news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Belajar di Jalanan Jakarta

Apriana Susaei
ASN pada Kementerian ESDM
Konten dari Pengguna
30 Juni 2022 17:55 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Apriana Susaei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kereta pagi menuju Jakarta (foto : dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kereta pagi menuju Jakarta (foto : dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang yang suka belajar, perjalanan ke kantor atau ngantor bagi saya adalah waktu yang tepat untuk belajar. Seolah hal ini merupakan golden moment yang saya tunggu-tunggu untuk belajar, tentang apa saja.
ADVERTISEMENT
Kemacetan membawa berkah bagi saya yang suka belajar di mana saja. Kemacetan di jalan memberi waktu luang bagi saya untuk membaca—bahkan sambil menganalisa—hal-hal yang dirasa menambah ilmu baru.
Bukan hanya itu, perjalanan ke kantor selama satu sampai dua jam dengan transJakarta—ditambah kemacetan di jalan—memberi saya warna, cara dan gaya belajar yang baru. Saya terkadang membawa buku, buku apa saja mulai dari novel, pengembangan diri sampai biografi.
Namun seringnya, saya belajar menggunakan gawai, asal tersambung internet, pelajaranpun dimulai.
Belajar melalui gawai di jalan, membawa saya untuk belajar secara audio dan visual, sambil menonton YouTube, mencari topik yang saya ingin ketahui dan nikmati.
Sekadar mendengarkan orang berdebat pada podcast terbaru, bahkan terkadang sayapun ikut webinar untuk menambah ilmu.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya ilmu, terkadang saya juga mendapatkan bahan-bahan pembicaraan dalam tontonan. Bahan itu saya gunakan untuk memulai topik pembicaraan dalam pergaulan.
Scrolling berita, membaca status orang-orang, isu-isu yang trending dalam sosial media, membawa saya untuk belajar hal-hal baru.
Isu-isu itu menjadi ide dalam tulisan saya, tentang apa saja. Tulisan itu saya muat pada buku harian, saya muat pada media sosial, media komunitas digital bahkan saya bawa-bawa saat menulis artikel yang juga dilombakan.
Bukan hanya dijalan, saya juga melakukannya ketika naik kereta atau Commuter line (CL). Sebagai seorang commuter atau penglaju, saya berangkat demi harta pulang demi cinta, pergi setiap pagi dan pulang sore hari.
Berangkat pagi dari rumah—yang jauh dari tempat kerja di Pusat Jakarta—lalu kembali ke rumah, memberi saya waktu untuk mencari ilmu dalam gawai maupun buku. Di antara jalur besi, antara stasiun Jatinegara dan Bekasi, saya mulai membaca agar otak makin berisi.
ADVERTISEMENT
Kemacetan Jakarta
Daripada terus mengeluh karena kemacetan Jakarta, lebih baik saya meyalurkan energi yang saya miliki untuk sesuatu yang berarti. Toh, pemerintah sudah berupaya untuk menurunkan tingkat kemacaten di Jakarta.
Data indeks kemacaten Jakarta menurut Tomtom Traffic Indeks Ranking 2021 menunjukkan bahwa tingkat kemacetan di Jakarta makin ke sini makin membaik.
Selama bertahun-tahun menjadi seorang pengguna transportasi umum, saya jadi malas menggunakan kendaraan pribadi, bukan saja menyumbang emisi, berkendaraan pribadi juga menyumbang polusi.
Data kualitas udara menurut Indeks kualitas udara (AQI) dan polusi udara PM2.5 di Indonesia pada bulan Juni 2022, menunjukkan Jakarta adalah kota paling berpolusi di Indonesia.
Terus terang, menggunakan kendaraan pribadi membuat saya harus berkonsentrasi, sehingga tak cukup bagi saya membagi waktu sambil belajar di jalan. Terkadang tingkat stres saya meningkat, saat “bermacet-macetan” menggunakan kendaraan pribadi.
ADVERTISEMENT
Menggunakan transportasi umum memberi saya waktu untuk membaca buku dan memainkan gawai sekaligus mengalihkan perhatian saya agar tak peduli pada kemacetan yang sedang terjadi.
Namun terkadang, saya juga suka menyapa penumpang; tidak semua orang senang diajak mengobrol di kendaraan umum, biasanya saya menyapa penumpang yang tepat duduk bersebalahan.
Mengobrol dengan sesama penumpang seolah membuat saya memandang sesuatu dengan cara yang berbeda, seperti “memakai sepatu orang lain”. Topik yang dibicarakan biasanya tak jauh dari obrolan warung kopi dari politik sampai kehidupan sehari-hari.
Mengobrol dengan penumpang membuat saya belajar untuk menjadi pendengar. Mendengar keluh kesah mereka sekaligus mencoba memahami cara mereka memaknai hidup.
Mendengar di jalanan
Bagi saya pemimpin yang baik seharusnya orang yang mampu mendengar. Kemacetan adalah ruang dan waktu yang tepat untuk pemimpin untuk belajar sambil mendengar. Tak perlu dengan protokoler yang resmi, atau anak buah harus mengikuti.
ADVERTISEMENT
Dengarkanlah keluh kesah mereka, tentang kemacetan, tentang kehidupan maupun tentang harapan. Tak perlu juga raungan sirene, untuk menyingkirkan mereka.
Menyatulah dengan masyarakat di jalanan yang mencari nafkah dari pagi sampai sore; mereka itu tumpah ruah di jalanan—representasi kehidupan—. Mereka yang penyabar, mereka yang gusar, semuanya ingin di dengar.
Tengoklah jalanan di Jakarta, semua suku agama, ras dan antar golongan menyatu di jalanan, berbagi jalur agar semua berjalan akur.
Mereka yang memakai kendaraan bermotor, mobil, maupun penumpang kereta atau bahkan yang bejalan kaki; mereka yang mencari nafkah di jalanan, dari penjaja makanan di trotoar sampai pengusaha di dalam toko. Semuanya ingin didengar.
Belajar di Jakarta bisa dilakukan di jalanan; kepada buku, kepada gawai atau kepada mereka yang sama-sama melintas di jalanan. Belajar di Jakarta bisa dimulai dengan saling mendengar.
ADVERTISEMENT
#HUTDKI495