Politik Tidak Bisa, Politik Tidak Mau

A Satria Pratama
Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM/Penulis topik-topik politik/Peminat isu-isu kepartaian dan politik ekologi
Konten dari Pengguna
8 Mei 2021 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Satria Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jokowi Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jokowi Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Politik membuat "tidak mau" dan "tidak bisa" sebagai dua hal berbeda
ADVERTISEMENT
Perihal politik, kalau dulu Jokowi bilang tidak akan utang, lalu sekarang utang, tidak perlu jadi soal. Itu bukan berarti Jokowi tidak mau tidak utang. Bisa jadi, Jokowi tidak bisa tidak utang. Kalau dulu Sandiaga bilang tidak akan masuk kabinet, lalu sekarang masuk kabinet, kita santai saja. Itu tidak berarti Sandiaga tidak mau tidak masuk kabinet. Bisa jadi, Sandiaga tidak bisa tidak masuk kabinet. Karena dalam politik, tidak mau, bukan berarti tidak bisa.
Sebelum masuk ke politik, seperti biasa, dalam perjalanan pulang usai kerja, saya selalu melewati stadion salah satu peserta Liga 1 Sepak bola Indonesia dari Jogja. Hanya saja, sudah hampir setahun terakhir, saya melewatinya dengan perasaan tidak karuan. Bagaimana tidak, biasanya, stadion itu penuh sesak oleh ribuan pendukung. Tetapi hari ini, sebagaimana kita tahu, liga berhenti karena pandemi. Stadion bukan hanya sepi, melainkan tidak beroperasi.
ADVERTISEMENT
Merespons persoalan tersebut, sebagai organisasi sepak bola tertinggi, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sudah mencari jalan agar liga tetap bisa digelar dengan protokol kesehatan. Sebagai penggemar sepak bola dalam negeri, saya mengikuti pembaruan beritanya di media. Oleh karenanya, saya sampai pada kesimpulan bahwa persoalan bukan terletak pada PSSInya, melainkan izin pihak kepolisian yang sampai saat itu, belum bisa turun. Polisi belum mengizinkan liga digelar.
Jika sudah demikian, saya berpendapat bahwa memang tidak ada lagi yang PSSI bisa lakukan. Melalui berbagai upaya yang PSSI telah lakukan untuk mengakomodasi kepentingan stakeholder, tampak betul bahwa PSSI berkemauan untuk tetap menggelar liga. Hanya saja, kepolisian belum memberi izin. PSSI mau, tetapi tidak bisa.
Janji Politik: Tidak Bisa, Bukan Tidak Mau
ADVERTISEMENT
Dalam hal mengupayakan tetap terselenggaranya liga, ada perbedaan dari apa yang PSSI lakukan dan apa yang PSSI terima. Saat PSSI berupaya, mereka sedang berada dalam ranah “mau/tidak mau”. Dan PSSI mau. Tetapi saat PSSI menerima hasil dari kepolisian, mereka sedang berada dalam ranah “bisa/tidak bisa”. Dan PSSI tidak bisa. Ringkas kata, kedua ranah tersebut menunjukkan perbedaan.
Mari sedikit membedahnya. Berarti, mau itu bisa saja bisa, tetapi bisa saja tidak bisa. Berarti pula, bisa itu bisa saja mau, tetapi bisa saja tidak mau. Bisa mewakili kemampuan. Sementara mau mewakili keinginan. Bisa merepresentasikan sumber daya yang kita punya. Sementara mau menunjukkan harapan.
Politik Tidak Mau dan Tidak Bisa. Foto : https://kumparan.com/kabarbisnis/utang-ri-ke-china-membengkak-di-era-jokowi-ini-dalih-pemerintah
Sebagai orang yang bekerja di balik layar ingar-bingar politik, saya merasa perbedaan tersebut memiliki fungsi penting sebagai pengingat sosial kemasyarakatan. Melalui ikhtiar PSSI yang berakhir dengan belum diizinkannya liga oleh kepolisian, saya jadi semakin paham bahwa “tidak mau” dan “tidak bisa” adalah dua hal yang berbeda. Jika kita manfaatkan pernyataan tersebut untuk mengulas kasus–kasus politik, kita akan bisa merasakan perbedaannya secara lebih mudah.
ADVERTISEMENT
Saat Jokowi masih menjadi kandidat Capres, misalnya. Jokowi mengatakan bahwa dia tidak mau utang untuk menyelenggarakan pemerintahan. Tetapi toh setelah menjabat, Jokowi utang juga. Saya kira ini menarik untuk kita telaah. Mengapa ada perbedaan? Mengapa ketika Jokowi masih menjadi kandidat, dia dengan mudah mengatakan tidak mau utang? Tetapi setelah menjabat, mengapa Jokowi memilih untuk tetap utang? Jadi saat kampanye itu, Jokowi tidak mau utang, atau tidak bisa utang? Lalu saat sudah terpilih, Jokowi tidak mau tidak utang, atau tidak bisa tidak utang?
Sandiaga juga demikian. Saya kira, masih segar dalam ingatan kita ketika Sandiaga menyampaikan kepada media bahwa dia akan menempatkan diri sebagai “oposisi” di luar pemerintahan. Tetapi toh masuk kabinet juga. Mengapa ada perbedaan? Saat masih menjadi kandidat, mengapa Sandiaga lantang mengatakan mau menjadi “oposisi”? Tetapi setelah pilpres berlalu, mengapa Sandiaga masuk kabinet? Jadi saat kampanye itu, Sandiaga tidak mau masuk kabinet atau tidak bisa masuk kabinet?
ADVERTISEMENT
Untuk mengurainya, mari kita dudukkan persoalannya. Bahwa saat menjadi kandidat, Jokowi dan Sandiaga belum mengenal medan. Sehingga semua yang disampaikan adalah keinginan mereka. Harapan. Materi kampanye kan juga harus disesuaikan sedemikian rupa agar mampu menarik perhatian calon pemilih. Atmosfer elektoral memaksa Jokowi mengatakannya, “saya tidak mau utang”. Juga agar Sandiaga mengatakan, “saya tidak mau masuk pemerintahan”.
Tetapi setelah terpilih, Jokowi sudah berada di ruangan yang sama sekali berbeda untuk mengambil keputusan. Ada data, kontestasi kepentingan, juga sumber daya khusus negara. Dalam waktu singkat saja, Jokowi jadi mengenal medan. Sehingga yang Jokowi sampaikan bukan lagi merupakan kemauannya, melainkan kemampuannya. Jika Jokowi akhirnya memilih kembali berutang, tidak berarti Jokowi mau berutang. Belum tentu. Bisa jadi karena Jokowi tidak bisa tidak berutang.
Politik Tidak Mau dan Tidak Bisa. Foto : https://kumparan.com/kumparantravel/sandiaga-uno-kepada-wishnutama-izinkan-saya-tetap-memanggil-mas-menteri-1uprmLNlQRq
Sandiaga juga. Usai Pilpres, sesungguhnya Sandiaga sudah tidak lagi terikat dengan siapa pun yang masih mengelu-elukannya sebagai Cawapres. Kan sudah kalah. Sehingga, jelas sekali bahwa dia bukan lagi kandidat Cawapres. Dengan demikian, yang disampaikannya bukan lagi soal kemauannya, melainkan kemampuannya. Jika Sandiaga akhirnya masuk kabinet, tidak berarti Sandiaga mau bergabung. Belum tentu. Bisa jadi karena Sandiaga tidak bisa tidak bergabung.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan Tidak Terlihat
Sebagaimana kita ketahui, baik utang yang diambil Jokowi maupun masuknya Sandiaga ke kabinet adalah persoalan politik. Untuk itu, saya ingin menyorotinya dari perspektif yang barangkali jarang dijadikan kerangka analisis; kekuasaan. Bahwa dari sudut pandang kekuasaan, utang adalah persoalan objektivitas berbasis data. Alias bisa atau tidak bisa. Bukan mau tidak mau. Saya termasuk yang berkeyakinan bahwa utang piutang di level negara akan melibatkan transaksi politik. Bukan ekonomi semata. Sama halnya dengan keputusan bergabung dengan pemerintahan yang Sandiaga lakukan. Jangan–jangan, Sandiaga masuk kabinet bukan karena mau. Tapi karena tidak bisa untuk tidak masuk.
“Tapi kan Jokowi Presiden. Berkuasa. Masa iya nggak bisa memutuskan nggak bisa utang”. “Sandiaga juga. Masa nggak bisa memutuskan, masuk atau tidak masuk kabinet?”
ADVERTISEMENT
Nah, itu dia masalahnya. Menurut saya, kedua kalimat di atas justru menunjukkan bahwa kekuasaan secara umum masih dimaknai secara sangat sempit sebagai simbol. Alias yang terlihat. Padahal, kekuasaan adalah topik yang sangat kecil jika dibandingkan dengan politik sebagai sebuah ekosistem. Kekuasaan itu beraneka ragam. Ada yang terlihat, ada yang tidak terlihat. Ada yang potensial, ada yang aktual. Jika kita tarik situasi tersebut ke dalam ranah akademik, maka kita akan temukan banyak teori tentang kekuasaan.
Tentu kita tak perlu melakukannya seserius itu. Tetapi pada intinya, saya ingin sampaikan bahwa kekuasaan akan selalu berkontestasi satu sama lain. Inilah yang juga jadi alasan terjadinya inkonsistensi politik. Dulu berkata A, sekarang B. Dulu bergabung dengan kelompok A, hari ini B. Dulu tidak mau berutang, sekarang berutang. Dulu tidak mau masuk kabinet, sekarang masuk kabinet. Janji politik adalah soal kemauan. Tetapi realisasi politik adalah soal kemampuan.
ADVERTISEMENT
Mengapa tidak mampu? Saya tidak tahu. Tetapi yang jelas, politik adalah unjuk kuasa-menguasai elite untuk mencapai posisi tertentu yang bisa mempengaruhi orang banyak secara signifikan. Konsekuensinya, segala hal yang tadinya sederhana, menjadi tidak sederhana jika sudah masuk ke ranah politik. Keputusan tidak bisa begitu saja jadi keputusan. Melainkan harus melalui komunikasi, kompromi, negosiasi bahkan lobi.
Ringkasnya, ada kekuatan politik tidak terlihat yang bekerja di antara kemauan Jokowi untuk tidak berutang dan keputusan Jokowi untuk (akhirnya) berutang. Ada kekuasaan tidak terlihat yang menunjukkan eksistensinya di antara kemauan Sandiaga untuk beroposisi dan keputusan Sandiaga untuk (akhirnya) masuk kabinet. Kita tidak bisa mengabaikan eksistensi dari kekuasaan yang ‘tidak bisa kita lihat’ ini.
Akhirnya, melalui tulisan sederhana ini, saya ingin mengajak banyak pihak, terutama akar rumput, untuk lebih dalam mengenal politik. Bahwa politik tidak seharusnya ditarik ke level yang terlalu dramatikal. Sebaliknya, cukup dinikmati dengan ketawa ketiwi, sambil ngangkring nasi teri. Kalau dulu Jokowi bilang tidak akan utang, lalu sekarang utang, biarkan saja. Itu bukan berarti Jokowi tidak mau tidak utang. Bisa jadi, Jokowi tidak bisa tidak utang. Kalau dulu Sandiaga bilang tidak akan masuk kabinet, lalu sekarang masuk kabinet, kita santai saja. Itu tidak berarti Sandiaga mau masuk kabinet. Bisa jadi, Sandiaga tidak bisa tidak masuk kabinet.
ADVERTISEMENT
Karena tidak mau, bukan berarti tidak bisa. Sebaliknya, tidak bisa bukan berarti tidak mau. Kekuasaan lebih dari sekadar yang terlihat.