Staccato, Teman dan ASN Menulis

Apriana Susaei
ASN pada Kementerian ESDM
Konten dari Pengguna
20 Mei 2022 17:25 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Apriana Susaei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menulis pada media, foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menulis pada media, foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Di tengah perbincangan hangat mengenai topik menulis di media pada grup WhatsApp kelas ASN Menulis, pembimbing pada kelas tersebut berkata dalam sebuah chat.
ADVERTISEMENT
“Sering-seringlah membaca karya sastra, menulis di media bukanlah menulis laporan atau karya ilmiah,” ujarnya saat itu.
Saya terdiam, lalu mencoba mengingat-ingat karya sastra apa saja yang pernah saya baca. Mata saya kemudian mulai beralih pada chat berikutnya.
“Libatkanlah pembaca dalam tulisan kita, terutama emosi bahkan juga drama. Untuk itu, karya sastra dapat menambah diksi tanpa mengaburkan makna dalam tulisan kita,” tambahnya waktu itu.
Sesaat kemudian, muncul lagi chat lanjutan, “Hal ini dilakukan agar pembaca tak jemu membaca tulisan,” sambungnya kemudian.
Saya mulai membaca pesan-pesan tersebut secara berulang-ulang, menjalinnya dalam pikiran dan meresepinya dalam ingatan. Kepala saya mulai mengangguk-angguk.
Saya teringat dengan sebuah istilah.
Ingatan tentangnya terus berdenyut, seperti sedang saling sikut dalam pikiran yang sedang carut-marut. Belum sempat saya mengingat namanya, chat dibalas dengan sebuah pertanyaan.
ADVERTISEMENT
“Kak, bagaimana caranya agar ide tidak hilang ditengah jalan saat kita menulis?” tanya seorang peserta dalam chat tersebut.
Pembimbing lalu menjawab dengan sebuah jawaban singkat namun sepadan. Barangkali itulah yang seringkali kita lupakan.
“Mulailah bercerita,” jawabnya kemudian.
Seiring dengan berakhirnya chat tersebut, sayapun mulai teringat dengan istilah tadi, staccato.
Pertemuan saya dengan staccato dimulai setelah saya selesai kuliah. Ia mengenalkan dirinya saat saya sudah mulai lelah dengan karya ilmiah, dia mengenalkan dirinya, malu-malu tapi ramah.
Kami bercengkerama, hangat dan penuh semangat, permainan kata-katanya meloncat-loncat. Di saat saya asyik menyimak, tiba-tiba dia berhenti dan memaksa diri meraih titik. Seperti itulah gayanya, unik, kalau bukan disebut yang terbaik.
Saya tak sadar, staccato telah berani menjamah pikiran, kata-kata maupun tulisan. Namun, pertemuan itu ternyata hanyalah sebatas teman. Dia tidak mampu membantu mengisi hari-hari saya lewat tulisan.
ADVERTISEMENT
Motivasi saya menulis saat itu sudah hilang, keinginan tersebut hanyalah sebuah harapan dan akhirnya berujung pada sebuah alasan, yaitu kesibukan.
“Sibuk adalah satu kata yang disediakan oleh Bahasa Indonesia, untuk mewakili ketidakmampuan kita dalam membuat prioritas,” tulis sebuah buku mengenai motivasi menulis yang saya baca kemudian.
Di beberapa buku lain yang saya baca tentang menulis, saya juga diingatkan oleh sebuah pesan, “Menulis itu mudah, seorang sarjana pasti sudah pernah menulis skripsi, itu adalah tulisan.”
Mengikuti ASN Menulis bukannya tanpa alasan. Saya ingin dikenal sebagai seorang ASN yang mampu menginspirasi dan berkontribusi lewat tulisan, lalu saya publikasikan, di media tentunya. Ternyata dari ASN Menulis inilah saya bertemu (lagi) dengan seorang teman, staccato.
ADVERTISEMENT
Istilah staccato sering digunakan dalam dunia musik, yaitu cara memainkan atau menyanyikan atau memperdengarkan suatu nada atau serangkaian nada pendek-pendek, terputus-putus. Dari istilah ini kemudian maknanya berkembang dan sering digunakan sebagai gaya menulis.
Gaya menulis staccato adalah gaya menulis paragraf dengan kalimat sederhana, padat namun memikat. Paragraf yang pendek dan kalimat yang padat akan memudahkan penulis dan juga pembaca.
Terlebih, saat ini orang lebih senang membaca secara daring pada layar ponsel yang sempit.
Arti staccato bukanlah gaya menulis yang kaku, ia hanya sebuah istilah gaya dalam menulis. Staccato bukan gaya tulisan model naratif deskriptif yang berisi kalimat menjuntai panjang-panjang.
Kesukaan gaya menulis staccato tergantung selera penulis maupun pembaca. Ada penulis yang mahir dalam merangkai kata dan paragraf panjang berisi kata-kata yang memikat pembaca, sehingga ia tak membutuhkan gaya tersebut.
ADVERTISEMENT
Gaya menulis staccato adalah gaya tulisan yang sering digunakan dalam menulis pada cerita pendek (cerpen). Penulis dengan gaya ini diantaranya adalah Djenar Maesa Ayu, bahkan cerpennya ia beri judul sama, Staccato, (2007).
Gaya staccato telah berkembang sejak lama, terutama saat kemunculan jurnalisme sastra. Setahu saya, penulis yang sering menulis dengan gaya ini adalah Dahlan Iskan.
Staccato adalah gaya tulisan yang sering saya gunakan saat menulis cerpen waktu kuliah dahulu, cerpen tersebut tidak sempat dipublikasikan, tulisan-tulisannya hanya terpendam pada sebatas buku harian atau berujung pada coret-coretan yang tersimpan di lemari yang menempel pada dinding "kos-kosan".
Saya belum pernah menulis opini di media dengan gaya menulis staccato. Ke depan, saya akan menulis berbagai opini terkait kepakaran di media daring maupun koran, tentu saja ditemani oleh seorang teman, staccato.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disebutkan Coach Fathurrohman, pembimbing pada kelas ASN Menulis, “Cobalah pelan-pelan, buatlah kalimat-kalimat pendek dalam sebuah tulisan, tanpa harus menghilangkan pesan yang ingin disampaikan.”