Pesor dan Nostalgia

Apriana Susaei
ASN pada Kementerian ESDM
Konten dari Pengguna
16 Mei 2022 7:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Apriana Susaei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sarapan pagi dengan Pesor, foto : dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sarapan pagi dengan Pesor, foto : dok. pribadi
ADVERTISEMENT
Pagi itu di Kota Karawang seorang ibu paruh baya sedang sibuk melayani pelanggan. Tangannya lincah memotong bahan makanan dan menempatkannya pada piring diujung gerobak dagangnya, sesaat kemudian ia menuangkan kuah sayur pada piring tadi, harum tercium, nampak sedap terasa. Air liur menetes, menyapa penanda menggugah selera.
ADVERTISEMENT
“Pesor satu, Bu!,” pesanku saat itu.
“Iya, Pak!, ini terakhir sudah habis,” jawabnya pelan yang diakhiri dengan senyuman.
Tepat jam tujuh pagi, dagangannya sudah habis terjual. Sarapan saya pagi ini memang makanan yang laris manis. Saya biasa menikmatinya di Jalan Kertabumi di depan sebuah laboratorium klinik, di trotoar jalan di antara parkiran macam-macam kendaraan.
Pesor adalah ketupat sayur atau lontong sayur, makanan ini biasanya disajikan untuk sarapan pagi, tidak hanya di kota ini, tapi juga tersebar di sebagian besar daerah Jabodetabek dan sekitarnya. Penamaan Pesor merujuk pada ketupat atau lontong sayur khas Betawi.
Di beberapa tempat malah tidak disajikan sebagai makanan sehari-hari, Pesor terkadang disajikan menjadi makanan khas lebaran atau Idul Adha. Keberadaannya justru disebut-sebut menciptakan kenangan, karena selalu dijadikan makanan khas pada momen-momen hari raya.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari buku Etnografi Kuliner : makanan dan identitas Nasional (2021), sejarah Pesor sendiri ternyata telah mengalami perubahan nama seiring dengan perubahan jaman. Berasal dari Bogor, Pesor diceritakan awalnya disebut "Bacang", makanan khas Tionghoa yang dibungkus dengan daun bambu.
Makanan ini kemudian dimodifikasi sesuai dengan selera masyarakat Indonesia dan dibungkus dengan daun patat yang mudah didapatkan dan memiliki aroma yang khas menggantikan daun bambu saat itu. Lauk dagingnya kemudian diganti dengan bahan lain serupa irisan tahu dan telur. Orang-orang Bogor kemudian menyebutnya Pesor.
Ragam Nama
Pesor saat ini oleh sebagian besar masyarakat dipersamakan dengan lontong, ketupat atau buras. Di beberapa laman yang saya baca, Pesor pada dasarnya adalah lontong yang berbentuk kotak, sama-sama tak berisi namun berbeda nama. Bedanya Pesor hanya disajikan pada hari raya.
Pesor dengan tambahan telur, tempe goreng dan kerupuku, foto : dok. pribadi
Di tempat penjual Pesor lainnya yang saya temui bahkan sering ditaburi dengan serundeng. Parutan kelapa yang digoreng hingga kuning kecoklatan dengan bumbu-bumbu tambahan.
ADVERTISEMENT
Lain lagi di Lombok, nama Pesor merupakan sejenis lontong yang dibungkus daun pisang dan berbentuk kerucut, berisi nasi yang dimasak sekitar satu jam. Di sana, Pesor biasa dimakan bersama plecing kangkung atau kuah lauk seperti ayam, ikan dan daging.
Kuah sayurnya ini yang membuat nikmat. Pesor biasanya disajikan dengan sayur labuh siam yang dipotong korek api memanjang dan juga kacang panjang. Di lain tempat, kuah sayur tersebut berisi daging buah pepaya muda.
Pesor atau lontong sayur yang saya makan pagi itu bukanlah rasa yang asing di mulut saya. Jauh dulu saat memakai seragam putih biru, saya sudah sering memakannya di tempat tinggal saya di Pandeglang sana. Orang-orang menamakannya sayur Kokoh.
ADVERTISEMENT
Nostalgia
Sejak sekolah menengah pertama, saya seringkali terbiasa sarapan pagi dengan lontong sayur Kokoh. Hanya saja sayurnya mengandung kulit buah tangkil atau melinjo, yang memang banyak ditemukan di daerah Banten.
Bagi saya, memakan Pesor atau lontong sayur pada umumnya selalu membawa saya pada kenangan itu. Berjejal mengantri untuk sarapan pagi bersama teman-teman sehati di kantin sekolah setiap pagi. Cukup untuk mengganjal perut, bekal belajar hingga siang hari.
Tambahan bakwan yang disiram kuah atau terkadang berenang terendam didasar kuah, menambah cita rasanya. Setiap gigtannya, entah mengapa selalu teringat menggugah sukma.
Adalah Henry Bergson (1859-1941), filsuf perancis yang menyebutkan ingatan merupakan titik interaksi antara ruh dan materi. Ia membagi dua macam bentuk ingatan, yang pertama merupakan mekanisme motoris karena kebiasaan. Ingatan dimaknai sebagai pengulangan mekanis belaka dan dapat disandingkan dengan kebiasaan badani seperti berjalan.
ADVERTISEMENT
Ingatan kedua adalah ingatan murni, ingatan ruhani yang merekam angan-angan tentang setiap kejadian dalam hidup, tanpa mengabaikan satu detilpun peristiwa. Keberadaannya di bawah alam sadar, kalau diperlukan angan-angan tersebut dapat dihadirkan kembali.
Sama halnya kenangan saya akan lontong sayur di pagi hari. Kehadirannya menimbulkan nostalgia, saat saya beranjak remaja.
Ternyata masa lalu tidak pernah hilang. Ia ada tetapi tidak tahu jalan pulang. Untuk itu ia menitipkan pesan, kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga. Kita menyebutnya kenangan.
Sudahkah sarapan pagi ini?.