Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Benarkah Kita Merindukan Ramadan?
9 Maret 2025 13:05 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Apriana Susaei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu sebelum memasuki bulan Ramadan, saya membaca buku karya Rusdi Mathari, berjudul “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya.” Buku yang mulai terbit tahun 2016 itu merupakan serial ramadan di situs web mojok.co antara tahun 2015–2016. Kemudian, saya berhenti untuk sejenak merenung pada bab: benarkah kamu merindukan ramadan?
ADVERTISEMENT
Dalam bab tersebut, diceritakan Cak Dlahom (tokoh utama yang kerap menyulut perbincangan substansi ibadah) terlibat obrolan dengan Mat Piti sahabatnya. Dialognya kira-kira menanyakan apakah benar Mat Piti merindukan Ramadan, padahal puasa itu wajib.
Sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang manusia tidak suka mengerjakannya. Kalau manusia suka, untuk apa diwajibkan? mengapa kita tidak berterus terang saja pada Allah bahwa memang kita tidak suka dengan puasa di bulan Ramadan dan juga ibadah wajib yang lain.
Dialog tersebut menyulut rasa ingin tahu saya mengapa Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan. Padahal betul, kecenderungannya jiwa manusia itu lalai, malas dan bahkan cenderung menolak untuk melakukannya.
Puasa Ramadan dan Keimanan
Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa ada kaitannya antara puasa ramadan dan keimanan. Ternyata Allah hanya menyeru dan mewajibkan puasa hanya pada orang-orang yang beriman. Seruan itu, kerap kali diperdengarkan oleh para penceramah melalui Surat Al Baqarah ayat 183 pada saat sebelum atau di awal puasa ramadan.
ADVERTISEMENT
Dalam ayat tersebut, Allah mengawalinya dengan menyeru pada orang-orang beriman, dengan demikian Allah ta’ala hanya menerima puasa dari jiwa yang terdapat iman di dalamnya.
Dengan kata lain, puasa hanya untuk orang beriman karena puasa sendiri sebagai tanda kesempurnaan iman seseorang. Sejatinya iman tidak cukup dihayati, tidak cukup diucapkan namun harus dibuktikan dengan amalan.
Sampai pada buku tadi, saya berkesimpulan bahwa sebenarnya hanya orang-orang berimanlah yang rindu akan ramadan. Merekalah yang senantiasa bergembira akan datangnya bulan Ramadan.
Sebagaimana kita ketahui, Ramadan adalah syahrul ibadah (bulannya ibadah), terkadang juga disebut bulan yang diberkahi. Di dalamnya terdapat janji dan harapan semua pahala ibadah yang dilakukan akan berlipat ganda nilainya di sisi Allah. Sampai-sampai orang sering berseloroh tidur saat puasa saja di bulan Ramadan dapat dinilai ibadah.
ADVERTISEMENT
Orang-orang beriman, tidak mungkin melewatkan kesempatan itu. Kesempatan seluruh ibadah yang dia lakukan mendapatkan pahala berlipat ganda. Di bulan Ramadan pintu-pintu surga dibuka, sedang pintu neraka ditutup. Setan-setan juga dibelenggu dan terdapat malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan. Untuk itulah hanya orang yang beriman yang senang dengan datangnya ramadan.
Ikhlas
Selain iman, dari buku itu juga saya menganggap bahwa puasa di bulan Ramadan juga perlu dilakukan dengan ikhlas karena Allah, bukan karena mengikuti kebiasaan orang lain. Diceritakan Mat Piti sebenarnya tidak tahu mengapa setiap bulan Ramadan harus puasa, dia mengungkapkan setiap tahunnya memang begitu. Setiap tahun bahkan dia memasang spanduk “Selamat datang ya Ramadan, kami rindu kepadamu” di masjid kampung.
ADVERTISEMENT
Jika sudah berniat ikhlas maka menjalankan puasa ramadan tidak akan merasa berat, susah dan lama. Hati yang ikhlas akan merasa tenang, lapang dan bahagia serta bersyukur atas nikmat ramadan yang dia dapat pada tahun itu.
Jika tidak ada niat ikhlas maka tidak salah Rasulullah pernah bersabda, betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.
Allahu a’lam.