Konten dari Pengguna

Campur Tangan Politik Terhadap Pers Pada Masa Orde Baru

Aprilia ardia
Saya Aprilia Ardia Ningrum, Saya adalah Mahasiswi UPN "Veteran" Yogyakarta, Prodi ilmu Komunikasi
7 Juni 2022 21:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aprilia ardia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Campur Tangan Politik Terhadap Pers Pada Masa Orde Baru
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Keinginan menerbitkan surat kabar di Hindia Belanda saat itu sebenarnya sudah sangat lama, tetapi selalu terhambat oleh pemerintah VOC. Baru setelah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, terbit surat kabar "Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen" yang artinya "Berita dan Penalaran Politik Batavia" pada 7 Agustus 1744.
ADVERTISEMENT
Pada 1851, "De Locomotief" terbit di Semarang. Surat kabar ini memiliki semangat kritis terhadap pemerintahan kolonial dan pengaruh yang cukup besar. Abad ke-19, untuk menandingi surat kabar-surat kabar berbahasa Belanda, muncul surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa meskipun para redakturnya masih orang-orang Belanda, antara lain "Bintang Timoer" (Surabaya, 1850), "Bromartani" (Surakarta, 1855), "Bianglala" (Batavia, 1867), dan "Berita Betawie" (Batavia, 1874).
Pada 1907, terbit "Medan Prijaji" di Bandung yang dianggap sebagai pelopor pers nasional karena diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kali, adalah Tirto Adhi Soerjo. Ketika Jepang berhasil menaklukkan Belanda dan akhirnya menduduki Indonesia pada 1942, kebijakan pers turut berubah.
September hingga akhir 1945, pers nasional makin kuat ditandai dengan penerbitan "Soeara Merdeka" di Bandung dan "Berita Indonesia" di Jakarta, serta beberapa surat kabar lain, antara lain "Merdeka", "Independent", "Indonesian News Bulletin", "Warta Indonesia", dan "The Voice of Free Indonesia".
ADVERTISEMENT
Pers di Indonesia pada masa Orde Baru sangat tunduk pada sistem politik atau pemerintah. Pada masa ini, sebuah perusahaan pers yang akan didirikan harus memiliki Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) yang diatur dalam Permenpen No.01/Pers/Menpen 1984, yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan (DEPPEN). Hal ini dapat dinilai bahwa pemerintah memiliki legitimasi dalam mengekang kebebasan pers, padahal dalam UU Pokok Pers No. 11 tahun 1996 mengatur dan menjamin kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan. Akibatnya, pers menjadi sangat hati-hati dalam pemberitaannya, banyak menyembunyikan fakta-fakta yang seharusnya diungkapkan kepada masyarakat, sehingga pers pada masa itu kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial. Pers menjadi berat sebelah dan kehilangan otonominya.
Pada masa sekarang, pers terkesan menjadi corong pemerintah dalam menyiarkan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Besarnya dominasi pemerintah terhadap pers dapat dilihat dari pembredelan media Tempo, Editor, dan Detik pada tanggal 21 Juni 1994. Pada masa Orde Baru, pembentukan organisasi kewartawanan juga sangat dibatasi. Pada masa itu, hanya ada satu organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang dicap sebagai organisasi wartawan yang berada di bawah pemerintah. Pasca Kasus pembredelan majalah Tempo, Editor, dan Detik terbentuklah AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) yang merupakan wujud ketidakpuasan terhadap PWI.
ADVERTISEMENT
Orde baru memandang bahwa dengan penerapan stabilitas politik maka percepatan pertumbuhan ekonomi akan tercapai. Setiap aspek kehidupan sosial dan politik harus dikendalikan oleh pemerintah. Perlawanan atas kebijakan ini akan dikenakan hukuman dengan cara yang represif. Stabilitas nasional inilah yang menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.
Dengan adanya campur tangan politik maka kekuasaan pemerintah menjadi besar. Sehingga sering kali menimbulkan dampak negatif antara lain korupsi. Hal tersebut terjadi karena mekanisme kontrol yang lemah. Lambat laun tindakan pengendalian politik terhadap masyarakat diikuti dengan praktik hukum yang represif untuk memberikan hukuman kepada mereka yang memiliki pandangan berbeda terhadap pemerintah.
Akibatnya, kebebasan pers direduksi dengan praktik pengendalian dan pembungkaman. Kebebasan berpendapat yang diaktualisasikan oleh media massa menjadi hilang. Praktik pengendalian pers ini akibat dari campur tangan politik sehingga bertentangan dengan nilai demokratis.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perkembangan pers pada masa Orde Baru diwarnai campur tangan pemerintah dengan adanya Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) dimana pemerintah memiliki legitimasi dalam mengekang kebebasan pers.