Jokowi, Pariwisata, dan Sandiaga

A Satria Pratama
Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM/Penulis topik-topik politik/Peminat isu-isu kepartaian dan politik ekologi
Konten dari Pengguna
6 Mei 2021 13:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Satria Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menparekraf Sandiaga Uno Foto: Dok. Kemenparekraf
zoom-in-whitePerbesar
Menparekraf Sandiaga Uno Foto: Dok. Kemenparekraf

Artikel ini berupaya untuk memperkirakan motivasi Presiden mempercayakan urusan pariwisata kepada Sandiaga, dari segi kepakaran dan politik.

ADVERTISEMENT
Sebelum jauh mengelaborasi hubungan antara pariwisata dan Sandiaga, sebagaimana kita ketahui, jumlah kasus aktif COVID-19 di Indonesia masih mengalami peningkatan. Rumah sakit yang kewalahan, pasien yang silih berganti masuk ruang perawatan hingga mutasi virus yang mengalami pembaruan adalah segenap berita, cerita dan derita yang masih dominan menyusun kenyataan.
ADVERTISEMENT
Pendek kata, bahkan ketika pandemi telah menunjukkan kekuasaan atas penduduk Indonesia selama lebih dari 13 bulan, situasi belum benar-benar melegakan. Alih-alih aman, pandemi hari ini justru memproduksi konsekuensi yang semakin mengkhawatirkan.
Merespons situasi di atas, setelah sempat hilang selama tiga atau empat bulan, kampanye “di rumah saja” kembali merangkak ke permukaan. Praktisi mengembuskannya lagi demi kesehatan. Besar harapan, ketika manusia tidak bepergian, virus akan sulit mendapatkan tujuan. Sehingga virus mati perlahan.
Sehingga pandemi bisa dituntaskan. Dengan demikian, bagi sudut pandang kesehatan, “di rumah saja” sama sekali bukan seruan sembarangan. Masalahnya, kesehatan tak selalu kongruen dengan ekonomi. Ada kalanya mereka berbeda opsi. Termasuk ketika keduanya harus berbarengan merespons pandemi. Berkebalikan dengan kesehatan, ekonomi tidak mungkin mengeksekusi “di rumah saja” secara murni.
ADVERTISEMENT
Apalagi karena, biar bagaimanapun, ekonomi tinggi dipengaruhi oleh mobilitas yang terjadi. Jika dilarang, transaksi jual beli akan terhenti. Ujungnya, pasar akan mati. Setelahnya, kita tahu apa yang akan terjadi; resesi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Sayang sekali, tetapi faktanya, pariwisata adalah bagian dari semesta ekonomi. Keputusan pemerintah untuk menghentikan wira-wiri akan memunculkan konsekuensi. Teknisnya, rentetan persoalan akan satu demi satu terjadi. Destinasi wisata akan sepi. Lalu produk dan jasa wisata akan over supply. Lalu harga pasar akan terkoreksi. Lalu vendor akan secara tidak sehat berkompetisi. Ujungnya, turbulensi.
Saya lantas membaca sebuah artikel pada akhir pekan. “Pandemi Belum Usai, Industri Wisata RI Rugi Rp 85,7 Triliun”, judulnya demikian. Adapun sebagai penulis, Deutsche Welle (DW) memilih Detik Travel sebagai laman. Di dalamnya, PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) menyajikan data menyedihkan. Bahwa lokasi wisata di Indonesia, selama pandemi hanya dikunjungi sekitar 2,8 juta wisman. Mentok di 4 juta kalau dipaksakan.
ADVERTISEMENT
Anda bisa bandingkan dengan situasi sebelum pandemi di mana tempat-tempat tersebut meraih 18 juta kedatangan. Sungguh, Indonesia kehilangan begitu besar pendapatan. Bahkan, Bali, yang hingga akhir tahun masih harus menutup pintu wisman, mencatat kerugian potensial sebesar Rp 9,7 triliun setiap bulan!
Namun demikian, kita patut bersyukur karena pemerintah begitu serius mengurai persoalan. Melalui berbagai program, pemerintah tampak berusaha mengembalikan pariwisata sebagai andalan. Salah satunya melalui program “Book Now Travel Later” ketika Wishnutama masih memimpin kementerian. Alias, pesan sekarang, tapi jalan-jalannya kemudian.
Saya membacanya dalam artikel berjudul “Menparekraf Wishnutama Siapkan Program Book Now Travel Later” yang Detik Travel publikasikan. Bahkan, untuk periode 2021, kementerian telah menyusun quality tourism-ekonomi kreatif dan kedaulatan digital sebagai program pemulihan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pandemi belum benar-benar pergi. Masih di sini. Akibatnya, banyak peraturan perjalanan wisata yang memperlambat recovery. Dilema betul situasi hari ini. Di satu sisi, pemerintah meminta masyarakat berwisata keliling negeri. Tetapi di sisi lain, pemerintah sekaligus meminta masyarakat “di rumah saja” menjaga diri.
Dalam perjalanan lintas daerah, masyarakat bahkan harus menunjukkan hasil rapid antigen terkini. Apa daya, kenyataannya memang seperti ini. Masih tidak mudah mencampur baurkan kesehatan dan ekonomi dalam satu sisi.
Belakangan, persoalan-persoalan kepariwisataan tersebut diperhatikan Presiden Jokowi. Boleh jadi, Presiden juga ikut berkontemplasi. Bahwa jangan-jangan, ikhtiar pemulihan memang sudah sampai di ujung tepi.
Meski belum seluruhnya terbukti. Tetapi satu hal yang pasti, Presiden sampai harus mengganti menteri. Berarti, Presiden ingin agar metode pemulihan dilakukan di luar tradisi. Secara prosedural, reshuffle adalah pesan bahwa Presiden menginginkan perbaikan tata birokrasi. Namun demikian, ada pula sisi politis yang Presiden akomodasi. Yaitu ketika menteri pariwisatanya adalah Sandiaga Uno, kandidat dari “oposisi”.
ADVERTISEMENT

Penunjukan Sandiaga Uno

Melalui pengantar di atas, saya telah sampaikan bahwa pariwisata sedang menghadapi seberat-beratnya persoalan. Bertumpukan. Bertindihan. Bahkan, Presiden sampai harus mengganti pimpinan kementerian. Besar harapan, solusi muncul ke permukaan. Meski pelan-pelan. Sehingga pariwisata tak lagi mengkhawatirkan. Apalagi bentan. Sebaliknya, kembali menjadi sektor andalan.
Namun demikian, keputusan ini memproduksi keriuhan. Jokowi memberi kejutan. Sandiaga Uno, seorang “oposan”, justru diberi kepercayaan. Padahal, sebagaimana kita tahu, Sandi, demikian Sandiaga biasa disapa, selama ini memilih berada di luar pemerintahan. Pernah juga menjadi rival Jokowi-Ma’ruf ketika berebut kursi kekuasaan.
Faktanya, pariwisata bukanlah latar belakang Sandi. Tetapi menunjuk menteri hanya atas dasar kepakaran bukanlah pakem Jokowi. Buktinya, tak semua bidang bakti menteri-menteri kita hari ini linear dengan latar belakang profesi. Boleh jadi, mereka justru dipilih karena faktor yang menghasilkan habituasi.
ADVERTISEMENT
Seperti loyalitas, keberpihakan atau representasi. Mungkin juga atas faktor keterlibatan di partai politik untuk menilai pengalaman organisasi. Apa pun, yang sifatnya melengkapi kompetensi.
Lagipula, kementerian tersebut sekaligus menawarkan topik ekonomi. Dari nomenklaturnya, pariwisata dan ekonomi kreatif dipaksa bersisian dalam satu situasi. Oleh karenanya, penunjukan Sandi adalah keputusan yang justru harus diapresiasi. Dengan catatan, assesment kita rujuk dari substansi.
Meskipun demikian, penunjukan Sandi tetap mengejutkan. Apalagi jika kita gunakan perspektif politik untuk memberi penilaian. Bagaimanapun juga, Sandi adalah rival Jokowi ketika keduanya sedang berebut kekuasaan. Tepatnya tahun lalu, ketika mereka masih menjalani prosedur kepemiluan. Yaitu sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang berseberangan.
Ringkasnya, untuk menyelesaikan berbagai persoalan pariwisata yang terjadi, Presiden telah mengajukan strategi. Yaitu dengan mengganti menteri. Menukar Wishnutama dengan Sandi.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, saya meyakini bahwa keputusan Jokowi tidak lepas dari dinamika politik sehari-hari. Untuk duduk di kursi menteri, alih-alih memilih kandidat yang dulu bersusah payah memenangkannya, Jokowi malah memilih tokoh “oposisi”. Berarti, Jokowi juga menempatkan politik sebagai pertimbangan untuk memperbaiki situasi.
Oleh karenanya, menjadi penting untuk kita nanti; terkait pariwisata dan ekonomi kreatif, apakah keputusan politik, dengan memasukkan Sandi, benar-benar bisa jadi solusi?

Strategi Politik untuk Memulihkan Pariwisata

Jokowi dan Sandi pernah berbeda pandangan. Bahkan ketika Prabowo masuk kabinet duluan, Jokowi dan Sandi masih tetap berseberangan. Tetapi dinamika politik dari hari ke hari kan tidak pernah bisa disamakan. Buktinya, situasi politik mengalami perubahan. Atau perkembangan. Atau malah pembaruan.
Adapun terkait keputusannya bergabung dengan pemerintahan, Sandi tentu punya alasan. Menariknya, ia menyampaikannya dalam nada perenungan. Menurutnya, daripada terus meromantisasi peristiwa yang sudah terlewatkan, lebih baik bersatu memecahkan persoalan. Apalagi di tengah pandemi yang berkepanjangan. Juga krisis laten yang mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Termasuk di dalamnya adalah masalah-masalah pariwisata yang bervariasi, sebagaimana telah saya elaborasi pada bagian sebelum ini. Terhadap masalah–masalah tersebut, sebagai bagian dari awam, saya berharap para pejabat pariwisata mampu menghadirkan solusi. Tentu dengan asumsi, mereka memiliki semuanya; loyalitas, kompetensi dan dedikasi.
Faktanya, meski Sandi tak berlatar belakang pariwisata murni, toh Jokowi bersikeras menempatkannya sebagai menteri. Momen inilah yang, menurut saya, menceritakan banyak peri. Kondisi balik layar yang menghalangi publik untuk lebih jauh mengerti.
Tetapi setidaknya, keputusan tersebut semakin membuat kita memahami. Bahwa politik adalah aspek yang ternyata ikut dikalkulasi oleh Jokowi. Buktinya, proses tersebut menghasilkan relasi kuasa-menguasai level tinggi. Tentu jika benar-benar kita amati.
Akhirnya, sedikit-sedikit mulai bisa kita simpulkan. Bahwa ternyata, untuk memulihkan pariwisata, Jokowi lebih ingin menggunakan strategi ‘politik memangku lawan’ daripada strategi berbasis kepakaran. Jokowi paham bahwa penunjukan politis seperti ini akan menghasilkan kejutan. Juga memproduksi keriuhan.
ADVERTISEMENT
Lalu efek yang berurutan. Mulai dari sorotan. Lalu perhatian. Lalu pembicaraan. Lalu bantuan. Ujungnya, pemulihan. Sebagai politisi ulung, Jokowi telah menghitung bahwa Sandi akan memberinya dua keuntungan. Bukan hanya kompetensi, melainkan juga dampak politik yang mengesankan.

Dampak Politik Sandi

Pun apabila kita masih perlu menghitung kompetensi, saya kira separuh dari tupoksi-nya di kementerian sudah Sandi kuasai. Bagaimana tidak, baik akademik maupun praktis, Sandi begitu memahami ekonomi. Selain itu, Sandi lihai berorganisasi.
Ia sudah kenyang dengan hierarki. Ia telah merasakan tekanan di berbagai posisi. Baik di dunia usaha, partai politik, voluntarism, hingga birokrasi.
Bahwa Sandi tak punya latar belakang pariwisata murni, memang demikian yang terjadi. Tetapi masih ada waktu untuk lebih dalam mempelajari. Pendek kata, jika dilihat dari kompetensi, terutama dari aspek ekonomi, memang Jokowi harus memilih Sandi.
ADVERTISEMENT
Tetapi, sebagaimana kita cermati, Jokowi tidak ingin hanya mendapat benefit dari kompetensi. Sebagaimana premis yang telah saya sampaikan pada bagian sebelum ini, Jokowi juga menanti benefit politik Sandi. Untuk semakin memberi gambaran, keuntungan-keuntungan tersebut berusaha saya elaborasi. Berikut adalah beberapa dampak politik penunjukan Sandi terhadap pariwisata di masa pandemi.
Pertama, keuntungan komunikasi antar kementerian. Sebelum akhirnya bergabung ke dalam pemerintahan, Sandi telah terlebih dulu mengenal beberapa orang sebagai rekan. Mereka telah lama berhubungan secara kekeluargaan.
Misalnya, dengan Wakil Presiden, KH Ma’ruf Amin, yang sudah sering berceramah di masjid keluarga besarnya, dalam berkali-kali pengajian. Dengan Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, yang pernah jadi pasangan. Juga dengan Erick Thohir dan M Luthfi yang merupakan dua sahabatnya ketika sama-sama masih di luar negeri untuk menyelesaikan perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Atau dengan Bahlil Lahadalia, juniornya di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), organisasi yang mewakili kelompok kepentingan. Selain nama-nama yang telah saya sebutkan, Sandi juga telah berjejaring dengan anggota kabinet kebanyakan. Paling baru, kita juga tahu kedekatannya dengan Mensesneg, Prof. Pratikno, melalui “Bismillah, Mas”, sebagai sapaan persaudaraan.
Jejaring akan memperkuat komunikasi. Juga koordinasi. Bahkan, karena sudah luwes, bisa saja komunikasi dilakukan di luar birokrasi. Di luar hierarki. Informal tetapi tetap saling memberi instruksi. Juga koreksi.
Terutama di sektor ekonomi. Besar harapan, koordinasi tim ekonomi menjadi lebih presisi. Sehingga pencapaian ekonominya menjadi demikian tinggi. Akhirnya, saya ingin sampaikan bahwa Sandi baru saja memberi dampak politik pertama kepada Jokowi; memperkuat kedekatan informal anggota kabinet.
ADVERTISEMENT
Kedua, Sandi, sedikit banyak, mendorong dunia usaha berkenan memberi kepercayaan. Sebagaimana kita ketahui, dunia pariwisata membutuhkan anggaran pemulihan. Sayangnya, jumlahnya sama sekali tidak sedikit; triliunan.
Dengan demikian, tidak mungkin semuanya ditanggung oleh kementerian. Sebaliknya, melalui mekanisme tertentu sesuai peraturan, boleh jadi situasi ini adalah momen yang tepat bagi investor untuk mereproduksi kekayaan. Bentuknya bisa bermacam-macam; investasi, hibah, partnership atau apa pun istilah yang terkait dengan pendanaan. Bisa juga dalam bentuk uang, kerja sama sumber daya, garap lahan atau malah pelatihan.
Masih dari sektor kewirausahaan. Keuntungan lain yang Sandi beri pada Jokowi adalah warna kebijakan. Sebagai pengusaha berpengalaman, Sandi akan memoles birokrasi kementerian menjadi lebih cekatan.
Berorientasi tujuan, bukan perjalanan. Meskipun demikian, bukan berarti proses bisa disepelekan. Hanya saja, pariwisata perlu selekasnya menuntaskan pemulihan. Sehingga caranya harus menawan. Melalui penjelasan ini, Sandi telah memberi dampak politik yang kedua. Yaitu meningkatkan kepercayaan dunia usaha.
ADVERTISEMENT
Ketiga, akselerasi pemulihan ekonomi dan pariwisata. Sebelum menjadi bagian dari Istana, Sandi adalah orang yang sudah selesai dengan hidupnya. Bahkan, mungkin, tinggal jalan-jalan saja.
Melalui kanal-kanal pribadi seperti sosial media, Sandi sering berbagi aktivitas hariannya. Kadang sendirian, kadang bersama keluarga, kadang bersama kolega. Postingan-postingan tersebut lantas mendapat respons dari follower-nya.
Di Instagram misalnya, jumlahnya banyak, sampai artikel ini rilis, hampir mencapai delapan juta. Tetapi biasanya, di tengah sharing, Sandi sekalian berbagi cerita. Termasuk yang terkait dengan bidang kementeriannya.
Bagi saya, ini edukasi yang sederhana. Tetapi penuh makna. Secara informal, kita dipandu oleh medsosnya, “mengkhatamkan” Indonesia. Jika sudah demikian, maka isu ekonomi dan pariwisata akan dibicarakan oleh lebih banyak kepala. Masukan akan datang tanpa terduga.
ADVERTISEMENT
Tinggal bagaimana pemerintah mengelolanya. Tetapi yang jelas, perhatian kepada pariwisata kembali menggelora. Ujungnya, terakselerasi sempurna. Sandi memberi Jokowi dampak politik ketiga. Yaitu mempercepat pemulihan pariwisata. Justru melalui kanal millennial a la anak muda.
Keempat, jaringan. Sebagaimana kita ketahui, Sandi adalah lulusan Amerika dengan sederet pencapaian. Pada waktunya, semua proses ini menciptakan channel internasional yang akan lama bertahan.
Jejaringnya mapan. Tetapi yang penting, kolega sudah membaca surat kabar bahwa sekarang, Sandi berada di dalam pemerintahan. Menjadi menteri yang menaungi urusan kepariwisataan.
Jika kita tidak lupa bahwa pariwisata sangat tergantung pada jaringan, maka Sandi adalah keunggulan. Saya ringkas; Sandi memberi Jokowi dampak politik keempat. Yaitu menambah jaringan untuk mempercepat pemulihan.
ADVERTISEMENT
Kelima, memulihkan legitimasi. Bagaimanapun juga, Sandi pernah menjadi bagian dari kelompok yang berseberangan dengan Jokowi. Sampai hari ini, sebagian dari mereka masih memilih menyendiri. Berada di luar pemerintahan untuk melakukan konsolidasi. Pemerintah dianggap tak berhak memberi instruksi. Seolah ada jarak yang demikian jauh antara pemerintah dan kelompok ini.
Sampai akhirnya, Sandi menerima pinangan Jokowi. Saya berpendapat, masuknya Sandi akan mampu mengubah situasi. Sandi akan jadi jembatan bagi kelompok “oposisi”. Untuk berkomunikasi dengan pemerintahan Jokowi. Dalam hal ini, Sandi memang tidak sedang saya bicarakan sebagai menteri. Tetapi representasi.
Masuknya Sandi, yang sebelumnya berbeda posisi, menunjukkan pentingnya persatuan dan kesatuan untuk kembali membangun negeri. Karena biar bagaimanapun, kita sama-sama merasakan dampak pandemi. Terutama di sisi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Jika benar, semoga Sandi bisa mengerjakan tugas mulia ini. Ujungnya, keabsahan pemerintah menuju utuh kembali. Sandi memberi kontribusi atas terjadinya hal ini. Mari menyimpulkan ini. Bahwa Sandi telah memberi dampak politik keempat pada Jokowi. Yaitu memulihkan legitimasi.

Memang Harus Sandi

Jokowi memilih Sandi karena dua argumentasi. Pertama, kompetensi. Kedua, politik. Sisi kompetensi melihat Sandi sebagai tokoh yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan pariwisata dalam negeri.
Khususnya pemulihan pascapandemi. Sementara secara politis, saya ajukan lima elaborasi. Pertama, sebagai penguat koordinasi. Kedua, sebagai magnet investasi. Ketiga, informalisasi dan akselerasi pariwisata dan ekonomi. Keempat, pembuka jaringan dalam dan luar negeri. Dan kelima, jembatan komunikasi.
Di depan layar, Jokowi memilih Sandi karena kompetensi. Tetapi jika lebih dalam kita amati, Jokowi cukup sering mengedepankan pertimbangan politik daripada kepakaran untuk menunjuk menteri. Namun demikian, saya membatasi diri. Saya menggunakan premis di atas hanya untuk mengulas momentum penunjukan Sandi.
ADVERTISEMENT
Jokowi percaya bahwa pemulihan pariwisata tidak bisa dilakukan hanya melalui cara lazim. Sebaliknya, harus non-konvensional nan apik. Untuk itulah, Sandi ditunjuk oleh Jokowi bukan hanya karena kompetensi, melainkan juga karena alasan politis.