Konten dari Pengguna

Vaksinasi Corona Juga Menjadi Instrumen untuk Memulihkan Legitimasi

A Satria Pratama
Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM/Penulis topik-topik politik/Peminat isu-isu kepartaian dan politik ekologi
1 Mei 2021 11:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Satria Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Dado Ruvic/REUTERS

Vaksin bisa dilihat dari berbagai perspektif. Dari kesehatan, vaksin adalah solusi inti dari penyebaran virus. Dari ekonomi, vaksin adalah penggerak ekonomi global. Sementara dari politik, vaksinasi corona adalah instrumen untuk memulihkan legitimasi.

ADVERTISEMENT
Sebelum menempatkan vaksinasi corona secara politik sebagai instrumen untuk memulihkan legitimasi, kita harus terlebih dulu merujuk pada Pembukaan Undang – Undang 1945 (UUD 1945) yang bukan hanya menyajikan, melainkan juga memberi instruksi kepada pemerintah untuk menyelenggarakan tujuan bernegara. Salah satu dari tujuan tersebut adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Untuk menggelar tujuan-tujuan tersebut, pemerintah (dalam rupa Presiden) bisa saja menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia. Namun demikian, untuk mengaksesnya, pemerintah membutuhkan legitimasi. Dalam pengertian paling sederhana, legitimasi adalah keabsahan yang diberikan oleh mereka yang dipimpin kepada mereka yang memimpin untuk menjalankan kepemimpinan. Dalam hal mengelola pemerintahan, legitimasi menjadi variabel mutlak. Tanpa legitimasi, kekuasaan tidak berisi.
ADVERTISEMENT
Krisis Legitimasi
Secara kasuistis, jika ditautkan dengan pandemi, maka pemerintah bertugas untuk melindungi masyarakat Indonesia dari semua dampak yang mungkin terjadi; kesehatan, sosial juga ekonomi. Namun demikian, di tengah jumlah kasus COVID-19 yang masih tinggi, beberapa keriuhan tiba – tiba muncul ke permukaan saat itu. Pertama sekali, masyarakat dikejutkan oleh kasus korupsi. Dua pembantu Presiden ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dua kasus berbeda kurang dari 11 hari pada rentang November akhir hingga Desember awal 2020. Sambung menyambung, kasus teror Sigi, lalu penembakan 6 anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) mencuat ke permukaan pada momen waktu berdekatan. Jauh sebelumnya, proses penyusunan Undang – Undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker) juga lebih dulu memproduksi aksi massa berkepanjangan. Padahal, pemerintah masih punya masalah dengan pandemi itu sendiri; alih – alih mendekati nol, jumlah kasus pasien corona justru meningkat di tengah vaksinasi corona yang belum tuntas.
Secara Politik, Vaksinasi Corona Sebagai Alat Memulihkan Legitimasi. Foto: Kumparan
Persoalan demi persoalan di atas, ditambah dengan persoalan lain yang tak mendapat panggung media, menghantam kemapanan tata kelola pemerintahan. Problematika nasional di atas, diakumulasikan dengan problematika di ranah lokal, mengganggu normalitas penyelenggaraan agenda-agenda negara. Konsekuensinya, legitimasi menjadi lemah. Situasi menjadi sulit. Bahkan relatif berbahaya. Tanpa legitimasi, gerak pemerintah menjadi tidak lebih dari organisasi yang bekerja ad hoc untuk jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Begitu berharganya legitimasi, keberadaannya harus sesungguh-sungguhnya dipastikan. Kalau tidak ada, harus diadakan. Kalau rusak, harus diperbaiki. Pun kalau ternyata sudah ada, harus sedemikian rupa dipertahankan. Pemerintah harus melakukan semua daya, upaya, usaha, ikhtiar dan metode untuk memastikan bahwa tata kelola pemerintahan sedang berjalan di atas legitimasi yang bukan hanya ada, melainkan utuh.
Produksi Legitimasi
Sadar bahwa berakhirnya pandemi adalah collective will, pemerintah bergegas mencari jawabannya. Sejurus kemudian, pemerintah bukan hanya telah menemukannya, melainkan juga menghadirkannya; vaksin. Bahkan, lebih kurang dua pekan setelah vaksin datang, pemerintah menyampaikan bahwa masyarakat akan bisa mengaksesnya secara gratis. Tak hanya itu, pemerintah sekaligus memperlihatkan bahwa orang pertama yang diuji coba adalah Presiden.
Di luar kontroversi soal merk, kehadiran vaksin tentu menjawab keinginan kolektif berbagai pihak. Namun demikian, vaksin menawarkan diri untuk dilihat dari berbagai sudut pandang. Dari perspektif kesehatan, meski dihadirkan secara gradual, boleh jadi vaksin adalah solusi inti dari pandemi. Sementara dari perspektif ekonomi, jual-beli ini adalah bagian inheren dari bisnis medis yang menghasilkan sekian besar angka nominal. Adapun secara politik, vaksin akan memberi dampak lebih dari yang masyarakat perkirakan; pulihnya legitimasi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Belum lepas dari benak masyarakat, Jokowi pernah melakukan eksperimentasi ini secara lokal. Pada 2005, saat menjadi wali kota Surakarta untuk periode pertama, Jokowi hanya memperoleh tiga puluh enam persen (36%) suara. Angka yang terdengar begitu minimal untuk ditautkan dengan proses produksi legitimasi. Namun demikian, pada periode kedua, Jokowi memperoleh angka elektoral fantastis : sembilan puluh persen (90%) ! Pemicunya sederhana, yaitu populisme kebijakan.
Secara praktikal, barangkali populisme dimaknai Jokowi sebagai titik bertemunya harapan masyarakat dan kepekaan pemerintah untuk mendahulukan harapan masyarakat tersebut. Seolah memahami situasi, saat itu, melalui kekuasaan formalnya sebagai wali kota, Jokowi lantas memprioritaskan kebijakan yang berbasis pada pendidikan, kesehatan dan pelayanan masyarakat. Hasilnya seperti yang terlihat, pemulihan legitimasi benar – benar terjadi.
ADVERTISEMENT
Vaksin Sebagai Instrumen Politik Untuk Memulihkan Legitimasi
Dengan demikian, keputusan Jokowi untuk memprioritaskan vaksin, baik dengan mempercepat, menggratiskan, atau membeli lebih banyak, juga bisa dilihat sebagai strategi untuk memulihkan legitimasi. Pemerintah sepenuhnya memahami bahwa legitimasi harus kembali ke level yang semestinya. Untuk itu, pemerintah perlu memanfaatkan vaksin yang sedang bekerja menguasai pikiran manusia secara hegemonik, sebagai instrumen politik.
Di Indonesia, sampai artikel ini dibuat, COVID-19 telah berlangsung selama lebih dari tiga belas (13) kali purnama dengan lebih dari 1,6 juta kasus. Dampaknya, tidak ada produk yang sedang sedemikian dinanti oleh masyarakat selain vaksin. Apalagi karena pandemi telah mengubah agenda manusia sepanjang 2020 dan mungkin juga 2021. Periode yang sungguh abnormal bagi kehidupan mayoritas masyarakat. Sehingga wajar ketika seluruh pihak berkepentingan untuk segera sampai pada akhir pandemi melalui vaksin.
ADVERTISEMENT
Secara teknis, masyarakat tentu memahami bahwa pada situasi pandemi seperti ini, hampir semua negara di dunia, tak terkecuali Indonesia, sedang memerintah secara pincang. Oleh karenanya, meski dengan berbagai kekurangan, masyarakat harus tetap bersyukur atas lancarnya distribusi vaksin. Juga berterima kasih kepada pemerintah karena telah menjalankan perintah undang – undang dasar 1945; melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Meskipun demikian, tanpa bermaksud melawan wacana mayoritas, mestinya, tidak perlu ada euforia berlebihan atas kebijakan ini. Pertama, jika masyarakat berkenan melakukan telaah secara seksama, pengadaan vaksin adalah tugas dan kewajiban pemerintah. Singkatnya, pemerintah memang harus menyediakannya, cepat atau lambat. Kedua, karena secara politik, vaksin juga bisa dilihat sebagai alat untuk memulihkan legitimasi.
ADVERTISEMENT