerintah desa untuk memaksa perempuan muda agar tetap tinggal di pedesaan dan menikahi bujangan setempat. Solusi usulan pemerintah daerah Xiangyin di provinsi Hunan, Republik Rakyat China mendorong terjadinya propaganda agar perempuan lokal tidak pindah dari pedesaan dan menghindari masalah sosial supaya laki-laki di pedesaan tidak ulit mencari jodoh. Walaupun, kebijakan ini masih diperbincangkan dan belum tahap final, tetap saja tercetusnya ide untuk mengeluarkan kebijakan ini melanggar hak kebebasan bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Setelah kebijakan one child policy yang menimbulkan ketidaksetaraan rasio gender. Pada tahun 2016, pemerintah memperbolehkan adanya satu anak lebih. Pemerintah seakan-akan menjadikan istilah sheng nu sebagai alat untuk mengecam perempuan muda agar tidak merasa tersiksa dan bisa segera menikah. Budaya patriarki konfusianisme memiliki andil penting dalam menciptakan “leftover women” dibandingkan “left over men”. Sheng nu berupaya menempatkan laki-laki pada superioritas. Praktik tradisional dari budaya yang ada menghasilkan dampak bagi kehidupan perempuan, dampak negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga kerap kali terjadi.
Referensi
Gover, A. R., Harper, S. B., & Langton, L. (2020). Anti-Asian Hate Crime During the COVID-19 Pandemic: Exploring the Reproduction of Inequality. American Journal of Criminal Justice, 45(45). https://doi.org/10.1007/s12103-020-09545-1
ADVERTISEMENT
Liputan6.com. (2021, October 13). Operation Bed Warming Bocor ke Publik, Perempuan China Tak Terima Dipaksa Nikah dengan Bujang Lapuk Desa. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4682833/operation-bed-warming-bocor-ke-publik-perempuan-china-tak-terima-dipaksa-nikah-dengan-bujang-lapuk-desa
Neo Chai Chin. (2021, June 28). Every 7.4 seconds, a woman in China faces domestic violence. Can the tide be turned? CNA. https://www.channelnewsasia.com/cnainsider/every-7-4-seconds-women-china-face-domestic-violence-patriarchy-1938081