Mengawal Maklumat Pelayanan Publik

Muhammad Aqiel
Alumni FISIP Universitas Lampung
Konten dari Pengguna
23 Maret 2022 13:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Aqiel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ombudsman. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ombudsman. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hal yang paling esensial dalam Pelayanan Publik adalah Kepentingan Publik, dan hal yang paling eksistensial dalam Pelayanan Publik adalah implementasi daripada Maklumat Pelayanan Publik. Oleh karena itu, Maklumat Pelayanan Publik merupakan piranti institusional yang harus dijalankan secara profesional dan bertanggung-jawab; semata-mata untuk Kepentingan Publik.
ADVERTISEMENT
Maklumat Pelayanan Publik atau Service Charters secara terminologi merupakan dokumen publik yang berisi sekumpulan informasi dasar dalam penyediaan layanan, standar pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat/pengguna jasa dari institusi/lembaga penyedia jasa, dan bagaimana menyusun keluhan dan saran yang membangun bagi penyediaan pelayanan itu sendiri (OECD 2007: 15).
Beberapa akademisi menyimpulkan setidaknya ada enam prinsip pokok yang harus ada dalam setiap Service Charters. Pertama, adanya kinerja standar pelayanan dan penilaian terhadap kinerja aktual dari standar yang telah disusun tersebut. Kedua, tersedianya informasi yang jelas tentang pelayanan yang diberikan, termasuk penilaian terhadap kinerja aktual berbanding standar yang telah ditetapkan. Ketiga, adanya konsultasi dengan pihak masyarakat/pengguna jasa. Keempat, adanya perlakuan yang baik atau membantu kepada pengguna jasa. Kelima, adanya antisipasi akan segala konsekuensi baik dari aspek hukum maupun keuangan apabila pemerintah gagal menyediakan layanan seperti yang telah dijanjikan. Keenam, pelayanan harus mampu diberikan sesuai dengan prinsip value for money (Minogue 2001: 31; Humphrey 314 1998: 40-41).
ADVERTISEMENT
Pasal 22 dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 juga secara tegas telah mengamanatkan Penyelenggara Negara/Pemerintahan agar membuat dan melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan, yang diantaranya; Persyaratan, Sistem Mekanisme/Prosedur, Jangka Waktu Layanan, Biaya/Tarif, Produk Layanan, Sarana/Prasarana atau Fasilitas, serta Evaluasi Kinerja Pelaksana.
Meski diatas kertas Maklumat Pelayanan Publik telah diatur sedemikian rupa-nyatanya beragam permasalahan seperti Birokrasi yang kaku, pelayanan buruk, hingga tingginya angka korupsi masih menjadi tantangan sektor publik.
Untuk itu diperlukan upaya maksimal dalam pengawasan pelayanan publik. Ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga Non Struktural harus diberikan peran maksimal dalam tugasnya yang tidak hanya berupa investigasi – pencegahan maladministrasi, serta dalam kewenangannya yang terbatas pada putusan yang bersifat rekomendasi, namun juga Ombudsman harus memiliki putusan sengketa yang bersifat Ajudikatif.
ADVERTISEMENT
Minimnya kewenangan yang dimiliki Ombudsman Republik Indonesia dalam sisi pengawasan, serta Rendahnya partisipasi daerah dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi menjadi permasalahan serius apabila merujuk pada lampiran Laporan Kinerja KemenpanRB (2019).
Permasalahan ini merupakan permasalahan institusi yang membawa kita pada teori dominan dalam ilmu Sosial-Politik, tentang Institusionalisme. Pada aspek aksiologis, Institusionalisme lama memiliki konstruksi formal-deskriptif. Kerangka ini menegasikan perilaku institusi, serta implikasi dari setiap pengambilan keputusan. Berbeda dengan institusionalisme lama, institusionalisme baru lebih menekankan adanya proses interaksi antara individu dengan institusi. Institusionalisme baru berbeda dengan strukturalisme yang lebih menekankan pada kekuatan sosial bersifat makro; dan berbeda pula dengan behavioralisme yang berkonsentrasi pada rasionalitas mikro-individual.
Dengan minimnya kewenangan yang dimiliki Ombudsman Republik Indonesia menandakan bahwa proses neo-institusionalisasi tidak terjembatani maksimal. Memang betul, untuk saat ini postur kelembagaan di tingkat K/L (Kementerian/Lembaga) dan Perangkat Daerah telah mengalami banyak perubahan melalui berbagai agenda Penataan Kelembagaan, kemudian peralihan Jabatan Struktural ASN ke Jabatan Fungsional selalu meningkat seiring tahun. Akan tetapi dalam Neo-Institusionalisme atau Institusionalisme Baru telah menekankan pentingnya mencermati perubahan kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Perubahan Kelembagaan
Ketika sebuah tatanan telah melembaga dalam tajuk reformasi birokrasi, namun kewenangan Ombudsman sebagai piranti institusional dalam pengawasan pelayanan publik masih dibatasi, maka sejak awal kehadiran neo-institusionalisme belum melembaga.
Kendati demikian, untuk memotret dan/atau mengawal maklumat pelayanan publik, peran masyarakat amat dibutuhkan. Masyarakat dapat menyampaikan laporan atau aduan sebagai bentuk pengawasan. Selain itu, Akademisi, Birokrat, Legislator, dan Eksekutif juga harus memiliki komitmen bersama dalam memperjuangkan reformasi birokrasi.
Diharapkan ada kemauan serius dalam agenda memperkuat Ombudsman Republik Indonesia sebagai piranti institusional dalam pengawasan pelayanan publik, dengan begitu maklumat pelayanan publik dapat dikawal secara efektif.