Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Jokowi Sangat Sibuk di Hari Raya
14 Mei 2021 10:19 WIB
Tulisan dari A Satria Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebelum memahami betapa sibuknya Jokowi di hari raya, penting untuk kita mengenal legitimasi terlebih dulu. Pemerintah membutuhkan legitimasi untuk menjalankan pemerintahan. Beberapa literatur memeras intisari legitimasi sebagai keabsahan untuk berkuasa. Legitimasi diperoleh secara formal dan atau informal. Legitimasi formal, biasanya, berangkat dari hasil pemilihan umum (pemilu). Semakin tinggi perolehan suara, semakin legitimate. Sementara legitimasi informal berangkat dari pembelaan-pembelaan eksplisit dan implisit terhadap implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Semakin banyak pihak yang membela, semakin legitimate. Dengan demikian, mengacu pada pola pikir tersebut, pemerintah yang sah adalah pemerintah yang memiliki legitimasi, baik dari sumber formal maupun informal.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, meski tak terlalu eksplisit, topik tersebut sedang menjadi sentrum pembicaraan. Penyebabnya, eksistensi legitimasi sedang ditantang oleh, setidak-tidaknya, tiga persoalan. Yaitu, indikasi pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), belum terkendalinya COVID-19 saat masyarakat harus mudik dan tuntutan agar pemerintah secara lebih serius membela Palestina. Benar bahwa persoalan-persoalan lain juga mencuat ke permukaan, namun demikian, belum mencapai puncak diskursus sebagaimana tiga persoalan tersebut. Pada akhirnya, Pemerintah perlu memprioritaskan penuntasan persoalan-persoalan tersebut untuk mempertahankan legitimasi.
Tiga Persoalan
Persoalan pertama adalah indikasi pelemahan KPK yang seolah mencapai puncaknya. Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) lantas menjadi titik masuk krusial untuk menjelaskan kemungkinan mengerikan tersebut.
Sebagai agenda organisasi, sudah tentu TWK terselenggara sesuai aturan. Sehingga benar bahwa secara formal-prosedural, tak ada yang perlu dipersoalkan. Namun demikian, dari sisi politis, ada yang mengganjal di benak publik. Bagaimana tidak, melalui pertanyaan-pertanyaan “tidak biasa”, TWK menghentikan laju dedikasi, kerja keras dan komitmen tujuh puluh lima (75) pegawai yang sebagian besar sudah dipercaya publik. Akibatnya, muncul benih-benih distrust publik kepada KPK.
ADVERTISEMENT
Persoalan semakin rumit karena publik mulai menilai TWK sebagai alat penyaring ideologi. Seolah-olah, TWK berfungsi sebagai instrumen untuk mempertahankan orang-orang yang “bisa diajak kompromi” dan di saat yang sama menghempaskan mereka yang berperilaku sebaliknya.
Pemerintah perlu memahami bahwa masyarakat begitu mendambakan zero corruption. Dengan demikian, mestinya, jangan sampai publik menerima profil pemerintah yang justru tidak mengekspresikan tujuan tersebut.
Persoalan kedua adalah belum terkendalinya COVID-19 yang semakin menemui momen rumit karena Idul Fitri tiba. Kerumitan tersebut muncul karena Idul Fitri di Indonesia, erat kaitannya dengan mudik. Padahal mudik, sebagaimana diketahui, akan secara otomatis meningkatkan mobilitas.
Situasi menjadi semakin rumit karena peningkatan mobilitas masyarakat berpotensi meningkatkan kasus COVID-19. Oleh karenanya, meski agak gugup, pemerintah segera merespons situasi tersebut dengan membuat tiga gelombang penyekatan antarprovinsi (dan belakangan antar kota aglomerasi). Puncaknya pada 6 sd 17 Mei 2021 di mana pemerintah melarang mudik, meski tetap memberi pengecualian kepada masyarakat yang sedang mengalami situasi-situasi darurat.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, upaya pengendalian COVID-19 tersebut tidak lebih menarik daripada drama penyekatan yang terjadi. Di lapangan, masyarakat dan negara tampak berhadap-hadapan dalam nuansa semi-konfliktual. Seolah-olah, petugas gabungan adalah musuh pemudik. Padahal, petugas gabungan adalah representasi negara di lapangan. Mereka hanya sedang mengejawantahkan niat tulus pemerintah untuk mengendalikan kasus. Drama di lapangan yang memilukan tersebut berpotensi menurunkan legitimasi pemerintah.
Persoalan ketiga adalah urusan luar negeri, di mana Palestina sedang kembali luluh lantak oleh kejahatan Israel. Sikap Indonesia, terutama karena predikatnya sebagai negara mayoritas muslim, menjadi demikian dibutuhkan untuk menjadi referensi kebijakan negara-negara lain di dunia. Bahkan, meski hanya sampai batas tertentu, Indonesia bisa saja memobilisasi dukungan negara-negara lain di dunia untuk habis-habisan membela Palestina.
ADVERTISEMENT
Persoalan di atas menjadi krusial untuk diidentifikasi karena akan mempengaruhi legitimasi pemerintah. Selain karena percaya pada ide “penjajahan di dunia harus dihapuskan”, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang bebas dan aktif dalam menyebarluaskan kedamaian.
Kesimpulan
Persoalan pertama, kedua dan ketiga berpotensi melemahkan legitimasi Pemerintah. Kontroversi TWK KPK mempengaruhi legitimasi pemerintah dari kalangan masyarakat pro-pemberantasan korupsi, pelarangan mudik mempengaruhi legitimasi pemerintah dari kalangan masyarakat umum dan masih belum optimalnya dukungan Indonesia kepada Palestina akan mempengaruhi legitimasi pemerintah dari komunitas internasional.
Kalangan pro-pemberantasan korupsi mewakili tipikal masyarakat tematik yang didominasi oleh kalangan terdidik dan kelas menengah. Sebagaimana diketahui, kalangan tersebut menyusun pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara kalangan masyarakat umum merepresentasikan tipikal “wong cilik” yang menjadi basis suara penting bagi pemerintah. Adapun kalangan internasional merepresentasikan pengakuan global atas eksistensi Indonesia sebagai entitas politik berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Di hari libur atas dua hari raya, Presiden justru harus sangat dalam memikirkan solusi dari persoalan-persoalan tersebut. Bagaimanapun juga, legitimasi pemerintah sedang mendapat cobaan. Akan sulit memperbaiki kesalahan sikap resmi Pemerintah. Oleh karenanya mari, kita dukung Presiden Jokowi untuk menjaga legitimasi pemerintah dengan sebaik-baiknya mengambil sikap.