Sebagai Perantau di Jakarta, Aku Setuju Hidup di Ibu Kota Itu Keras

Aprilia Sadatul Zahrah
Mahasiswa semester 3 jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Bina Nusantara
Konten dari Pengguna
4 Februari 2023 12:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aprilia Sadatul Zahrah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pantai Ancol. Foto: Dokumentasi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Pantai Ancol. Foto: Dokumentasi Penulis
ADVERTISEMENT
Istilah “Jakarta Keras” kerap kali kita dengar, bukan? Namun, tidak banyak masyarakat di luar sana yang paham betul maksud istilah “Jakarta Keras” dan mengapa istilah tersebut tercipta dan dilontarkan banyak perantauan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Bagi para calon perantau, Jakarta adalah kota yang bisa mengantarkan mereka ke arah kesuksesan, kekayaan, dan kemewahan yang serba ada.
Sejujurnya, pemikiran tersebut juga yang menjadi alasan saya untuk memutuskan melanjutkan pendidikan S1 di Jakarta. Namun, pemikiran tersebut berubah setelah saya menginjakkan kaki dan menjalani kehidupan di Jakarta.
Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta. Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Banyak faktor pendorong yang menyebabkan saya mengubah perspektif saya mengenai Jakarta dan setuju dengan istilah "Jakarta Keras".
Dan setelah menjalani kehidupan selama kurang lebih satu tahun di Jakarta, saya menyimpulkan bahwa alasan terciptanya istilah "Jakarta Keras".
Karena hal-hal tersebut juga, akhirnya saya percaya bahwa hidup di ibu kota itu keras. Ada beberapa yang bisa menyebabkan para perantau mengalami culture shock di antaranya:
ADVERTISEMENT

1. Gaya Hidup

Situasi dan Kondisi Kereta Rel Listrik pada Malam Hari. Foto: Potret Penulis
Setiap lingkungan tentu memiliki gaya hidup yang berbeda, namun bukan berarti semua masyarakat yang terdapat dalam lingkungan tersebut memiliki gaya hidup yang sepenuhnya sama.
Tetapi, menurut pengamatan saya mayoritas masyarakat Jakarta memiliki gaya dan pola kehidupan yang sama. Jangan kaget apabila saat berkunjung ke Jakarta melihat para pekerja yang berangkat pagi dan pulang larut malam.
Namun, yang lebih menjadi fokus utama ialah waktu persiapan menuju ke tempat kerja, berbeda dengan kota besar lain yang apabila melakukan persiapan berangkat kerja di waktu yang mepet dengan jam mulai kerja, rata-rata pekerja Jakarta cenderung melakukan persiapan minimal 3 jam sebelum jam kerja dimulai.
Terlebih bagi pekerja yang harus menyiapkan sarapan terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena mode transportasi dan jalanan di Jakarta yang cenderung lebih padat dibanding dengan kota besar lainnya, terlebih bagi pekerja yang menggunakan kendaraan umum seperti kereta, busway, dan angkot yang mengharuskan mereka untuk berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan.
Ilustrasi Kamar Kos Foto: Dok. Shutterstock
Selain kendaraan dan waktu persiapan, para perantau Jakarta cenderung menghabiskan pengeluaran yang lebih tinggi dibanding saat di daerah asli mereka. Baik dari kebutuhan makan, tempat tinggal, dan kebutuhan primer lainnya yang membutuhkan angka yang lebih tinggi dibanding di daerah.
ADVERTISEMENT
Rata-rata harga makanan yang paling murah yang saya temui berkisar sepuluh ribu rupiah untuk sekali makan dan itu pun hanya mendapatkan nasi dengan porsi yang lebih sedikit dan satu telur balado saja.
Selain makanan, rata-rata sewa tempat tinggal di Jakarta untuk ukuran kost dengan harga paling murah berkisar di atas 1 juta rupiah per bulan, dan akan berbeda dengan sewa apartemen dan kontrakan yang tentunya membutuhkan biaya yang lebih besar.
Tidak sedikit para perantau yang merasakan culture shock akibat gaya hidup yang mau tidak mau harus dijalani apabila ingin bertahan hidup di Jakarta.

2. Lingkungan

Ilustrasi Lingkungan Kerja di Jakarta. Foto: Potret Penulis
Selain gaya hidup, istilah "Jakarta Keras" juga disebabkan karena lingkungan Jakarta yang lebih keras dibanding di daerah. Mayoritas masyarakat Jakarta yang menganut sikap individualisme menjadi salah satu penyebab para perantau merasakan culture shock terlebih bagi perantau yang tidak memiliki sanak saudara.
ADVERTISEMENT
Selain sikap individualisme yang rata-rata dimiliki oleh masyarakat Jakarta, saya juga menilai bahwa rata-rata masyarakat Jakarta menggunakan bahasa yang cenderung menghindari basa-basi/
Sikap kritis yang rata-rata dimiliki oleh masyarakat Jakarta akan membuat para perantau yang terbiasa tidak enakan sehingga jarang mendapatkan dan memberikan komentar akan merasakan culture shock apabila bersosialisasi dengan masyarakat Jakarta secara langsung.
Sebab, mayoritas masyarakat Jakarta yang saya temui cenderung lebih blak-blakan dan profesional terhadap sesuatu yang mereka kerjakan, apabila mereka kurang puas atau tidak menyukai hasil kerja kita, mereka cenderung akan memberikan kritik tanpa label basa-basi.
Selain sikap, besar kemungkinan karena Jakarta merupakan salah satu kota multicultural akan membuat para pengunjung yang sudah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan dan budaya yang sama mengalami culture shock.
ADVERTISEMENT

3. Sikap kompetitif

Ilustrasi Sikap Kompetitif yang Terdapat di Lingkungan Jakarta. Foto: Potret Penulis
Faktor lain yang menyebabkan istilah "Jakarta Keras" bagi kalangan perantau sehingga membuat mereka mengalami culture shock yakni sikap kompetitif yang dimiliki oleh rata-rata masyarakat Jakarta, istilah "menjilat" dan "cari muka" sudah tidak asing di kalangan pekerja.
Sikap kompetitif dari rata-rata masyarakat Jakarta menyebabkan para pelaku nya berlomba-lomba untuk terlihat dan memiliki value yang lebih baik dibanding partner kerjanya.
Sehingga apabila perantau daerah yang memutuskan untuk bekerja di lingkungan Jakarta akan membuat mereka mengalami culture shock atau bahkan mungkin sikap kompetitif yang dimiliki oleh rata-rata pekerja Jakarta akan membuat mereka tertinggal jauh.
Dari ketiga faktor yang telah dijelaskan, semoga dapat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai alasan terbentuknya istilah "Jakarta keras" di kalangan para perantau daerah dan sebab-sebab para perantau daerah mengalami culture shock di Jakarta.
ADVERTISEMENT