Konten dari Pengguna

Retorika Politik Generasi Z: Antara Gimik, Gagasan, dan Gawai

Aprizia Rizhieq Ranasif
Mahasiswa Universitas Pancasila
3 Mei 2025 16:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aprizia Rizhieq Ranasif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Generasi Z memindahkan politik ke layar gawai, menyuarakan aspirasi lewat konten singkat, visual, dan emosional, menggantikan retorika konvensional yang panjang (sumber foto : freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Generasi Z memindahkan politik ke layar gawai, menyuarakan aspirasi lewat konten singkat, visual, dan emosional, menggantikan retorika konvensional yang panjang (sumber foto : freepik.com)
ADVERTISEMENT
Generasi Z hadir sebagai wajah baru politik yang tak bisa diabaikan. Mereka tidak datang membawa baliho, tetapi ponsel pintar. Aspirasi mereka tidak disuarakan lewat toa di jalan, melainkan lewat story yang menghilang dalam 24 jam dan cuitan yang bisa trending dalam lima menit. Retorika politik mereka bukan lagi soal siapa paling lantang di podium, tetapi siapa yang paling jitu memainkan narasi di ruang digital. Politik kini berpindah dari ruang debat ke kolom komentar, dari rapat umum ke direct message, dari janji kampanye ke video reaction. Mereka mengonsumsi politik melalui potongan video 30 detik yang merangkum substansi dan emosi sekaligus.
ADVERTISEMENT
Alat utama Generasi Z adalah gawai: jendela ke dunia, panggung untuk bersuara, dan senjata untuk memengaruhi. Di dunia digital, kecepatan, visual, dan emosi lebih penting dari struktur logika klasik. Tak heran jika kampanye politik konvensional kehilangan daya sihirnya. Dalam era di mana semua orang bisa jadi pembuat konten, Gen Z menjelma menjadi komunikator politik yang tak terduga. Mereka menggabungkan gimik, gagasan, dan gawai dalam satu tarikan swipe.
Mereka tumbuh bersama algoritma, paham logika viralitas, dan mengerti bahwa persepsi bisa lebih menentukan daripada kenyataan. Kampanye politik hari ini bukan hanya soal visi dan misi, tapi juga soal estetika visual, tone suara, dan filter yang digunakan. Meme menjadi alat propaganda. Musik TikTok menjadi lagu perjuangan. Gimik menjadi strategi untuk mendapat ruang bicara. Komunikasi politik berubah menjadi produk budaya pop, dengan simbol, sarkasme, dan ironi visual sebagai senjatanya.
ADVERTISEMENT
Politisi bergaya kasual, berbahasa gaul, dan penuh jargon digital sering kali lebih menarik dibanding mereka yang membacakan program kerja secara formal. Di sinilah pertarungan retorika digital terjadi: siapa yang mampu mengemas substansi dalam format yang ringan, akrab, dan viral. Namun apakah ini membuat politik kehilangan makna? Justru tidak. Politik menemukan bentuk baru: lebih cair, responsif, dan manusiawi. Gen Z bicara politik melalui keresahan, bukan doktrin.
Mereka menyuarakan isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan kebebasan berekspresi. Penyampaiannya tidak selalu formal sering humoris, namun tetap menggigit. Mereka mengubah retorika menjadi sesuatu yang relatable, bisa diakses semua orang, dan bisa diviralkan. Retorika mereka mungkin tidak seberat pidato Bung Karno, tapi punya kekuatan emosional yang memengaruhi opini publik. Bahasa yang membumi justru memungkinkan mereka menjangkau lebih luas.
ADVERTISEMENT
Inilah demokratisasi retorika: setiap orang bisa bersuara tanpa harus melewati saluran formal atau institusi besar. Politik menjadi lebih hidup karena lebih banyak yang merasa memiliki ruang untuk berpartisipasi. Gagasan Gen Z mungkin tidak disampaikan dengan bahasa berat, tapi sering kali jujur dan menyentuh realitas. Mereka sadar, di era banjir informasi, suara saja tidak cukup. Harus ada ritme, irama, dan daya tarik visual. Maka retorika mereka bersifat verbal, visual, sekaligus emosional.
Namun, kekuatan ini juga membawa risiko. Kreativitas dan semangat partisipatif bisa berubah menjadi banalitas dan populisme digital. Ketika semua dikemas untuk viralitas, substansi bisa terkorbankan. Gimik berlebihan dapat menutupi gagasan. Tagline bombastis menggantikan argumentasi yang matang. Retorika pun bisa menjadi ilusi: terlihat meyakinkan, tapi kosong. Di sinilah tantangan terbesar Gen Z: menyeimbangkan antara gaya dan isi.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, potensi besar tetap ada. Jika diarahkan dengan benar, retorika politik Gen Z bisa menjadi kekuatan moral baru dalam demokrasi digital. Mereka bisa menjadi penjaga nurani publik di tengah derasnya disinformasi. Mereka bisa menghidupkan kembali demokrasi yang mulai lesu dengan gaya yang segar, membumi, dan dekat dengan realitas kehidupan. Sebab, pada dasarnya retorika bukan soal bicara, tapi menyentuh hati, membangkitkan kesadaran, dan mendorong perubahan.
Jadi, jika ingin mendekati Gen Z, politisi harus berhenti meremehkan. Jangan datang membawa pidato basi dan janji normatif. Datanglah dengan nilai yang jelas, ide yang berani, dan telinga yang mau mendengar. Di hadapan Gen Z, retorika tidak bisa sekadar basa-basi. Harus hidup, jujur, dan dijalankan. Politik bukan panggung untuk tampil keren, tapi ruang untuk bertanggung jawab. Dalam dunia penuh gawai dan gimik, gagasan masih punya tempat asal tahu cara menyampaikannya. Retorika politik Gen Z mungkin belum sempurna, tapi sedang tumbuh, berkembang, dan siap menantang dunia lama dengan cara baru yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
ADVERTISEMENT