Politik Lampu Bangjo: Pesan untuk Negara

A Satria Pratama
Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM/Penulis topik-topik politik/Peminat isu-isu kepartaian dan politik ekologi
Konten dari Pengguna
10 Mei 2021 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Satria Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lampu Merah di Jalan Gajah Mada Masih Menyala. Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lampu Merah di Jalan Gajah Mada Masih Menyala. Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan

Bahwa melalui "Politik Lampu Bangjo: Pesan untuk Negara", kita jadi tahu bahwa ada problematika sosial-politik yang belum selesai, yang justru berasal dari situasi sehari-hari di area bangjo.

ADVERTISEMENT
Traffic light adalah lampu lalu lintas yang terdiri dari warna merah, kuning dan hijau. Orang-orang Jawa Tengah-Yogyakarta menyebutnya sebagai bangjo, kependekan dari "abang" (merah), kuning dan 'ijo' (hijau). Adapun area bangjo biasanya terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: Instrumen pejalan kaki (trotoar atau divider), jalan beraspal beberapa meter ke belakang, ruang sepeda, garis lurus berwarna putih dan bangjo itu sendiri. Belakangan, elemen-elemen bangjo tersebut sedang terkait dengan COVID-19. Terutama karena dari sisi politik, ada pesan untuk Negara.
ADVERTISEMENT
COVID-19 telah menghilangkan pekerjaan sebagian besar orang. Dampaknya, mereka tidak lagi punya “tempat” seperti pabrik, kantor, studio, warung, atau workshop untuk menjemput uang.
Pada titik inilah area bangjo menjadi instrumen penyelamat. Bangjo mempersilakan mereka untuk mengais rezeki "di wilayahnya". Dengan kata lain, terutama bagi kelompok rentan, bangjo adalah “tempat baru untuk menjemput uang”.
Orang-orang yang bekerja di area bangjo bisa dibagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, mereka yang bekerja dengan menunjukkan keahlian seni. Misalnya pengamen gitar, pengamen biola, grup angklung, badut dan atau pantomim.
Kedua, mereka yang bekerja dengan mengeksploitasi kelemahan hidup. Misalnya, pengemis.
Ketiga, mereka yang menunjukkan etos dan komitmen bahwa mereka benar-benar ingin bekerja, namun memang tidak ada lagi tempat untuk bekerja selain area bangjo, seperti pedagang koran atau pedagang air minum.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang kemanusiaan, seolah-olah, bangjo adalah tanah merdeka yang tidak berada di bawah kendali siapa pun, termasuk pemerintah. Kalaupun ada kekuasaan formal yang tampak menguasai bangjo, paling dekat direpresentasikan oleh Dinas Perhubungan (Dishub).
Namun demikian, fokus Dishub kepada bangjo tentu bukan kepada manusianya, melainkan kepada lalu lintasnya. Atau oleh Dinas Sosial (Dinsos). Namun demikian, pekerjaan kedinasan yang birokratis justru membelenggu substansi sosial itu sendiri.
Dampaknya, ruang tanpa kekuasaan tersebut lantas beralih fungsi menjadi instrumen penyambung hidup, terutama bagi kelompok rentan. Apalagi karena, bekerja di area bangjo akan menghasilkan, setidak-tidaknya, tiga keuntungan:
Pertama, dalam kontruksi hubungan kerja sederhana, orang yang bekerja di bangjo bisa memperoleh uang (benefit) tanpa harus membayar retribusi (cost) pada siapa pun. Dengan demikian, margin pendapatan akan utuh.
ADVERTISEMENT
Kedua, pekerja (seller) berhadapan dengan pengguna kendaraan bermotor (potential buyer) yang tidak akan ada habisnya. Ada jaminan traffic yang bisa memberi optimisme meski sebenarnya, traffic dan pemasukan riil adalah dua hal yang berbeda.
Ketiga, less effort. Pekerja tak perlu mempersiapkan segala sesuatu terkait pekerjaannya "seserius itu". Sebaliknya, penampilan, peralatan, support system, atau anggota tim bisa dihidangkan bahkan dalam sajian yang elementer.
Melalui eksplanasi di atas, terlihat jelas bahwa COVID-19 memaksa area bangjo mengubah tata pemanfaatan dirinya. Jika biasanya digunakan untuk fund raising bencana atau kegiatan mahasiswa, kali ini area bangjo digunakan untuk keperluan yang lebih personal dan darurat.
Konsekuensinya, area bangjo menjadi semakin ramai. Bukan hanya ramai secara visual, melainkan juga secara substansial. Bagaimanapun juga, bangjo telah mengakomodasi terjadinya pergeseran fungsi. Dari eventual, menjadi fundamental.
ADVERTISEMENT
Dari Area Bangjo untuk Negara
Persoalan sosial yang tampak dari semakin ramainya pekerja di area bangjo memaksa publik untuk mengaitkannya dengan peran negara kesejahteraan. Mereka, pekerja di area bangjo, adalah korban dari belum siapnya pemerintah menghidupkan tata kelola berbasis krisis bencana non-alam/pandemi. Maka setidak-tidaknya, dua hikmah mengemuka dari situasi tersebut.
Rinno, pengamen boneka mampang sedang beraksi di perempatan Jalan Parangtritis, Bantul, DIY. Foto: Widi Erha Pradana.
Pertama, area bangjo mampu membuka mata sosial publik, bahwa negara ini masih punya persoalan pelik dengan kemiskinan. Sebagaimana umumnya, kemiskinan berawal dari sistem ekonomi yang tak kunjung mampu menghasilkan lapangan kerja memadai. Meskipun, selain sistem ekonomi, kemiskinan juga bisa berangkat dari sistem pendidikan yang belum mampu memproduksi manusia–manusia unggul. Area bangjo lantas membuka kebelumsempurnaan negara dalam menangani dua aspek fundamental tersebut; ekonomi dan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Kedua, area bangjo juga menunjukkan penanganan dampak COVID-19 di Indonesia yang masih jauh dari sempurna. Peningkatan jumlah orang yang memanfaatkan area bangjo untuk menjemput rezeki adalah bukti tidak terbantahkan. Tak perlu lagi pemerintah mencari data ke mana–mana untuk menunjukkan data pengangguran. Cukup dengan melihat apa yang menyusun keramaian bangjo pada jam makan pagi, siang dan sore, sanubari akan mengatakan bahwa negara belum cukup berhasil menangani efek ekonomi COVID-19.
Akhirnya, menutup tulisan, area bangjo, atau lampu lalu lintas telah memperluas fungsi dirinya, bukan lagi hanya menjadi tempat berhenti para pengguna jalan, melainkan juga menjadi mesin informasi aktual untuk menghidangkan problematika sosial nan faktual. Mestinya, apa yang terjadi di area bangjo telah lebih dari cukup untuk memaksa Negara mengevaluasi metode penanganan pandemi.
ADVERTISEMENT