Konflik Rusia-Ukraina: Apa Pengaruhnya bagi Perekonomian Indonesia?

Aprila Rizki Adhie Widodo
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
7 Januari 2023 13:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aprila Rizki Adhie Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keberadaan Rusia dan Ukraina memiliki akar sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan. Pada tahun 1991, Uni Soviet runtuh dan terpecah menjadi 15 negara, termasuk Rusia dan Ukraina.
ADVERTISEMENT
Walaupun memiliki sejarah yang panjang, namun keduanya tidak pernah akur dan kerap diterpa berbagai konflik.
Pada tahun 2013, ketika dipimpin oleh rezim Viktor Fedorovych Yanukovych, Ukraina menjalin aliansi yang cukup kuat dengan Rusia dan memiliki niatan untuk bergabung dengan masyarakat ekonomi di bawah komando Rusia. Namun, ketika diadakan referendum, lebih dari setengah masyarakat Ukraina memilih bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa.
Menyadari hasil referendum berbanding terbalik dengan keinginan Rusia, Yanukovych secara sepihak membatalkan hasil referendum tersebut. Sontak, masyarakat yang geram mengadakan demonstrasi besar-besaran yang berujung pada penggulingan rezim Yanukovych.
Setelah rezim Yanukovych tumbang, Ukraina mengadakan pemilihan presiden secara demokratis. Terpilihlah Oleksandr Valentynovych Turchynov sebagai jawaranya.
Baru seumur jagung masa pemerintahan rezim Turchynov berkuasa, dia dihadapkan dengan aneksasi Semenanjung Krimea oleh Rusia yang notabene merupakan bagian dari Ukraina. Tindakan tersebut menuai kecaman dunia internasional karena tindakan agresif Rusia melanggar Memorandum Budapest tahun 1994.
ADVERTISEMENT
Masa kepemimpinan Turchynov harus berakhir pada tahun 2019 karena kalah suara di pemilihan umum. Yang mengalahkan Turchynov di pemilihan umum presiden ternyata merupakan pemain baru di kancah perpolitikan Ukraina. Sosok tersebut adalah Volodymyr Zelensky yang kemudian didaulat menjadi presiden ke-6 Ukraina.
Namun, ketika rezim Zelensky berkuasa, bukan kejayaan yang diraih, justru nestapa yang hadir. Langkah-langkah politik Zelensky dipandang sebagai antitesis kebijakan rezim Putin. Tidak hanya mendorong Ukraina untuk bergabung ke dalam Uni Eropa, dia juga melakukan sejumlah lobby agar dapat meloloskan Ukraina sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Hal tersebut tentu menyulut api kemarahan Kremlin. Tanpa pikir panjang, pada bulan Februari 2022, Rusia mengerahkan armada militernya untuk menginvasi wilayah Ukraina.
ADVERTISEMENT
Konflik Rusia-Ukraina berawal dari perbedaan pandangan politik. Ukraina tidak ingin menjadi negara yang selalu didikte oleh Rusia dan memutuskan untuk bergabung menjadi anggota Uni Eropa. Di lain sisi, Rusia memandang langkah berani Ukraina tersebut sebagai ancaman bagi kepentingan Rusia dari segi keamanan, politik, ekonomi, dan ideologi.

Dampak bagi Kinerja Perdagangan Indonesia

Kinerja perdagangan Indonesia dapat tersendat apabila konflik dua negara di Eropa Timur tersebut berlangsung kian memanas. Sejumlah harga bahan pangan di dalam negeri berpotensi mengalami kenaikan akibat menurunnya ekspor nonmigas dan terganggunya impor gandum dari kedua negara tersebut.
Sejatinya, nilai perdagangan Indonesia dengan Rusia maupun Ukraina tidak terlalu besar. Baik untuk ekspor maupun impor, hanya terdampak sekitar 1% akibat konflik yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun, komoditas perdagangan ke kedua negara merupakan komoditas yang cukup penting bagi Indonesia, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya.
Menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag), total nilai perdagangan Indonesia dengan Rusia pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing USD 1,93 miliar dan USD2,74 miliar.
Adapun komoditas ekspor Indonesia ke Rusia antara lain CPO dan turunannya, karet dan produk karet, sepatu, elektronik, cokelat, dan kopi. Sementara komoditas impor Indonesia dari Rusia antara lain besi baja dan produk kimia.
Selanjutnya, total nilai perdagangan Indonesia dengan Ukraina pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing mencapai USD 1,18 miliar dan USD 1,45 miliar. Sebaliknya, trend perdagangan antara Indonesia dengan Ukraina cenderung meningkat.
Adapun komoditas ekspor Indonesia ke Ukraina antara lain CPO dan produk turunannya, kertas, dan bubuk cokelat. Sementara itu, komoditas impor Indonesia dari Ukraina adalah biji dan tepung gandum, serta besi.
ADVERTISEMENT

Dampak terhadap Harga Komoditas di Indonesia

Konflik Rusia-Ukraina turut memberi andil pada kenaikan harga energi secara global.
Pada satu sisi, konflik Rusia-Ukraina akan memberi 'berkah' bagi Indonesia karena porsi penjualan ekspor batu bara akan meningkat, mengingat Indonesia adalah negara eksportir batu bara termal terbesar di dunia.
Di sisi lain, Indonesia harus gigit jari karena dihadapkan dengan kemungkinan defisitnya neraca perdagangan akibat kenaikan harga minyak global.
Kenaikan harga minyak ini akan menekan kondisi fiskal Indonesia karena meningkatnya beban subsidi, khususnya untuk penggunaan BBM dan LPG yang ditanggung APBN.
Perkembangan Kinerja Perdagangan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina (dalam Juta USD) USD 1 per barel akan berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kenaikan ICP juga memberikan dampak terhadap subsidi dan kompensasi listrik, di mana setiap kenaikan ICP sebesar USD 1 per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp 295 miliar.
Harga komoditas lain, khususnya gandum, juga berpotensi mengalami kenaikan akibat konflik Rusia-Ukraina.
Saat ini, Rusia dan Ukraina masuk ke dalam jajaran negara penghasil gandum terbesar di dunia. Menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), pada tahun 2021, kedua negara tersebut masing-masing menyumbangkan sekitar 14% dan 12% dari total produksi gandum dunia. Sebagai negara importir gandum, kenaikan harga ini akan sangat berpengaruh bagi Indonesia.
Akibat konflik, pasokan gandum impor, baik dari Rusia maupun Ukraina, akan terganggu. Hal tersebut akan berefek pada kenaikan harga pangan yang berbahan dasar gandum, seperti tepung terigu, mi, roti, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, mau tidak mau, Indonesia harus bersiap menghadapi inflasi yang tidak terkendali akibat masih sangat bergantung terhadap dua komoditas impor, yaitu minyak bumi dan gandum, yang berimbas pada kenaikan harga komoditas lainnya.