Agenda Politik Bencana Alam

A Satria Pratama
Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM/Penulis topik-topik politik/Peminat isu-isu kepartaian dan politik ekologi
Konten dari Pengguna
23 November 2021 11:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Satria Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Memperkenalkan Capres (Calon Presiden) adalah agenda politik yang penting untuk dilakukan. Namun demikian, memaksakan penyelenggaraannya di tengah bencana alam tentu memunculkan konsekuensi.

ADVERTISEMENT
Meski Pemilihan Umum (Pemilu), khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres), di Indonesia baru akan diselenggarakan kembali pada 2024 nanti, namun demikian kontestasi elektoral sebenarnya sudah dimulai hari-hari ini. Hal tersebut terkonfirmasi, salah satunya dari nama-nama kandidat Presiden yang mulai disebarluaskan kepada publik, meski tentu, belum final.
ADVERTISEMENT
Tetapi masalahnya, bahkan ketika pekan ketiga November 2021 belum usai, bencana di Indonesia sudah terjadi dengan demikian berbahaya. Adapun dua bencana besar yang tindak lanjutnya belum usai dilakukan bahkan hingga tulisan ini tuntas disusun adalah banjir di Batu, Malang dan Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar). Sebagaimana diketahui, masing-masing dari bencana yang terjadi di 2 (dua) daerah tersebut sampai menimbulkan korban jiwa.
Hubungan representatif antara elite dan masyarakat, oleh karenanya, terindikasi tidak sinkron. Buktinya, para elite bisa dengan entengnya memperjuangkan wacana nama-nama kandidat Presiden di tengah situasi masyarakat yang sedang berjuang untuk menormalisasi kehidupan (termasuk kehidupan pasca merebaknya Virus Corona di Indonesia). Di sisi lain, tindakan-tindakan politik elektoral semacam itu, sebenarnya, masih bisa diselenggarakan di waktu lain yang lebih tepat.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, harus pula diakui bahwa terkadang, dinamika politik memproduksi logikanya sendiri. Dampaknya, tidak mudah bagi siapapun, dari kalangan manapun, untuk memastikan agar gembar-gembor mengenai kandidasi Presiden tidak dilakukan di tengah terjadinya bencana. Biar bagaimanapun, politik adalah unit analisis independen yang dinamikanya terlalu kompleks untuk disederhanakan.
Akhirnya, alih-alih menyoroti secara berlebihan tindakan-tindakan elektoral para politisi yang sedang menggandrungi wacana kandidasi Presiden di tengah bencana, tulisan ini justru ingin menyajikan saja konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari tindakan elektoral tersebut, khususnya dari sisi kandidat. Termasuk di dalamnya adalah kerugian-kerugian dan ekspektasi masyarakat terhadap kandidat.
Konsekuensi Kandidat
Kalaupun terdapat keuntungan bagi kandidat, tidak etis rasanya untuk tetap menyebutnya sebagai keuntungan, terlebih secara terang benderang, di atas bencana yang sedang terjadi di mana-mana. Oleh karenanya, konsekuensi logis adalah istilah yang mungkin lebih tepat digunakan karena terdengar lebih netral.
ADVERTISEMENT
Adapun konsekuensi logis tersebut lantas merujuk pada dilema yang dialami oleh para kandidat, khususnya yang berasal dari kalangan kepala daerah. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mampu memanfaatkan elektabilitas tinggi yang mungkin saja tidak terulang di masa mendatang. Tetapi di sisi lain, mereka juga dituntut untuk menjalankan tugas-tugas kepala daerah yang birokratis sebagaimana mestinya. Dilema tersebut tentu bukan hanya harus diperhatikan, melainkan juga harus diantisipasi. Jika tidak, situasi-situasi konfliktual berpotensi muncul dan merusak tatanan politik yang selama ini telah dibangun.
Adapun contohnya adalah ketika kandidat, yang masih menjadi kepala daerah aktif, jadi dituntut untuk ikut memberikan pernyataan, meski sekadar ungkapan keprihatinan, kepada daerah lain yang sedang mengalami bencana. Pernyataan tersebut jadi harus disampaikan karena faktanya, nama-nama para kandidat tersebut memang sedang dalam puncak sorotan media. Di tingkat nasional, nilai beritanya sedang tinggi.
ADVERTISEMENT
Kehati-hatian dalam menyampaikan pesan, dengan demikian jadi penting untuk diperhatikan agar tidak justru memunculkan konflik antar pejabat politik. Apalagi karena, gubernur/bupati/wali kota dari daerah yang sedang dilanda bencana tersebut juga telah menyelenggarakan berbagai kebijakan untuk menangani bencana yang sedang terjadi di daerahnya.
Kandidasi Capres di tengah bencana memunculkan konsekuensi. Sumber foto : Sejumlah bank di Sungai Durian Kelurahan Kapuas Kanan Hulu, Kecamatan Sintang, terpaksa menutup pelayanan karena banjir dalam. (Foto: Yusrizal/Hi! Pontianak) https://kumparan.com/hipontianak/banjir-di-sintang-sejumlah-bank-terpaksa-tutup-sekolah-diliburkan-1wrINBniKlx
Kerugian Kandidat
Namun demikian, jika ditilik secara lebih mendalam, kerugiannya justru terpampang secara lebih nyata. Tulisan ini lantas berusaha untuk menyorot 3 (tiga) saja kerugian-kerugian tersebut di antara banyak lainnya. Yaitu, kandidat jadi dianggap meremehkan etika, kinerja kandidat sebagai kepala daerah jadi bisa terganggu dan kandidat jadi disalahkan atas bergesernya wacana bencana nasional. Adapun penjelasannya secara lebih rinci adalah sebagai berikut.
Kerugian pertama adalah kandidat jadi dianggap tidak mengindahkan etika karena justru memilih untuk terus menerus membicarakan kekuasaan di tengah bencana yang sedang terjadi di mana-mana. Adapun benar bahwa bencana tersebut sudah ditangani oleh unit-unit pemerintah. Namun demikian, penanganan tersebut merujuk pada respons yang dilakukan di ranah formal, bukan etika. Padahal, yang sedang menjadi fokus dari situasi tersebut adalah perihal etika politiknya. Ujungnya, alih-alih mendapat simpati, kandidat justru bisa kehilangan suara karena dianggap tidak mampu merasakan situasi sulit yang sedang dialami para korban bencana.
ADVERTISEMENT
Kerugian kedua adalah kinerja kandidat, terutama yang berlatar belakang kepala daerah yang berpotensi terganggu. Adapun hal tersebut terjadi karena proses kandidasi Presiden hanya bisa dilakukan di tingkat nasional. Sementara sebaliknya, kepala daerah justru harus bertugas di tingkat lokal. Di sisi lain, peran kepala daerah sedang dibutuhkan dalam wujud yang sekonkret-konkretnya. Pencampur-adukkan urusan-urusan nasional-lokal dan politik-birokrasi tersebutlah yang lantas berpotensi mengganggu kinerja kandidat, khususnya yang sedang menjadi kepala daerah.
Adapun kerugian ketiga adalah kandidat jadi disalahkan atas bergesernya wacana bencana nasional. Bencana sendiri, sebagaimana diketahui perlu disorot media agar lekas menjadi perhatian publik. Biasanya, setelah menjadi perhatian publik, kebijakan-kebijakan, atau keputusan-keputusan dari para decision maker akan cepat dibuat untuk menanggulanginya. Adapun mengingat sulitnya situasi di lapangan, terutama bagi masyarakat terdampak, bencana tentu layak menjadi berita nasional.
ADVERTISEMENT
Kandidasi Presiden, yang juga mengambil ruang nasional, lantas berkontestasi dengan berita mengenai bencana tersebut. Dampaknya, bencana sebagai berita nasional jadi dikalahkan oleh berita mengenai kandidasi Presiden. Bagi lawan politik, tentu situasi ini penting untuk dimanfaatkan. Lawan politik akan selalu menyalahkan kandidat Presiden tertentu yang lantas mengambil porsi bencana sebagai berita utama. Dampaknya, kandidat jadi memperoleh label negatif. Seolah-olah, berita bencana tidak boleh tampil dalam frekuensi yang lebih tinggi daripada berita mengenai kandidasinya.
Ekspektasi
Meski demikian, karena sudah kepalang basah, masyarakat, yang sebetulnya juga sedang menjadi kandidat pemilih, jadi merasa perlu untuk merespons kehadiran para kandidat Presiden tersebut meski hanya secara tematik, khususnya dalam hal penanganan bencana. Minimal, respons tersebut diwujudkan dalam ekspektasi kepada kandidat Presiden.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, ekspektasi tersebut lantas terbagi ke dalam jangka pendek dan panjang. Jangka pendek merujuk pada ekspektasi agar para kandidat Presiden tersebut bisa mulai menunjukkan kebermanfaatannya dalam hal penanganan bencana secara real time pada saat ini. Sementara jangka panjang merujuk pada ekspektasi agar para kandidat Presiden tersebut bisa menyiapkan program-program yang lebih baik dalam hal penanganan bencana di masa mendatang.
Dalam konteks jangka pendek, kandidat Presiden dipandang mampu untuk menginstruksikan relawan pendukungnya agar bersedia membantu proses pemulihan masyarakat yang sedang terdampak bencana. Sehingga jika benar bisa dilakukan, kelompok-kelompok yang bertugas untuk membantu masyarakat dalam menangani bencana jadi semakin komplit. Bukan lagi hanya mewakili unsur pemerintah, masyarakat, atau mungkin parpol dan lembaga swadaya tertentu, melainkan juga bisa datang dari relawan kandidat Presiden itu sendiri. Dampaknya, masyarakat jadi cepat pulih dan di saat yang sama, persaudaraan antar sesama warga negara jadi semakin kuat. Adapun secara politik, meski tidak dilakukan untuk niat politis sekalipun, namun demikian kandidat Presiden yang bersangkutan akan tetap memperoleh benefit elektoral.
ADVERTISEMENT
Adapun dalam konteks jangka panjang, kandidat Presiden diharapkan bisa mengambil pelajaran dari model penanganan bencana yang selama ini sudah dilakukan. Faktanya, bencana di Indonesia masih perlu diantisipasi secara lebih baik di masa mendatang, terlebih dari sisi pencegahannya. Besar harapan, ketika salah satu dari kandidat Presiden yang namanya sedang wira-wiri muncul di media tersebut pada akhirnya menjadi Presiden, program-program penanganan bencana jadi bisa diselenggarakan secara lebih solutif. Penanganan bencana hari ini, dengan demikian, mestinya bisa menjadi preseden bagi para kandidat Presiden.