Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilkada Lampung 2024 : Politik Gentong Babi (?)
24 November 2024 14:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Aqil AR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun yang lalu, tahun 2018, terjadi polemik selama Pilkada Lampung 2018 berlangsung, beberapa Elit Partai (pada saat itu) melaporkan adanya dugaan kecurangan kepada Bawaslu RI, dan membuat opini kepada publik indikasi adanya “Kekuatan Kapital” yang mengatur hasil Pilkada [1]. Anggota Bawaslu Provinsi Lampung, Gistiawan juga baru-baru ini menegaskan bahwa langkah paling efektif dalam mengentaskan “Politik Uang” secara teknis perlu dilakukan “Pengawasan Partisipatif” [2]. Hal ini menunjukkan dinamisnya Konstelasi Politik yang menunjukkan inkonsistensi elit-elit Partai dalam mengkampanyekan Anti Politik Uang serta belum kuatnya kewenangan Bawaslu dalam menindak Kekuatan Kapital yang menyokong Pelaku Politik Uang.
Inkonsistensi elit dalam menyuarakan kampanye anti politik uang dipengaruhi adanya desentralisasi kekuasaan pasca Orde Baru. Bahwa demokratisasi lokal yang dihembuskan secara bersamaan memberi trajektori bagi Kekuatan Kapital atau Pemilik Modal membajak demokrasi. Implikasinya, Pilkada menjadi ajang bagi Kekuatan Kapital mencengkram Elit-Elit Lokal yang berkuasa. Implikasinya, tentu hal tersebut mempengaruhi formulasi/kebijakan penyelenggaraan Pilkada.
ADVERTISEMENT
Sebagai indikasi, pertanyaan politis mengapa durasi kampanye begitu panjang (?) bagaimana mekanisme kandidasi secara teknis (?) mempengaruhi “Biaya Politik” yang dikeluarkan oleh para kandidat, yang dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Lampung, tentu ada kandidat yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Tergantung siapa kandidat yang mesra dengan Pemilik Modal dan mana yang tidak; mana yang memiliki akses terhadap sumber pendanaan, dan mana yang tidak. Lagi-lagi kondisi ini sangat menguntungkan Pemilik Modal.
Kondisi ini menjadi dasar ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pilkada. Baik terhadap Penyelenggara Pemilu maupun Pemangku Kebijakan. Lahirnya Pernyataan Anggota Bawaslu Provinsi Lampung, Gistiawan, terkait perlu adanya pengawasan partisipatif dimana segala lapisan masyarakat perlu terlibat dalam pengawasan dan pencegahan kecurangan pemilu, merupakan bentuk kuatnya cengkraman Pemilik Modal.
ADVERTISEMENT
Secara bersamaan, ruang-ruang publik kita diisi dengan ketidakpercayaan terhadap Politisi (Obral Janji) yang berujung rendahnya partisiapsi pemilih dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya penyelenggaraan pemilu. Hal inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat/pemilih memilih bukan berdasarkan Kapabilitas Kandidat melainkan berdasarkan uang dimana uang sangat ekuivalen dengan nilai personal. Uang adalah cerminan Kapabilitas Alternatif.
Mengganti sistem Pilkada dari langsung menjadi tidak langsung bukan merupakan solusi, karena cawe-cawe transaksi politik bisa berwujud dalam bentuk apapun. Solusi sederhananya mudah bagi kita dengan tidak membiarkan Pemilik Modal turut terlibat dalam konstelasi penyelenggaraan pilkada. Namun yang jadi masalah, keterlibatan Pemilik Modal sudah mengakar kuat pasca Orde Baru, dan itu merembet kemana-mana.
Politik Gentong Babi (Patronase)
Saat saya mempelajari dokumen Departemen Perhubungan Laut dalam proyek “Pembangunan Pantai Pasir Putih Provinsi Lampung” pada masa Orde Baru milik ‘Kakek’ saya. Saya mengambil kesimpulan bahwa pada masa Orde Baru, para Pemilik Modal perlu membangun kontak dengan birokrat berpengaruh, namun kini mereka (Pemilik Modal) membeli pengaruhnya dengan memberi dukungan dalam bentuk “suap”.
ADVERTISEMENT
Kooptasi Kroni Bisnis atau Pemilik Modal dalam bentuk “suap” menyasar terhadap Partai Politik, Kandidat/Politisi, maupun Birokrasi. Politisi melalui Birokrasi memiliki kewenangan dalam menentukan “Konsesi Bisnis”. Dari skema diatas, alhasil Kandidat terjebak “utang balas budi” dengan para pemilik modal. Indikasi-indikasi keterlibatan Sugar Group, dan implikasinya terhadap kebijakan-kebijakan agro-bisnis yang tidak pro-rakyat merupakan dampak adanya penggunaan dana-dana kampanye hasil suap yang terindikasi menguntungkan Kandidat Pemenang Pilkada Lampung sejak tahun 2014 hingga sekarang.
Kondisi ini bisa kita sebut “Politik Gentong Babi” yang merupakan “parasit dalam sistem demokrasi”. Menurut Maxey, frasa “gentong babi” berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865). Istilah “Gentong Babi” bernada menghina dan merendahkan. Pada masa itu, para tuan pemilik budak memberikan daging babi yang telah diasinkan kepada para budak kulit hitam untuk diperebutkan. Indikasi-indikasi perilaku kandidat yang mencari modal politik berupa pendanaan maupun suap (konsesi bisnis) untuk kepentingan politik bisa disamakan dengan perilaku para budak yang menginginkan daging tersebut.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut hanya bisa ditempuh melalui perbaikan sistem pelembagaan Parpol (party system institutionalization) dan sistem kepartaian (party system). Penguatan derajat pelembagaan akan berdampak terhadap sistem kepartaian. Upaya penguatan pelembagaan tersebut salah satunya dapat didorong dengan memperkuat keuangan Parpol yang bersumber dari keuangan negara.
Prinsip pengaturan dana kampanye/dana politik yang harus digunakan sebagai rujukan meliputi: pembatasan maksimum jumlah sumbangan perorangan dan badan hukum; larangan menerima sumbangan dari sumber-sumber tertentu; pemisahan rekening partai politik dan rekening kampanye; pembatasan belanja (maksimum belanja dan politik uang); kewajiban melakukan tertib pencatatan, pelaporan dan audit; jaminan akses publik; sanksi (administratif dan pidana).
Keterputusan Elektoral
Keterputusan Elektoral atau hilangnya kepercayaan publik terhadap Kandidasi selama berlangsungnya Pilkada perlu serius ditangani. Pertama, konteks keterpaduan dalam sistem perencanaan pembangunan, yang menjadi domain pemerintah, antara pendekatan teknokrasi (government driven) dan partisipatif (usulan masyarakat, termasuk usulan melalui partai politik); Kedua, konteks hubungan kewenangan antara Pejabat Politik (Politisi) dan Pejabat Birokrasi dalam pembahasan anggaran publik, terlebih karena Kepala Daerah dipilih melalui Pilkada; perlu adanya regulasi yang mengatur transparansi total apalagi pada saat Pilkada berlangsung. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya keterlibatan Pemilik Modal dalam proses pendanaan maupun suap baik sebelum, berlangsung, dan sesudah penyelenggaraan Pilkada.
ADVERTISEMENT
Komitmen Penyelenggara
Tinggal menghitung hari lagi proses pemungutan suara akan berlangsung, dalam hal ini, KPU dan Bawaslu di lingkungan Provinsi Lampung harus berkomitmen menjaga kode etik, demi mewujudkan Pilkada Lampung yang bebas dari kecurangan. Penyelenggara Pemilu harus memberi teladan yang baik kepada publik, dengan begitu secara kolektif baik penyelenggara pemilu maupun pemilih bahu-membahu menihilkan potensi residu. Meneguhkan kembali solidaritas dengan masyarakat sipil sebab bagaimanapun juga Penyelenggara Pemilu adalah Lembaga Independen (Lembaga Non Struktural) yang secara prinsipil bekerja untuk publik, bukan kelompok/golongan.
Catatan Kaki
*Penulis sedang menempuh Program Magister Kajian Strategik Intelijen SKSG Universitas Indonesia